Search
Close this search box.

Homoseksual Dan Agama, Seperti Minyak Dengan Air

Makalah sebanyak 15 halaman berjudul “Peran dan posisi gay dan transjender dalam keluarga dan masyarakat, secara seksual, sosial dan politik” berada dalam genggaman saya ketika mengikuti kuliah umum yang diadakan oleh lembaga Ourvoice pada Minggu, 6 Januari 2013.

Sebagai panitia pelaksana, gulungan awan hitam yang disertai rintik hujan di langit Jakarta adalah hal yang cukup mendebarkan. Alasannya bukan karena saya takut akan datangnya banjir, dan bukan pula takut karena jemuran saya tidak kunjung kering, tapi saya khawatir para peserta yang sudah konfirmasi mengurungkan niatnya untuk menghadiri acara kuliah umum yang telah kami rencanakan dengan matang.

Namun kekhawatiran itupun sirna ketika lima belas menit sebelum kuliah dimulai, satu persatu peserta sudah mulai menampakkan batang hidungnya, dan mereka segera menuju meja registrasi yang berada di sebelah pintu masuk. Dua relawan Ourvoice : Dana dan Alee yang saat itu berada di meja registrasi juga mulai merasa senang karena 25 makalah yang telah digandakan dalam bentuk hardcopy ludes seketika, bahkan ketika satu jam telah berlalu masih ada tujuh orang yang datang untuk mengikuti kuliah umum ini.

Tepat pukul 17.00. Kuliah umum dibuka oleh salah satu relawan Ourvoice, Gusti. Yang kemudian dipandu oleh Lutfi sebagai moderator. Setelah itu, barulah Tanti memberikan pemaparan tentang hasil penelitiannya terhadap gay dan waria Indonesia yang “bermigrasi” di Belanda dan Belgia.

Mengacu pada judul makalah “Peran dan posisi gay dan transjender dalam keluarga dan masyarakat, secara seksual, sosial dan politik” yang dituliskan Tanti, ia mengatakan bahwa internalisasi nilai heteronormatif yang sudah mengakar pada gay dan waria yang menjadi informannya merupakan hal yang sangat problematis, norma berbalut agama merupakan benturan yang hebat hingga peran gay dalam waria di kehidupan keluarga, sosial dan bernegara. Dan yang menarik dalam penelitian yang dilakukan tanti adalah tertanamnya tradisi “balas budi.”

Berikut ini adalah kesimpulan yang saya dapatkan dalam mengikuti kuliah umum pertemuan kedua.

Semua berawal Dari Tradisi Balas Budi
Menurut saya tradisi balas budi merupakan akar dari permasalahan membuka diri (coming out) pada kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transjender (LGBT) dan ini tidak hanya dialami para migran Indonesia yang berada di Belanda dan Belgia, tapi juga di Indonesia dataran Cina hingga Asia Tenggara.

Ketidakpatuhan anak terhadap orang tua merupakan hal yang sangat dihindari bagi kelompok homoseksual, dan jika ia tidak patuh maka bukan hanya dicoret dari daftar penerima warisan keluarga, tapi akan dihadiahi “neraka”. Ketergantungan anak terhadap orang tua seperti buah simalakama, bila mengikuti kata hati tidak kuat akan caci maki, tapi bila diikuti justru menjadi penjara diri. Situasi super problematis ini masih terjadi hingga kini. Hal ini yang menjadi penyebab kenapa para LGBT Indonesia lebih memilih menutup diri dari pada membuka diri kepada keluarga walau sudah menetap di Belanda dan Belgia.

Kembali mengacu pada makalah tentang peran gay dan waria secara sosial dan politik. Jauh sebelum Tugu Monas didirikan, para homoseksual sudah berperan di berbagai sendi kehidupan, diantaranya : Plato (filsuf terbesar Yunani), Alexander Agung (penakluk paling termasyhur), Julius Caesar (kaisar Romawi), Henri III de Valois (Raja Polandia dan Raja Prancis abad ke-16), Alan Turing (penemu komputer). Namun karena Dominasi nilai-nilai heteronormatif begitu kuat, hal-hal tersebut seperti kain kanvas dengan lukisannya. Orang hanya melihat keindahan yang tampak saja, tapi melupakan di balik keindahan tersebut.

Dan yang terakhir tentang norma-norma Agama. Secara pribadi saya akan angkat tangan jika topik homoseksual dibenturkan dengan agama. dan saya akan lebih memilih makan semangkok bakso dan segelas es jeruk dari pada membicarakan dua hal yang sulit disatukan ini.

Bagi saya agama dan homoseksual seperti duri dalam daging. Di satu sisi para homoseksual dengan tekunnya beribadah mulai dari matahari belum terbit hingga matahari terbenam, menjalankan semua perintahNya, menjauhi semua laranganNya. Tetapi di saat yang bersamaan homosekual juga dilaknat, dihujat dan bahkan katanya ketika kiamat bakal ditusuk pakai besi panas (kenapa tidak sekalian saja dijadikan abon atau dendeng balado).

Pada bab kesimpulan, Tanti menuliskan bahwa telah banyak upaya dilakukan oleh para ahli untuk mensejajarkan dan menguji hubungan agama dan homoseksulitas tapi masih kurang konstruktif. Namun bukanlah sesuatu hal yang tak mungkin untuk mensejajarkan agama dengan homoseksual.

Saya setuju dengan yang ditulis Tanti, tak ada yang tak mungkin. Walau agama dan homoseksual terlihat seperti air dengan minyak, namun harus yakin bahwa ada “teknologi” atau pengetahuan yang bisa mensejajarkan ini. Karena hanya agama-agama yang ramah pada kemanusiaan yang akan tetap bertahan.

Akhirnya saya kembali mengajak anda untuk mengikuti kuliah umum bagian Ketiga. Masih akan dibawakan oleh Tanti dengan topik : Heteronormativitas di Indonesia dan politik rasisme di Belanda dan Belgia: “Sebuah studi terhadap para gay dan transjender migran Indonesia”. Pada: Selasa, 8 Januari 2013. Pukul : 17.00 -20.00.wib. Tempat Mess 55-Kalibata (Sekretariat Ourvoice). Jika anda tertarik silahkan konfirmasi kehadiran: HP: +6281519262223, BB: 2394591D atau email ourvoice.lgbtiq@gmail.com dan twitter @Ourvoiceind. (Yatna Pelangi)

Makalah untuk seri kuliah umum “Politik Seksualitas” seri 2 di Ourvoice, 6 Januari 2013, 17.00 WIB bisa diunduh Di sini