Search
Close this search box.
Ilustrasi (AP Photo)

Ourvoice.or.id. Pada tulisanku sebelumnya di sini kukatakan bahwa bila engkau tidak ingin anak-anakmu menjadi gay/lesbian, jangan masukkan mereka ke asrama khusus pada jenis kelamin tertentu yang sangat ketat aturannya untuk berinteraksi dengan lawan jenisnya.  Mengapa? Karena pada usia 20an gairah sex dan keingin-tahuan manusia berada pada fase tertinggi.  Bila dia tidak menemukan lawan jenis maka mereka akan bereksperimen dengan siapa saja yang memiliki keinginan sama, dalam hal ini bila di asrama maka dengan sesama jenis.

Menurut Helen Singer Kalpan, MD. Ph.D, seorang psikiater: Puncak gairah sex tertinggi pria terjadi pada usia sekitar 17 atau 18 tahun.  Pada usia ini mereka hanya membutuhkan sedikit stimulasi untuk membangkitkan gairahnya.  Dan umumnya mereka sulit menahan ereksi. Gairahnya timbul seperti orang kelaparan. Mereka menjadi terganggu, tergantung, dan sulit menghindar.

Sedangkan menurut seksolog Tracey Cox dalam buku bestseller ‘Sextasy’ pada usia 20an perempuan biasanya lebih bebas berimajinasi dalam hal seks.  Mereka juga ingin berbagi fantasi seks dan bahkan ingin mencoba biseksualitas.  Sebuah studi pada tahun 2006 yang melibatkan sekitar 2.000 orang responden menemukan bahwa 76% wanita mencoba tidur dengan sesama jenis serta mencapai orgasme.  Sedangkan wanita dengan pria, tercatat 50%.

Perlu kutekankan di sini bahwa aku sama sekali tidak ingin melecehkan kaum homosexual.  Bagiku semua manusia sama, apapun orientasi sexualnya.  Kali ini aku hanya ingin mencermati bahwa disatu sisi ada ketakutan atau kejijikan mayoritas orang terhadap homosexual tapi disisi lain mereka memberikan ruang yang besar untuk perilaku tersebut.  Seperti memfasilitasi hal itu terlaksanan.  Ironis sekali!

Menurut para seksolog dan psikolog, prilaku homosexual dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: genetikapsikologi, dorongan seksual, pengalaman seksual sebelumnya & lingkungan sosiokultural.

Dorongan sexual yang tinggi pada remaja yang terkungkung dalam dinding tebal (faktor lingkungan sosial) dimana hanya ada teman sejenis membuat mereka tidak berpikir dua kali untuk melakukannya.  Karena aktifitas sexual itu menimbulkan sensasi kepuasan, memori ini (pengalaman sexual sebelumnya) akan diingat terus menerus walaupun sebenarnya mereka tidak memiliki factor genetika sebagai homosexual.  Kita tidak perlu pura-pura tidak pernah mendengar bahwa prilaku menyukai sesama jenis banyak terjadi di sekolah-sekolah berasrama yang ketat terhadap pembatasan interaksi dengan lawan jenis.  Biasanya sekolah-sekolah ini berbasiskan keagamaan.

Dari skop sekolahan itu aku tertarik meneropong ke lingkup yang lebih luas, yaitu pemisahan jender secara ketat yang dilakukan oleh negara, biasanya karena berdasarkan agama.  Aku sudah lama membaca artikel Nadya Labi di http://www.theatlantic.com yang berjudul The Kingdom in the Closet.  Saat itu aku belum mengetahui apa-apa tentang homoseksual.  Membaca artikel itu tentu sangat mengejutkan bagiku mengingat Saudi Arabia adalah negara yang berdasarkan Islam yang sangat tidak mentolerir masalah homosexual.  Tapi kini bagiku semua menjadi jelas. #Sungguh sudah lama aku ingin menuliskan ini tapi selalu tertunda karena isu ini sangat sensitive.  Tapi setelah kupikir-pikir, tuliskan sajalah.#

Nadya menuliskan bahwa di Arab Saudi hukuman bagi pelaku sodomi adalah hukuman mati.  Tapi ironisnya disana malah kehidupan gay terlaksana dengan leluasa.  Yasser, 26 tahun, seorang gay, mengatakan: di sini jauh lebih mudah menjadi gay dari pada heterosexual.  Sekalipun homoseksualitas dihujat dan diancam hukuman mati, Kerajaan Saudi juga memberikan ruang yang luas kepada perilaku homoseksual.  Selama pelaku homosexual dapat memberi kesan serta tampilan normal di muka umum, mereka akan aman melakukan apa saja di tempat-tempat pribadi mereka.  Para polisi moral atau dikenal dengan nama “mutawwa” hanya merazia pasangan yang berbeda jender yang bukan muhrim di tempat-tempat umum.

