Search
Close this search box.

[novel gay] Nel karya Dalih Sembiring

Ourvoice.or.id. Nel merupakan novel perdana bertema dewasa dari penulis muda Dalih Sembiring. Sebelumnya, Dalih telah mengukir namanya sebagai cerpenis yang menyebarkan karyanya di media seperti Jurnal ON/OFF, Horison, JurnalCerita Pendek Indonesia, dan The Jakarta Post.  Dalih menyumbang cerpen bertajuk Sebuah Ruangan Berdinding Abu-abu dalam antologi cerpen LGBT berjudul Rahasia Bulan (Gramedia, 2006).

Dalam perjalanan kepengarangannya, kelahiran Binjai (Sumut) 4 Mei 1983 ini telah melahirkan sebuah novel remaja berjudul Cha untuk Chayang (Maret, 2007) dengan sahabatnya, Abmi Handayani. Tentang Nel pertama kali disinggung ketika fragmennya yang berjudul Ilham dimuat di Jurnal ON/OFF Mei 2005. Disebutkan bahwa Nel yang tengah ditulis Dalih adalah sebuah novel semi autobiografis.

Membaca cerpen-cerpen penulis yang telah menulis naskah film berjudul Kado Hari Jadi (disutradarai Paul Agusta) ini, saya melihat bakat yang belum banyak diekspos dalam jagat sastra Indonesia. Sehingga, ketika bertemu Dalih di Yogya suatu waktu, saya sempat menanyakan nasib novelnya yang belum rampung.

Tentu saja saya gembira ketika akhirnya menerima kabar darinya kalau Nel berhasil dituntaskan. Novel bertema homoseksualitas ini akan diterbitkan Mei 2009 oleh Pink Ink Publisher. Kabarnya, penerbit ini memiliki misi menyediakan bacaan bertema LGBT yang berkualitas dan ditujukan sebagai wadah para penulis untuk mengekspresikan diri, tanpa batasan gender maupun tema. Pengejawantahan misi ini tentu akan menjadi bahan evaluasi pembaca nanti.

Pada awal novel, Dalih menyorongkan kepada pembaca ikhwal seorang gadis bernama Vian yang sedang bersedih. Ia harus berpisah dengan lelaki yang ia cintai, Daniel Sebayang atau Nel.  Vian menghadapi kenyataan getir: mencintai seorang lelaki yang pernah mencintai dua laki-laki sebelumnya. Dua lelaki yang merongrong jalinan cintanya dengan teman sekelas di Arsitektur UGM ini. Bahkan sanggup merenggut kekasihnya itu dari sisinya, dengan telak.

Lelaki pertama bernama Ilham. Dalam diri teman masa kecil di Binjai inilah Nel memastikan orientasi seksualnya. Cinta sejenis tumbuh hingga masa remaja menyapa. Kendati mesti berpisah 3 tahun karena ayah Nel melanjutkan studi di Canberra (Australia), cinta di antara mereka tidak merenggang. Upaya Ilham untuk memacari perempuan tidak bisa menghalau rasa yang sudah ditanamkan. Sayangnya, sebelum Nel menyatakan cinta, pada 29 Juni 2001 Ilham dirampas dari sisinya, tewas dalam sebuah kecelakaan.

Pada September 2002, Nel yang telah bermukim di Yogya dengan keluarganya, kembali ke kota kelahirannya, Binjai. Tujuan Nel tidak lain adalah untuk berziarah ke makam kekasihnya. Di Binjai, Nel juga akan berjumpa Elis, perempuan yang dikenalnya di Australia. Elis telah menerima undangan Nel, dan akan datang bersama Shane, lelaki bule yang sudah 6 tahun hidup bersama dengannya. Perempuan berdarah Manado ini telah tergiur dengan kabar Nel tentang durian dan mawas.

Dalam perjalanan menuju Binjai, di atas Kapal Sinabung, Nel bertemu lelaki misterius yang memperkenalkan diri sebagai Aryo. Anehnya, Aryo tampaknya telah mengenal Nel. Aryo yang mengaku sebagai lulusan States konon punya urusan di Medan. Pilihan Aryo untuk menumpang Sinabung tidak mengusik benak Nel: betapa seorang yang mengaku lulusan States dan tampaknya punya bisnis meraup rupiah mau berlelah-lelah di kelas ekonomi sebuah kapal laut.  Karenanya, Nel bingung, ketika tiba di Batam, Aryo mendadak meninggalkannya. Namun tak diragukan lagi, Aryo menjadi lelaki kedua yang berhasil membuat Nel mencampakkan Vian.

