Search
Close this search box.

Let’s Talk About Love

 

dipersembahkan untuk International Day Against Homophobia, 17 Mei 2011.

Same-sex Couple – A Story of Love. Itulah tema International Day Against Homophobia (IDAHO) tahun ini. Bagi yang belum tahu, itu hari kemerdekaan homoseksual di seluruh dunia. Merujuk keputusan World Health Organization (WHO), 17 Mei 1990, yang mencabut homoseksualitas dari daftar penyakit dan gangguan jiwa. Artinya, keragaman seksual mutlak diterima. Hetero, Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender/Transeksual, Interseks, Queer, memiliki derajat kemanusiaan setara. Di tiap negara, tiap kota, merayakannya, tak terkecuali Indonesia. Jakarta menyuarakan Citizen in Diversity dan Surabaya membincangkan Kisah Cinta Kami.

Cinta, substansinya. Ini bantahan atas pandangan sempit: relasi homoseksual = relasi seks. Tentu, aktivitas kelamin ambil bagian, tapi bukan segalanya. Ada perasaan di situ. Gerak batin yang menyeret manusia takhluk atasnya, lalu mewujud hubungan kasih. Setiap manusia memiliki dan berhak mengekspresikannya. Di titik inilah kampanye memerangi homophobia. Sebab kasih itu belum leluasa mewujud hidup dan bebas menunaikan fitrahnya. Jerat homophobia, dengan berbagai kepentingan dan alasan, masih kuat mencengkeram benak mayoritas manusia di dunia, terus menjegal eksistensi jiwa menggapai bahagia. Dan, IDAHO tahun ini serupa teriakan jiwa terkekang,”Hoi, aku berhak mencinta, dicinta, dan bercinta, seperti kalian! (baca: hetero).”

Berulangkali saya ditodong pertanyaan menjengkelkan,”Mas Antok, apa sih artinya cinta?” Seolah saya—seorang yang mengaku-ngaku penulis—lebih tahu perkara ini. Padahal, saya tidak tahu. Hm, tepatnya tidak mengerti. Tapi, saya percaya cinta. Bagaimana saya percaya sesuatu yang tak bisa dimengerti? Nah, inilah alasan kenapa tulisan molor minggu ini—Rikky sudah mencak-mencak, tuh—. Saya kontemplasi, berusaha mengerti, merumuskan sendiri, arti kata: C.I.N.T.A. Kesimpulannya: tidak (belum) mengerti!

Sebetulnya, saya bisa memaparkan konsep cinta yang telah mapan, seperti eros, thanatos, platonik, agape dll. Atau menerapkan ilmu “menurut”. Maksudnya, menjawab pertanyaan dengan mengutip pernyataan. Menurut Gibran Kahlil Gibran, cinta itu blablabla. Menurut Jalaluddin Rumi, cinta itu blablabla. Menurut William Shakespeare, cinta itu blablabla. Gampang, kan. Malah dapat bonus tambahan: terlihat pintar. Tapi, saya tidak sreg, tidak orisinil. Maka, inilah pendapat subyektif saya tentang cinta:

Saya percaya cinta laksana percaya ruh dalam tubuh. Ia tak terjamah, tapi hadir. Semua tahu, tanpa ruh, manusia tak sanggup hidup. Karena sifatnya abstrak, maka terbuka ragam interpretasi. Bagi saya, memahami cinta, artinya memahami segala, selain daging dan tulang—ini biar fokus, sebab di tataran ekspresi, daging, apalagi yang tak bertulang, penting—. Cinta adalah serentak dunia dalam yang menghentak empunya ke luar. Pikiran, perasaan, emosi, hati, jiwa, dan nama-nama lainnya. Ia yang tumbuh dan berkembang di ambang kekal dan fana. Ia yang menuntun manusia ke ruang-ruang hakikat. Para bijak selalu bilang, kebenaran sejati ada di dalam diri. Di area sejati itulah cinta menunjukkan eksistensi. Terkutuklah manusia yang berkeras menampiknya. Sebab di sanalah keistimewaan manusia dibandingkan makhluk Tuhan yang lain: fitrah untuk menjadi khalifah. Di sana pula sumber nilai yang terus diperjuangkan: kemanusiaan. Menurut saya, bila manusia bertindak dengan acuan cinta dari dalam, maka hidup pasti berkembang dalam kasih. Pun memahami cinta, sama artinya memahami palung terdalam diri, lalu mewujudkan dalam kehidupan. Ruh menggerakkan tubuh, cinta mengubah hidup. Hanya satu cara memahaminya: percaya cinta.