Kita dengan mudah akan melihat lelaki berkumpul dengan lelaki di sekolah, café dan internet.  Demikian juga perempuan berkumpul dengan perempuan.  Putri Sultana dalam buku triloginya mengatakan bahwa sesama putri kerajaan yang jumlahnya puluhan ribu itu, beberapa dari mereka saling menggoda.  Kekerasan seksual dan hinaan dari suami yang biasanya lebih berpendidikan dari istri menjadi salah satu penyebab mereka saling menaruh rasa simpati.

Tatanan sosial yang sangat keras dalam pemisahan gender di negara itu menyebabkan prilaku homoseksual menjadi subur.  Dalam usia mereka yang sedang bergairah, wanita dan pria yang bukan muhrim sangat terlarang bersama tapi mereka sangat bebas berbuat apa saja dengan sesama jenisnya.  Orang tua tidak akan mempertanyakan anak lelakinya yang membawa teman lelakinya ke rumah.  Tidak akan ada juga yang bertanya apa yang mereka lakukan di apartemen atau kamar hotel.  Tapi mereka akan mendapat hukuman cambuk bila mendapati lelaki dan perempuan yang bukan suami istri.

Yasmin (21 tahun), seorang mahasiswi di Riyadh, mengaku pernah mempunyai hubungan cinta sejenis saat di SMA. Gedung sekolahnya memiliki kamar mandi besar sehingga menyediakan privasi bagi mereka untuk berhubungan.  Gadis ini juga mengakui bahwa wanita yang menyukai wanita semakin banyak jumlahnya.  Dia juga menceritakan bahwa di salah satu bagian sekolahnya ada yang disebut sudut Lesbian.  Yasmin mengatakan bahwa saudara lelakinya yang berumur 16 tahun bersama teman lelaki seusianya telah menjadi target seksual oleh para lelaki yang lebih tua dari mereka.  Anak lelaki itu telah menjadi korban sodomi lelaki yang lebih tua.  Dan ini menjadi lingkaran setan bahwa suatu saat si korban akan mencari korban saat dia sudah dewasa.

Kondisi ini diterangkan demikian oleh Dave, seorang pendidik dari Amerika yang tinggal di Jeddah, “Kita akan melihat sekelompok pria dewasa duduk bergerombol sambil berbincang di café.  Jika seorang anak lelaki yang ganteng lewat, mereka semua akan terdiam dan melihat pada anak lelaki tersebut, setelah itu saling melontarkan komen dan menilai anak lelaki itu.

Seorang gay yang berwajah cantik mengaku setiap hari mendapat telpon untuk berkencan dengan pria beristri.  Para pria itu akan memilih gay untuk penyalur hasratnya dikala istri mereka sedang hamil atau mendapat menstruasi.  Salah seorang nara sumber yang di wawancarai Nadya bernama Jamie, 31 tahun, peñata bunga yang tinggal di Jeddah mengatakan, “Waktu pertama kali aku tinggal di sini, aku ketakutan ketika 6 atau 7 mobil mengikutiku saat aku berjalan di jalan raya.  Bila kamu lelaki cantik seperti aku, mereka tidak akan berhenti mengejarmu.”

Tapi yang terasa lucu atau miris adalah bahwa lelaki ini menolak disebut gay walaupun melakukan hubungan intim dengan lelaki.  Mengapa demikian?  Karena ada aturan main disana bahwa lelaki yang “di bawah” itulah yang gay sedangkan yang “di atas” adalah lelaki tulen.  Persepsi yang menarik bukan?  Maksudnya adalah posisi saat berkencan.  Aku bingung apakah mereka tidak mengenal istilah “Lady on top”? *Senyum-senyum sendiri*

Sesungguhnya mereka ingin mengatakan bahwa yang di atas adalah orang yang mengontrol, merujuk pada lelaki. Dan yang di bawah adalah objek yang dikontrol, merujuk pada wanita.  Dan mereka tetap memandang rendah pada “lelaki yang di bawah” dengan mengatakan “Gay adalah tidak normal.  Semua orang bisa menjadi yang “di atas” tapi hanya gay yang “di bawah”.  Yang dibawah adalah hal yang paling buruk.”  Jadi mereka tidak malu dan merasa tetap lelaki dalam hubungan itu seksual itu.

