Ourvoice.or.id. Yanti Setuju Berhenti Main Ludruk, Pilih Buka Warung Kekuatan cinta Supriyanto alias Yanti, 31, seolah menembus sekat-sekat waktu. Waria warga Desa Pulogedang Kecamatan Tembelang Jombang ini telah 16 tahun menjalin hubungan khusus dengan Dakirin. Keduanya tinggal serumah di rumah warisan orang tua Yanti di Desa Pulogedang. Warung berdimensi 4 m x 3 m di Jl Desa Pulogedang itu penuh dengan barang dagangan. Botol air minum dalam kemasan, softdrink, snack, lampu teplok hingga kendi terpampang di kiri, kanan dan bagian depan warung. Sisa sayur mayur dan lauk pauk tergeletak di kursi kayu, di bagian belakang warung. Di depan bangunan berstruktur jalinan bambu atau gedhek dan beralas tanah itu terdapat kursi bambu selebar 1 m x 3 m. Tingginya sekitar 75 cm dari atas tanah. Dua ekor ayam mencari sisa makanan di sekitar warung. Yanti yang kemarin mengenakan T-shirt hijau dan berkalung emas masih melayani pembeli, anak-anak yang masih tetangganya. Warung kecil itu menghadap ke utara, hanya berjarak 10 m dengan tebing Sungai Brantas. Ditemani Subaidi alias Zubaidah, 33, waria yang tinggal di Desa Rejoso Pinggir Kecamatan Tembelang, Radar Mojokerto berbincang dengan Yanti dan Dakirin. “Monggo Mas…,” sapa Yanti kepada Radar Mojokerto sambil menyodorkan dua gelas teh hangat. Dakirin keluar dari rumah, letaknya berdampingan dengan warung. “Itu rumah warisan dari almarhum orang tua. Saya tinggal dengan Mas Dakirin dan adik yang telah berkeluarga,” papar Yanti Dakirin menyela. Duda dengan empat anak yang telah berkeluarga ini lantas bercerita tentang hubungannya dengan Yanti. Waria itu dikenalnya dalam sebuah pertunjukan ludruk di Tapen, Jombang pada tahun 1993 silam. Kala itu, Dakirin bekerja sebagai kuli angkut pasir di tepi Sungai Brantas. Dakirin kos di sekitar Tapen. “Yanti dulunya pemain ludruk,” kata Dakirin. Hubungan itu terus berlanjut. Mulanya persahabatan biasa. Namun, saking lamanya, berbuah cinta. Dakirin mengaku tertarik dengan kesederhanaan dan ketulusan cinta Yanti padanya. Meski, saat itu, Yanti tahu dia masih beristri dengan empat anak. “Alhamdulillah keluarga menerima hubungan itu.” Setahun bergulir, pada tahun 1994, istri Dakirin meninggal karena sakit. Ini makin menjadikan hubungannya dengan Yanti semakin dekat. Bahkan, Dakirin rela tinggal sekamar di rumah Yanti. “Tetangga dapat menerima. Sebab, saya bisa menunjukkan surat identitas dari desa asal.” Dakirin bertutur, meski waria, Yanti punya keistimewaan. Yakni, dapat menerima dia dan keluarganya dengan sepenuh hati. Bahkan, beberapa kali anak-anaknya yang berdomisili di Wringin Anom Gresik bertandang ke rumahnya. “Prinsip saya, daripada mencari wanita nakal, mending berteman dengan waria seperti Yanti ini,” aku Dakirin sambil tersenyum. Untuk membuktikan hubungannya dengan Yanti, Dakirin membantu membukakan usaha. Pada 2004 lalu, Dakirin membuka warung pracangan di sebelah rumah. Modalnya hampir Rp 1 juta. Uang itu hasil dia menabung sebagai kuli pasir di Sungai Brantas. Hanya dalam waktu dua tahun, usaha itu berkembang. Hasilnya, dia investasikan untuk beternak kambing dan ayam. Kandang kambing dan ayam itu dibangun di belakang rumah. Karena usaha warungnya makin laris, sejak akhir 2006, Dakirin berhenti bekerja sebagai kuali angkut pasir. Kini, aktivitasnya bermula pukul 1.30. Setiap pagi buta pada jam tersebut, dia bersama Yanti ke Pasar Ploso. Desa Pulogedang dan Pasar Ploso berjarak sekitar 7 km. Mereka kulakan sayur dan lauk pauk, bermodal sekitar Rp 400 ribu. Menjelang subuh, mereka kembali. “Selain jual snack untuk anak-anak, kami juga berdagang sayur untuk ibu rumah tangga sekitar,” tandas Dakirin. Untuk menjaga stamina, setiap pukul 12.00 hingga 15.00 warung tutup. Keduanya beristirahat. Dari hasil warung tersebut, pada 2006 dia juga mampu menggelar pesta nikah untuk adik bungsu Yanti, Masbukin. Mereka juga telah menabung material bangunan. Antara lain pasir dan batu-bata. “Saya ingin warung ini tambah besar. Bangunannya akan saya tembok,” kata Dakirin. Yanti mengiyakan rencana Dakirin, pasangan hidupnya. Yanti mengaku, menjalani hidup sebagai waria, dirasa sangat berat. Namun, menjalaninya bersama Dakirin, seolah terasa ringan. “Dulu setiap kali main ludruk pada tahun 1990-an hingga tahun 2000-an, saya dapat Rp 25 ribu hingga Rp 30 ribu. Sekarang sudah dapat lebih,” aku Yanti. Waria drop out MI kelas 6 ini mengaku sejak kecil sudah berperilaku seperti perempuan. Tak heran, temannya menjulukinya sebagai laki-laki setengah perempuan alias bencong. “Saya ya menerima saja. Lha wong keadaannya memang begitu,” ujar Yanti. Tidak hanya temannya, keluarga dekatnya juga menentang atas sikapnya yang memilih menjadi waria. Namun, setelah dia berhasil membuktikan kemampuannya secara ekonomi, keluarga akhirnya luluh dan dapat menerima. “Setelah gak sekolah, pada tahun 1983, saya bekerja sebagai tukang masak dan pembantu di Salon Rika Sentul Tembelang,” kata Yanti. Dari usaha yang dikelola waria itulah, dia mendapatkan bekal pengalaman. Termasukmenjadi pekerja ludruk. Pekerjaan itu dilakoni sejumlah waria karena keterbatasan lapangan kerja dan minimnya ketrampilan. Sebagian waria lainnya berusaha membuka salon. “Saya akhirnya berhenti menjadi pemain ludruk karena merasa lebih cocok jadi penjual di warung,” tegas Yanti. Menyikapi adanya diskriminasi waria di masyarakat, Yanti mengaku cuek. “Tidak saya hiraukan,” katanya. (yr) Penulis : Jalaluddin Hambali, Jombang. Sumber : http://kurakurabiru.multiply.com/journal/item/296/Kisah-Cinta-Dakirin-Serumah-dengan-Waria