Search
Close this search box.

Jawa Timur. ourvoice.or.id – Bagi saudara-saudara kita yang tinggal di perkebunan, seperti Desa Sentis, Sampali, Hamparan Perak dan Marelan, kesenian Ludruk adalah kesenian rakyat yang akrab dengan mesyarakat setempat. Sayangnya, kesenian rakyat yang bernama Ludruk itu tak mampu bertahan hidup, karena kalah bersaing dengan saudara angkatnya yang dari Barat.

Ludruk secara perlahan tergeser oleh film dan televisi. Jangankan di Sumatera Utara , di daerah asalnya Jawa Timur, Ludruk juga tinggal kenangan. Satu-satunya grup ludruk yang masih bertahan di Surabaya adalah kelompoknya Sakia Sunaryo yang masih setia manggung di Taman Hiburan Rakyat Tambak Sari. Walau jadwal mentas Ludruk Tobong pimpinan Sakia Sunaryo, seminggu dua kali dengan penonton paling banyak 10 sampai 30 orang saja.

Itu tidak menurunkan semangat buat Sakia dan teman-temannya untuk tidak manggung lagi walau hasil yang diperoleh jauh dari mencukupi. Ludruk Tobong yang dia dirikan sejak tahun 1987 itu memang tidak berharap hidup dari penjualan tiket yang mereka peroleh.

Supri, waria yang usianya tidak muda lagi, membuka salon kecantikan. Begitu juga Ani yang nama sebenarnya adalah Wono, membuka usaha jahit menjahit dan dia mengaku sangat mencintai kesenian Ludruk yang dia ikuti sejak usia remaja.

Kini usia Ani sudah mendekati setengah abad. Kecintaannya kepada seni lakon yang dia dapat sebagai warisan dari kedua orang tuanya, tak mungkin dia tinggalkan walau seni Ludruk tak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Ternyata hal yang sama juga dialami kelompok Ludruk yang ada di desa Sampali dan Sentis. Seni Ludruk , seperti yang dialami saudara-saudaraya di Surabaya, grup Ludruk yang pernah jaya di perkebunan-perkebunan yang ada di Sumatra Utara, kini hampir tak terdengar lagi kegiatan mereka.

Kembali ke Ludruk Tobong yang ada di Surabaya. Walau main Ludruk tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, Sakia, Ani, Supri dan teman-teman mereka yang lainnya, sebagai seniman ludruk, mereka bekerja secara professional. Pemain tidak perlu sibuk sendiri memakai costum, make up dan menyetrika pakaian yang akan di pakai manggung. Masing-masing bidang sudah ada yang mengurusi.

Ludruk Tobong memang tidak mampu menghidupi pemainnya dari hasil penjualan tiket. Mereka yang terlibat dikelompok Sakia Sumaryo itu memang tidak berharap selain dikarenakan kecintaan mereka pada seni Ludruk yang mereka warisi. Mengharap berjubelnya penonton yang membeli karcis masuk, sekarang ini cuma ada dalam mimpi. Itu sepertinya tak mungkin. Saingan dari acara-acara yang disiarkan televisi, film bioskop dan beragam jenis hiburan lainnya, buat Sakia dan teman-temannya yang terpenting adalah menjaga kesenian Ludruk Tobong jangan sampai musnah di telan zaman.

Bagaimana dengan seniman-seniman Ludruk yang ada Sumatera Utara? Manggung rutin di sebuah gedung pertunjukan, Ludruk di Sumatera Utara memang tak pernah mendapat kesempatan. Seperti kelompok seni pertunjukan lainnya, Ketoprak Dor, Bangsawan dan grup-grup teater Modern yang ada di Sumatera Utara menyelenggarakan pertunjukan menunggu sponsor yang memang perduli akan kesinambungan seni pertunjukan yang begitu lama dijauhi penonton. Atau paling tidak menunggu hajatan yang memang memilih Ludruk sebagai suguhan hiburan untuk para undangan.

Seni Ludruk sebenarnya masih ada di Sumatera Utara walau jumlahnya tidak begitu banyak. Salah seorang tokoh Ludruk satu angkatan dengan Sirtoyono Almahrum, yaitu Jalal, yang juga seorang pelawak yang handal di Sumatera Utara, diwaktu senggangnya aktif bermain Ludruk.

Apa sebenarnya keistimewaan dari kelompoknya Sakia Sunaryo dan semua personil Ludruk Tobong yang terdiri dari seluruhnya pria dan waria itu? Sebagai pewaris setia dari kejayaan Ludruk Marhaen di tahun 60-an yang pernah membuat film tentang profail Ludruk Marhaen di zaman pemerintahan Presiden Soekarno yang memang sangat memenfaatkan seni teater selama di pembuangan sebagai sarana pendidikan kala itu, Ludruk Tobong pimpinan Sakia bekerja secara prfesional. Dedikasi anggota yang memang benar-benar setia, kecintaan mereka pada seni Ludruk itulah yang membuat mereka terus bertahan menampilkan seni Ludruk Tobong di Gedung Ludruk Taman Hiburan Rakyat Jalan Bumi Harjo Wonokromo Surabaya.