Saat ini situs pertemanan homosexual sangat menjamur disana.  Dan ada satu criteria yang banyak dicari, yaitu “men willing to be penetrated”.  Jadi yang mengindikasikan dirinya sperti itu dianggap pihak yang “di bawah”.  Banyak pria yang mencari lelaki dengan kriteria seperti itu. Seorang gay di internet juga mengatakan bahwa dia sesungguhnya lebih memilih bersama wanita bila ada, tetapi sangat sulit, sedangkan pria bebas tersedia kapan saja dan dimana saja.

Menurutku prilaku ini lebih banyak didorong oleh keadaan sosiokultur yang memaksa mereka seperti itu.  Seperti para narapidana di penjara.  Setelah mereka keluar dari penjara, mereka tetap menjadi pria tulen yang dapat berhubungan dengan wanita.

Banyak kaum gay expatriate yang merasa lebih nyaman tinggal di Ryadh atau kota-kota lain di Arab Saudi daripada di tempat asal mereka.  Mereka menyebut disana adalah surganya gay.  Kaum expatriate itu berasal dari berbagai Negara: Amerika Serikat, negara-negara sekitar Arab, negara-negara di Eropah, dan Asia seperti Philipina, mungkin juga dari
Indonesia.  Jadi teringat cerita Vabio di twitter.

Persepsi warga Saudi yang mengatakan bahwa mereka bukan gay memang menjadi aneh ditelinga masyarakat barat, pun bagiku.  Paling tidak menurutku, mereka adalah biseksual.  Walaupun mereka menyangkal bahwa mereka bukan gay tapi mereka juga tidak bisa meninggalkan kehidupan bersama lelaki lainnya.  Dave, seorang pendidik, mengatakan, menjalani kehidupan ganda adalah normal di sana.  Satu sisi mereka memiliki istri dan anak-anak, di satu kehidupan lain mereka tidak mampu meninggalkan prilaku homoseksual.

Seberapa tinggikah jumlah gay di Arab Saudi?  Walaupun mereka takut pada mutawwa, tapi mereka yakin bahwa keluarga Kerajaan tidak tertarik dengan pengejaran kaum gay.  Karena dalam satu hal, upaya tersebut mungkin akan mengekspos anggota keluarga kerajaan.  “Jika mereka ingin menangkap semua gay di Arab Saudi,” demikian kata Misfir, di ruang percakapan internet dengan Nadya Labi – mengulang persis seperti apa yang pernah diucapkan oleh seorang polisi, “Mereka harus memasang pagar (penjara) di sekitar seluruh negeri.” Demikianlah jumlah gay di Negara itu.

Hal ini diaminkan oleh seorang temanku yang bekerja sebagai pramugari penerbangan nasional Indonesia yang sering terbang ke Jeddah, mengatakan bahwa sangat lajim kita melihat lelaki berjalan bergandengan tangan di mall atau jalanan.

Menurutku, hanya satu cara Saudi Arabia keluar dari kondisi tersebut, yaitu merubuhkan dinding tebal yang membatasi interaksi pria dan wanita.  Memberi ruang bagi pria dan wanita untuk bertemu secara terbuka tidak serta merta membuat pria dan wanita melakukan perzinahan tanpa kendali.  Setiap orang punya kontrol moral dalam dirinya untuk menahan diri.  Tapi sifat manusia yang tidak ingin dilarang, maka bila mendapat larangan, ada kencendrungan dalam diri orang tersebut untuk mengakali peraturan tersebut.  Paling tidak bila pria dan wanita yang dapat bertemua secara terbuka, tidak akan mengalihkan preferensi seksualnya ke sejenis karena mereka masih punya kesempatan walau cuman berbincang dan saling pegangan tangan.  Paling tidak lagi, jumlah gay tidak akan meningkat karena kondisi sosial.  Gay akan tetap ada tapi karena factor genetika dan hal-hal lain yang prosentasinya kecil.  Tentu solusinya tidak segampang seperti yang ku katakan.  Saudi harus tetap menjaga negaranya sebagai acuan Negara Islam yang ketat menjalankan syariah.

Baiklah, apapun yang dilaksanakan di Arab Saudi tak mungkin kita campuri.  Ini hanya pendapatku sebagai warga dunia yang melihat kondisi disana.  Di artikel selanjutnya aku akan membahas statistik jumlah gay yang ada di Saudi Arabia.  Angkanya sungguh sangat mengejutkan.

Sumber : apaja.wordpress.com