Cinta bukan benda mati. Ia menuntut hidup di muka bumi. Mewujud beragam bentuk: manusia-manusia, manusia-alam, manusia-Tuhan. Jelas, yang dibidik tema IDAHO adalah cinta antar manusia. Lebih khusus: kekasih. Saya menganalogikan cinta ini serupa dua mata air yang bertemu di sungai, lalu mengalir berdua menuju muara. Asal mata air itu beda-beda, dengan tujuan sama: bahagia. Satu hal lagi yang sama: mata air itu murni, tak tercemari. Bagi manusia yang mengalaminya, tak ada cara selain mengikuti arusnya. Meski dihadapkan pada riak, ombak, pusaran, hantaman bebatuan. Dua mata air itu hanya ingin mengalir sebisanya. Hingga kelak, bila tiba masanya, memisah. Masing-masing menemu mata air baru atau bergulir sendiri menuju lautan sepi. Sangat alami. Karena ini kerja naluri dan nurani.

Pun demikian, masih banyak orang yang melabeli mata air itu dengan: lelaki dan perempuan. Padahal semua tahu, mata air tak bernama, cinta tak bergender. Ia hanya ingin mengarus dalam keluasan jiwa, jujur apa adanya, dalam bentuk tak terduga. Lelaki-Perempuan, Lelaki-Lelaki, Perempuan-Perempuan, Lelaki-Waria, Lelaki-Interseks, dan bentuk-bentuk lainnya. Sia-sialah manusia yang menentang arusnya. Ia akan terlindas zaman. Sebab abad ini kian membuka segala ruang yang mungkin, bukan terjebak dikotomi yang berlaku berabad lalu. Terimalah cinta. Biarkan ia hidup dengan segala rupa.

Pertanyaan yang sering mengganggu saya,”Kalau kerap patah hati, kenapa jatuh cinta lagi?” Rupanya ini menyangkut sesuatu yang dasar: interpretasi hidup. Hidup bukan proses penemuan, tapi penciptaan. Jiwa agung yang bersemayam di diri terus menciptakan realitas-realitas baru. Manusia tak punya pilihan selain tunduk atasnya. Karena ini tujuan manusia terlontar ke dunia: mengalami segala untuk jadi bijaksana. Tanpa pengalaman, mustahil manusia dewasa. Misal, ketika jatuh cinta, coba dilawan sekuat tenaga. Jadi stres, kan? Ikuti saja. Tentu dengan kesadaran hukum alam: pertemuan-perpisahan satu keniscayaan, seperti halnya kelahiran-kematian. Bukan kedua ujung itu yang penting, tapi proses di dalamnya. Jadi, tak usah bingung kalau Anda yang lelaki dahulu jatuh cinta dengan perempuan, lalu sekarang tergila-gila dengan lelaki atau waria. Jalani saja, ada makna di dalamnya.

Terakhir, saya ingin menunjukkan bukti sejarah bahwa cinta hadir di kalangan LGBT. Semacam cermin untuk meluaskan wawasan hakikat cinta. Simak pasangan-pasangan ini dan percaya ada cinta dalam diri mereka: Leonardo da Vinci dan Salai, Paul Verlaine dan Arthur Rimbaud, Marguerite Yourcenar dan Grace Frick, Frida Kahlo dan Chavela Vargas, Rock Hudson dan Marc MacGinnis Kristen, Martina Navratilova dan Julia Lemigova, Matius Mitcham dan Lachlan Fletcher, Ellen DeGeneres dan Portia De Rossi, Smitherman George dan Peloso Christopher, Bernard Jodie Foster dan Cydney, Lambert Adam dan LaBry Drake.

