Ourvoice.or.id. Sosok bersetelan jas hitam lengkap itu tengah duduk di atas sofa. Kepalanya yang pelontos membuat orang mempertanyakan jenis kelaminnya: laki-laki atau perempuan. Apalagi posisi duduknya yang merapatkan kedua paha sambil memiringkan kedua kaki mengingatkan orang pada adab duduk perempuan. Kedua tangan bertumpu di atas paha.
Lukisan bercat akrilik di atas kanvas itu diberi judul Reality Bite . Pelukisnya mahasiswa Pascasarjana Jurusan Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Iqi Qoror – yang samar jenis kelaminnya. Pada lukisan Pink Iron, pemuda kelahiran Surabaya pada 1984 itu kembali mempertanyakan status gender seseorang: maskulin atau feminin, melalui sebuah seterika.
Sosok berkelamin samar itu tengah menggosok kain dengen seterika. Benda untuk melicinkan pakaian itu selama ini diakui sebagai alat kerja yang menunjuk kaum feminin sebagai pihak yang mempekerjakannya. Tapi di tangan Iqi, seterika menjadi alat kerja bagi kelamin apapun.
Begitu pun kritikan Iqi atas ketatnya kontruksi gender yang dibangun agar orang disebut perempuan dan laki-laki. Bisa dilihat pada karya lukis Saya Berkumis yang menggambarkan dua sosok berkepala pelontos. Satu sosok mengenakan pakaian atas dengan potongan leher bulat yang menggambarkan perempuan.
Sosok lain mengenakan pakaian atas dengan potongan leher segitiga yang mencerminkan laki-laki. Kedua mulutnya masing-masing ditutup dengan sepotong kertas bergambar kumis. Sebuah pesan ingin disampaikan adalah tak ada salahnya perempuan berkumis karena manusia berkuasa atas dirinya sendiri.
Pesan serupa tersimpan dalam sebuah instalasi dari besi esser yang dibentuk menjadi tiga wajah yang dirangkai menjadi satu. Instalasi itu dibangun pada rangka jari-jari heksagonal yang menyerupai pintu berputar yang bisa digerakkan. Lewat penyatuan tiga wajah itu dalam “Sekat Dimensi”, Iqi ingin meleburkan identitas kelamin pada satu subyek.
“Semakin jelas, Iqi ingin menghadirkan dunia androgini yang ambigu. Dia menjadikan genderless sebagai latar belakang proses kreatifnya,” kata kurator, Hendra Himawan dalam pembukaan pameran karya Iqi “Family Gray Diary” di Bentara Budaya Yogyakarta, Bulan Juli lalu.
Iqi tak menampik. Dia mengaku ada kegerahan atas proses perwujudan jenis kelamin yang diterapkan di lingkungan keluarganya, yang notabene potret umum masyarakat luas. Bagaimana bayi lahir sudah tidak merdeka atas hak dirinya karena dibentuk menjadi perempuan dengan ditindik telinganya atau pun menjadi laki-laki dengan diberi mainan bola.“Ada pemaksaan identitas. Jadi saya membuat karya, bagaimana rasanya kalau dunia tanpa identitas gender,” kata Iqi kepada Tempo malam itu.
Lahir dari keluarga religius tak membuat Iqi terkekang. Bahkan karya soal gender sudah dua kali diketengahkan Iqi kepada publik. Pertama di Surabaya dengan pameran berjudul “Wood Mood” yang menceritakan soal dunia LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender). Kemudian “Family Gray Diary” yang merupakan bagian tugas akhir untuk meraih gelar magister seni yang mengangkat soal genderless. Perpaduan ayah asal Lampung dan ibu seorang Arab diakui Iqi cukup mendukung proses kreatifnya sebagai seniman.
“Tapi soal tema, keluarga tak tahu. Belum ada kritikan. Toh, kalau saya bilang dunia homo, mereka juga tidak tahu,” kata Iqi yang malam itu tampil dengan blazer dan celana ketat berkalung syal biru muda di lehernya.
Bagi Edi Sunaryo, dosen penguji tesis Iqi, tema dan karya yang diangkat Iqi adalah bentuk ide gila. Bahkan tak banyak mahasiswanya yang mempunyai keberanian mengangkat tema yang selalu menjadi perdebatan publik itu. Apalagi sebagai mahasiswa S2, karya seni yang dihasilkan mesti bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. “Ini bukan soal seksualitas, tapi kesetaraan gender. Bagaimana pun kami harus mengapresiasi imajinasi Iqi yang didorong oleh libido untuk berkarya,” kata Edi.
Musisi Djaduk Ferianto yang didaulat untuk membuka pameran itu menyempilkan kritik atas karya Iqi yang terlalu mengangkat budaya nge-pop. Padahal potret androgini itu sebenarnya juga sudah ada pada tokoh punakawan Semar yang ber-makeup, mengenakan anting, mempunyai puting susu, profesinya momong para pandawa, tapi dia bukan laki-laki maupun perempuan. Ruang imajinasi itu bentuk keliaran yang patut dipelihara. Tapi dunia seni Indonesia mestinya berpihak pada tanah air,” kata Djaduk.
Sumber : http://www.tempo.co