Tujuan Nel ke Binjai pun tercapai. Ia bisa menyambangi makam Ilham. Tetapi, kedatangannya di kota ini mengundang Ilham dalam mimpinya.  Pada salah satu mimpi, Ilham berkata: “Pilihannya cuma dua, Nel. Kau yang mati, atau aku. Kau dan aku sudah berbuat terlalu jauh. Bukan, bukan karena kita sama-sama laki-laki. Kematian adalah satu-satunya cara menebus ketidakpahaman kita, sementara kita paham bahwa kita laki-laki.” Nel sama sekali tidak bisa menakbirkan mimpinya.

Dan mimpi seakan tidak mau bersudah, bahkan setelah Elis dan Shane yang sudah tiga tahun tak bersua menjejak Binjai. Dalam perjalanan dengan kedua sahabatnya menuju Bukit Lawang, Ilham menyelip dalam mimpi Nel, menyorongkan teka-teki kematiannya. Apa sebenarnya yang hendak disampaikan Ilham lewat mimpi kepada Nel? Apa maksud Ilham dengan ucapan-ucapannya yang berkisar pada dua kata: payudara dan ketidakpahaman? Mungkinkah mimpi itu hanyalah kembang tidur yang tidak bermakna apa-apa?

Masih di Bukit Lawang, Nel mendapat kabar jika Gurung, kakeknya, masuk rumah sakit. Begitu menerima kabar itu, tanpa pikir panjang, Nel ngotot kembali ke Binjai. SMS seseorang bernama Mageng Sadewa mencoba mengurungkan niat Nel. Saat itu, Binjai memang tengah dilanda ketegangan. Kerusuhan dipantik kalangan yang seharusnya menjaga keamanan: polisi dan tentara. Belum lagi kasus perusakan rumah keluarga Cina yang berpotensi membakar situasi. Tetapi, siapa sebenarnya Mageng Sadewa yang kelihatannya membuntuti perjalanan Nel diam-diam?

Jati diri Mageng Sadewa baru menjadi jelas ketika hari berikutnya, Nel dan kedua sahabatnya memutuskan kembali ke Binjai. Pada penghujung perjalanan mengundang maut itu, Nel akhirnya menyaksikan jika mimpinya tidak hanya sekedar kembang tidur. Ia mendapatkan jawaban teka-teki Ilham. Dan mesti menerima pesan lelaki pertamanya itu,  “Kisahku telah digenapi, Nel. Bukan kisahmu. Kau harus hidup untuk meneruskan ceritamu sendiri.”  Di dalam kehidupan itu, Aryo telah menanti, dengan cinta yang penuh ketidakpastian, namun sanggup menggeser sekuntum teratai putih nan cantik.

Novel ini merupakan pembuktian kemampuan estetika Dalih Sembiring sebagai pencerita. Saya suka banyak rangkaian kalimatnya yang diuntai dengan indah. Kosakatanya terasa kaya, tetapi selektif. Simak guratan Dalih seperti berikut:  “Bahtera Sinabung terbebat gelap pekat seperti seekor sotong raksasa yang kehilangan pigmennya setelah menyemprotkan tinta hitam ke sekitar.” Atau “Mereka menyaksikan matahari merayap naik mengutuhkan bulatannya di atas horison. Cahayanya kuning lemon dan laut beriak runtut. Langit tersapu awan kabu-kabu seperti selendang flanel putih yang robek belasan perca. ”

Simak pula keelokan Dalih mendedah kalimat berikut  ini: “Bahwa makhluk paling indah yang pernah diciptakan masih ada di bumi. Ia hadir berulang kali dalam wujud dan anasir apapun, namun kini ia punya nama: candu, cemburu, cinta, coba, cura. Kau tak dapat memilih kapan ia datang. Dan saat benar ia datang, cobalah untuk tidak buru-buru menampiknya. Bila akal telah tunduk, segenap rasamu telah takluk, rengkuh dia di dada, jadikan bagian yang baru dari sebelah hatimu.”

