Ourvoice.or.id – Teater bukan hanya sekedar kepentingan artistik saja, tetapi juga untuk menyuarakan suara orang-orang yang terpungkam dari kekuatan kelompok, ungkap Pedje penulis dan sutradara lakon “Ruang Rias.
“Saya berharap teater ini sebagai ibadah kami, tanggungjawab sosial kami untuk keadilan kemanusiaan”, tegas Pedje kembali dalam wawancara setelah pementasan lakon “Ruang Rias” di Gelangang Remaja-Jakarta Barat, 7- 8 Februari 2013.
Lakon “Ruang Rias” ini dipentaskan oleh Teater Pohon disutradarai selain Pedje juga Chaeruman Ardi. Ketika aktornya adalah Waria, Pandan Wangi, Devi Bernadette dan Angelique Wanti yang telah bergelut di dunia teater selama 20 tahun.
Pemilihan aktor Waria menurut Pedje selain untuk menyampaikan pesan-pesan sosial, juga memberikan ruang bagi Waria untuk bercerita yang lebih utuh. Karena selama ini sosok Waria hanya menjadi bahan tertawa atau “pelengkap” dalam sebuah lakon saja, jelas Pedje.
Ruang Rias merupakan lakon pendek berdurasi sekitar 30 menit yang menggambarkan bagaimana mitos-mitos kecantikan dan keindahan diproduksi, dikonstruksi, dan dieksploitasi oleh pemodal sehingga menimbulkan korban yang “kecanduan”. Korbannya tentu bukan hanya Waria, tetapi juga laki-laki dan perempuan. Ironis, menurut Pedje sebagai korban itu kerap tidak meyadari atau malah dinikmati dengan sukacita.
Walau Pedje meyadari bahwa ketiga aktor Waria adalah pemilik salon dan juga para “korban” dari mitos kecantikan tersebut, tetapi berharap cerita ini dapat menjadi lebih kritis atas situasi yang ada.
Ini buktinya saya, Devi sambil menunjukkan wajahnya yang telah menjadi korban mitos kecantikan dengan melakukan suntik hormon dan silikon pada wajah agar terlihat lebih cantik.
Sepertinya pentas kali ini ingin menampilkan bahwa apa yang terjadi di atas panggung masih akan dapat dikenali sebagai perpanjangan dari realitas di luar panggung atau realitas keseharian. Bahwa Waria ataupun setiap orang telah menjadi korban dari mitos kecantikan itu.
Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Hendro, seorang kurator seni dalam diskusi di Komunitas Salihara, “Seni sebagai peristiwa”. Bahwa apa yang ditampilkan dipanggung itulah yang ada diluar panggung (realita kehidupan). Bahkan bisa dikatakan bahwa yang “diluar” jauh lebih penting dari yang didalam itu sendiri, tegas Hendro. Lakon “Ruas Rias” membuktikan itu, realita kehidupan Waria maupun masyarakat umum yang telah masuk dalam lingkaran mitos kecantikan tersebut.
Rencananya Lakon Ruang Rias ini akan diikutkan dalam perlombaan teater di London School Jakarta dan juga akan dipentaskan di Solo dan Yogyakarta, ungkap Pedje. (Hartoyo)