Penulis: Antok Serean
Plemahan Surabaya, 18.05.2011, 05:14 PM 

dipersembahkan untuk International Day Against Homophobia, 17 Mei 2011.

Same-sex Couple – A Story of Love. Itulah tema International Day Against Homophobia (IDAHO) tahun ini. Bagi yang belum tahu, itu hari kemerdekaan homoseksual di seluruh dunia. Merujuk keputusan World Health Organization (WHO), 17 Mei 1990, yang mencabut homoseksualitas dari daftar penyakit dan gangguan jiwa. Artinya, keragaman seksual mutlak diterima. Hetero, Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender/Transeksual, Interseks, Queer, memiliki derajat kemanusiaan setara. Di tiap negara, tiap kota, merayakannya, tak terkecuali Indonesia. Jakarta menyuarakan Citizen in Diversity dan Surabaya membincangkan Kisah Cinta Kami.

Cinta, substansinya. Ini bantahan atas pandangan sempit: relasi homoseksual = relasi seks. Tentu, aktivitas kelamin ambil bagian, tapi bukan segalanya. Ada perasaan di situ. Gerak batin yang menyeret manusia takhluk atasnya, lalu mewujud hubungan kasih. Setiap manusia memiliki dan berhak mengekspresikannya. Di titik inilah kampanye memerangi homophobia. Sebab kasih itu belum leluasa mewujud hidup dan bebas menunaikan fitrahnya. Jerat homophobia, dengan berbagai kepentingan dan alasan, masih kuat mencengkeram benak mayoritas manusia di dunia, terus menjegal eksistensi jiwa menggapai bahagia. Dan, IDAHO tahun ini serupa teriakan jiwa terkekang,”Hoi, aku berhak mencinta, dicinta, dan bercinta, seperti kalian! (baca: hetero).”

Berulangkali saya ditodong pertanyaan menjengkelkan,”Mas Antok, apa sih artinya cinta?” Seolah saya—seorang yang mengaku-ngaku penulis—lebih tahu perkara ini. Padahal, saya tidak tahu. Hm, tepatnya tidak mengerti. Tapi, saya percaya cinta. Bagaimana saya percaya sesuatu yang tak bisa dimengerti? Nah, inilah alasan kenapa tulisan molor minggu ini—Rikky sudah mencak-mencak, tuh—. Saya kontemplasi, berusaha mengerti, merumuskan sendiri, arti kata: C.I.N.T.A. Kesimpulannya: tidak (belum) mengerti!

Sebetulnya, saya bisa memaparkan konsep cinta yang telah mapan, seperti eros, thanatos, platonik, agape dll. Atau menerapkan ilmu “menurut”. Maksudnya, menjawab pertanyaan dengan mengutip pernyataan. Menurut Gibran Kahlil Gibran, cinta itu blablabla. Menurut Jalaluddin Rumi, cinta itu blablabla. Menurut William Shakespeare, cinta itu blablabla. Gampang, kan. Malah dapat bonus tambahan: terlihat pintar. Tapi, saya tidak sreg, tidak orisinil. Maka, inilah pendapat subyektif saya tentang cinta:

Saya percaya cinta laksana percaya ruh dalam tubuh. Ia tak terjamah, tapi hadir. Semua tahu, tanpa ruh, manusia tak sanggup hidup. Karena sifatnya abstrak, maka terbuka ragam interpretasi. Bagi saya, memahami cinta, artinya memahami segala, selain daging dan tulang—ini biar fokus, sebab di tataran ekspresi, daging, apalagi yang tak bertulang, penting—. Cinta adalah serentak dunia dalam yang menghentak empunya ke luar. Pikiran, perasaan, emosi, hati, jiwa, dan nama-nama lainnya. Ia yang tumbuh dan berkembang di ambang kekal dan fana. Ia yang menuntun manusia ke ruang-ruang hakikat. Para bijak selalu bilang, kebenaran sejati ada di dalam diri. Di area sejati itulah cinta menunjukkan eksistensi. Terkutuklah manusia yang berkeras menampiknya. Sebab di sanalah keistimewaan manusia dibandingkan makhluk Tuhan yang lain: fitrah untuk menjadi khalifah. Di sana pula sumber nilai yang terus diperjuangkan: kemanusiaan. Menurut saya, bila manusia bertindak dengan acuan cinta dari dalam, maka hidup pasti berkembang dalam kasih. Pun memahami cinta, sama artinya memahami palung terdalam diri, lalu mewujudkan dalam kehidupan. Ruh menggerakkan tubuh, cinta mengubah hidup. Hanya satu cara memahaminya: percaya cinta.