Kehidupan rata-rata personil Ludruk Tobong yang semua anggotanya pria dan waria itu memang jauh dari kehidupan gemerlapan bintang-bintang yang sering nongol di televisi. Kegiatan bintang Lenong Tobong luput dari kejaran infotaintmen. Berita tentang pertunjukan Ludruk Tobong yang terkadang memasang judl-judul seram diposter yang terpajang, seperti judul “Cincin Berdarah” , ” Maut di Ujung Keris” dan puluhan judul seram lainnya tetap tidak menarik minat orang banyak untuk datang berbondong-bondong menonton pertunjukan Ludruk Tobong.

Barangkali itu juga yang membuat banyak orang muda tidak begitu tertarik untuk menggeluti kesenian Ludruk. Bila ada audisi acting untuk pembuatan senetron atau film, peminatnya berjibun. Untuk seni Ludruk? Tunggu dulu. Barangkali banyak orang muda yang beranggapan kesenian Ludruk pantasnya cuma ditampilkan di pinggiran sebagai hiburan kelas murahan. Pada hal Ludruk Tobong pimpinan Sakia yang dibentuknya sejak tahun 1987 itu, dan masih bertahan sampai sekarang, bekerja secara profesional dengan penghasilan yang jauh dari cukup.

Ani (waria) mengaku senang ikut Ludruk Tobong bukan karena ingin tenar dan mendapatkan rezeki berlimpah, tapi karena dia kadung telah jatuh cinta kepada seni Ludruk. Begitu juga dengan Supri yang juga waria. Supri tidak menggantungkan hidupnya dari bermain Ludruk. Dia membuka salon kecantikan. Dia hidup dari rejeki lain. Begitu juga dengan yang lainnya. Ada yang pedagang kaki lima, supir angkot dan ada juga yang pegawai honor di salah satu instansi pemerintahan.

Sri Mulat, salah satu kelompok sandiwara profesional yang pernah eksis di tahun 80-an, satu-satunya grup sandiwara yang tiap malam manggung dua kali di taman ria remaja Jakarta, dengan personil pemain bintang seperti Gepeng (Alm), Tarzan, Asmuni, Juju, Nunung, Basuki (Alm) dan yang lainnya, tersohor karena kemampuan Teguh sebagai pimpinan memanej Srimulat dan terkenal bertangan dingin, benar-benar mempercayai anggotanya menangani urusan menerima pesanan kepada Tarzan.

Di tahun 80-an Basuki, Tarzan dan Gepeng menerima honor paling tinggi Rp. 6.000,- untuk dua kali pementasan. Urusan keuangan tanggung jawab bendahara. Sebagai Pimpinan Teguh (Alm) tidak pernah mau tahu dengan urusan keuangan. Akhirnya Srimulat pecah kongsi juga, dikarenakan masalah sepele. Yaitu “duit”.

Ditahun 70-an Teater Populer pimpinan Teguh Karya dipercaya untuk tetap mentas di aula Hotel Indonesia. Memang tidak setiap malam ada pementasan. Setiap Teater Populer manggung di Hotel Indonesia, kursi penonton tetap padat. Ternyata Teguh Karya (Alm) menerapkan system donator. Kiat ini dipakai Teater Populer agar antara penontonnya dan pekerja seni teater terjalin keakraban.

Teguh berhasil. Begitu Teguh Karya sibuk menyutradarai film, aksi panggung Teater Populer menjadi goyang. Kalaupun ada pementasan dari Teater Populer, mereka cukup mentas di sangar atau mentas di Taman Ismail Marzuki. Tak berapa lama kemudian, Nano Riantiarno membentuk Teater Koma. Setelah Teater Populer tidak lagi meneruskan penonton yang dijemput, Nano sebagai salah seorang anggota Teater Populer meneruskan pola gurunya. Jadilah Teater Koma satu-satunya grup teater modern di Indonesia yang memiliki puluhan ribu penonton.

Sayang kelompok Ludruk Tobong pimpinan Sakia tak menerapkan kiat yang dipakai teater Populer dan Teater Koma. Penonton harus dijemput. Penonton setia Teater Koma juga diundang pada saat latihan persiapan. Beberapa penonton diminta menyampaikan pendapatnya secara kekeluargaan. Barangkali bila hal serupa diterapkan oleh Ludruk Tobong atau kelompok-kelompok tradisi lainnya, dengan kesabaran dan system yang professional, bukan tidak mungkin teater kembali diminati banyak orang. (Darwis Rifai Harahap)

sumber berita : http://www.analisadaily.com/news/read/2012/02/26/37455/ludruk_tobong/#.T0oDf4fxqDk

sumber photo : http://buntoroku.blogspot.com