Pada banyak bagian, kita akan menemukan kecanggihan Dalih berbahasa. Termasuk dalam menarasikan riwayat seseorang. Perhatian saya terbetot pada kisah hidup Alicia Martina Litaray. Diam-diam, Elis yang begitu terbuka dan bebas, menyimpan masa lalu yang kelam. Ia adalah pemangkas hidup keluarganya gara-gara sindroma yang telat disadarinya.  Dalih mendapuk Elis sebagai pengidap sindroma Capgras. Sindroma yang pertama kali didiagnosis pada tahun 1920 di Prancis ini membuat Elis memandang kedua orangtuanya sebagai duplikat orangtuanya yang sejati.

Jujur, saya belum pernah membaca kasus sindroma Capgras dalam sejarah penyakit di Indonesia. Namun seperti beberapa kasus yang pernah terjadi di Barat, kasus sejenis mungkin saja terjadi di sini. Bisa dikatakan, Dalih berhasil menjabarkan pergumulan pikiran penderita sindroma ini dengan tangkas dan memberikan efek yang menggetarkan. Sayangnya, ide brilian ini hanya mengambil tempat di masa lalu Elis. Apakah di masa kini Elis akhirnya pulih? Oh, tentu saja saya menyangsikan. Karenanya, saya membayangkan sindroma ini akan membuat hubungan Elis dan Shane tercabik-cabik ketika mereka berada di Binjai.

Saya mengira Dalih akan melakukannya manakala ia menyampaikan bahwa sejak kedatangan di Binjai pasangan itu lebih banyak diam. Ternyata, tidak. Mungkin karena masalah Elis memang bukan topik utama yang hendak digelontor. Namun, karena kadung diangkat, kenapa tidak dibeber lebih tanpa menjuruskan novel ini pada genre thriller?

Dalam bertutur Dalih dengan bebas berganti-ganti perspektif, yang kadang-kadang terkesan ‘blur’, kendati tidak membuat bingung. Kerap sedang menggunakan perspektif orang ketiga, Dalih bermain-main dengan orang pertama. Kadang juga ia menggunakan perspektif orang kedua, seolah-olah ia sendiri sedang berbicara pada pembaca. Alhasil, apa yang hendak dibeber Dalih tersaji lebih menarik, tidak terasa monoton dan pembaca tetap bisa merintis plotnya.

Untuk menggulirkan plot, Dalih tidak hanya mengandalkan teknik penulisan konvensional. Ia pun tak segan menggunakan bentuk penulisan skenario tatkala menggulirkan musabab dan terjadinya kerusuhan di Binjai. Hal ini bisa dipandang sebagai cara untuk berkelit dari potensi terjadinya lanturan. Sebab, dengan menggunakan teknik penulisan konvensional, kemungkinan Dalih akan terlalu mengalihkan konsentrasi pembaca terhadap cerita utama -meskipun dampak kerusuhan ini membuat Nel memahami arti pesan Ilham dalam mimpi-mimpinya.

Bentuk penulisan skenario yang diimbuhkan dalam novel bukanlah hal baru. Clara Ng pernah mencomot gaya yang sama pada beberapa bagian novelnya yang bertajuk The Un(Reality) Show (Gramedia, 2005). Demikian juga penyajian isi chatting antara Nel dan Vian yang digunakan Dalih pada penghujung novel. Sudah banyak diterapkan dalam novel-novel Indonesia.

Tema utama novel ini sudah jelas: homoseksualitas. Namun perlu dicatat: Dalih tidak jalan di tempat. Ia tidak menyampaikan kisah stereotipikal lelaki homoseks yang acap dikemukakan, bermasalah dengan keluarga dan penerimaannya di tengah masyarakat. Bagi Dalih, hubungan cinta homoseksual bukanlah sesuatu yang harus dijadikan beban. Sama wajarnya dengan cinta heteroseksual, dengan batasan-batasan yang sama.

Dalih juga menanggalkan kisah cinta sejenis yang menggebu-gebu. Kecuali identifikasi orientasi seksual antara Nel dan Ilham pada masa kecil mereka yang dibentangkan pada bagian berjudul Ilham (yang juga dimuat dalam jurnal ON/OFF,Cinta Pertama:  Kisah Pramoedya, Remaja dan Homoseksual), Dalih tidak menghidangkan sajian seks tak penting yang berkesinambungan di sekujur novel. Bagaimanapun, tidak semua pembaca bisa menikmati eksplorasi aktivitas seksual dalam karya fiksi: hetero atau homo. Saya kira, Dalih sangat menyadari hal ini.

Penulis : Jody

Sumber : percikanku.multiply.com