Cinta bukan benda mati. Ia menuntut hidup di muka bumi. Mewujud beragam bentuk: manusia-manusia, manusia-alam, manusia-Tuhan. Jelas, yang dibidik tema IDAHO adalah cinta antar manusia. Lebih khusus: kekasih. Saya menganalogikan cinta ini serupa dua mata air yang bertemu di sungai, lalu mengalir berdua menuju muara. Asal mata air itu beda-beda, dengan tujuan sama: bahagia. Satu hal lagi yang sama: mata air itu murni, tak tercemari. Bagi manusia yang mengalaminya, tak ada cara selain mengikuti arusnya. Meski dihadapkan pada riak, ombak, pusaran, hantaman bebatuan. Dua mata air itu hanya ingin mengalir sebisanya. Hingga kelak, bila tiba masanya, memisah. Masing-masing menemu mata air baru atau bergulir sendiri menuju lautan sepi. Sangat alami. Karena ini kerja naluri dan nurani.

Pun demikian, masih banyak orang yang melabeli mata air itu dengan: lelaki dan perempuan. Padahal semua tahu, mata air tak bernama, cinta tak bergender. Ia hanya ingin mengarus dalam keluasan jiwa, jujur apa adanya, dalam bentuk tak terduga. Lelaki-Perempuan, Lelaki-Lelaki, Perempuan-Perempuan, Lelaki-Waria, Lelaki-Interseks, dan bentuk-bentuk lainnya. Sia-sialah manusia yang menentang arusnya. Ia akan terlindas zaman. Sebab abad ini kian membuka segala ruang yang mungkin, bukan terjebak dikotomi yang berlaku berabad lalu. Terimalah cinta. Biarkan ia hidup dengan segala rupa.

Pertanyaan yang sering mengganggu saya,”Kalau kerap patah hati, kenapa jatuh cinta lagi?” Rupanya ini menyangkut sesuatu yang dasar: interpretasi hidup. Hidup bukan proses penemuan, tapi penciptaan. Jiwa agung yang bersemayam di diri terus menciptakan realitas-realitas baru. Manusia tak punya pilihan selain tunduk atasnya. Karena ini tujuan manusia terlontar ke dunia: mengalami segala untuk jadi bijaksana. Tanpa pengalaman, mustahil manusia dewasa. Misal, ketika jatuh cinta, coba dilawan sekuat tenaga. Jadi stres, kan? Ikuti saja. Tentu dengan kesadaran hukum alam: pertemuan-perpisahan satu keniscayaan, seperti halnya kelahiran-kematian. Bukan kedua ujung itu yang penting, tapi proses di dalamnya. Jadi, tak usah bingung kalau Anda yang lelaki dahulu jatuh cinta dengan perempuan, lalu sekarang tergila-gila dengan lelaki atau waria. Jalani saja, ada makna di dalamnya.

Terakhir, saya ingin menunjukkan bukti sejarah bahwa cinta hadir di kalangan LGBT. Semacam cermin untuk meluaskan wawasan hakikat cinta. Simak pasangan-pasangan ini dan percaya ada cinta dalam diri mereka: Leonardo da Vinci dan Salai, Paul Verlaine dan Arthur Rimbaud, Marguerite Yourcenar dan Grace Frick, Frida Kahlo dan Chavela Vargas, Rock Hudson dan Marc MacGinnis Kristen, Martina Navratilova dan Julia Lemigova, Matius Mitcham dan Lachlan Fletcher, Ellen DeGeneres dan Portia De Rossi, Smitherman George dan Peloso Christopher, Bernard Jodie Foster dan Cydney, Lambert Adam dan LaBry Drake.

Penulis: Antok Serean
Plemahan Surabaya, 18.05.2011, 05:14 PM