Search
Close this search box.

Bupati Garut, Heteroseksual Dan Islam

Ourvoice.or.id – Mual rasanya mendengarkan alasan Bupati Garut, Aceng Fikri yang membawa ajaran agama dalam melakukan praktek “paedofilia” pada anak perempuan berumur 18 tahun. Menurut saya ini bukan sebuah praktek pernikahan tetapi sebuah tindakan “eksploitasi seksual” bahkan dikategorikan sebuah “pemerkosaan” terhadap seorang anak perempuan. Dasarnya jelas undang-undang perlindungan anak No.23 tahun 2002 pasal 13 sudah jelas menyatakan bahwa negara, orang tua dan masyarakat berhak melindungi anak dari segala bentuk eskploitasi seksual. Bupati Garut sebagai pejabat telah gagal melindungi rakyatnya dari praktek eksploitasi seksual.

Sebenarnya apa yang mempengaruhi seorang Bupati melakukan itu? Apakah karena sang Bupati seorang heteroseksual atau karena ajaran Islam yang diyakininya? Atau memang karena hal yang lebih kompleks?

Dari komentar dan kecaman publik tidak ada satu pihak pun yang menyatakan karena orientasi seksual sang Bupati sebagai heteroseksual. Tapi jika kasus ini dalam konteks homoseksual maka sudah dapat dipastikan orientasi seksual sang Bupati akan dikaitkan dengan prilakunya. Dari mulai media, masyarakat sampai para ahli akan mencoba mengkait-kaitkan orientasi seksual (sebagai homoseksual) dengan tindakan seksualnya.

Hal-hal ini sudah sering terjadi, misalnya pada kasus-kasus kriminal yang dialami oleh kelompok homoseksual, kasus Ryan Jombang, Babe, pasangan Lesbian, Waria dengan pasangannya, semua selalu dikaitkan dengan orientasi seksual dengan tindakan pelaku. Tetapi mengapa sang Bupati Aceng, publik tidak mengkaitkan soal orientasi seksualnya sebagai heteroseksual? Ini menunjukkan bahwa sudah begitu “mapannya” orientasi seksual (baca heteroseksual) sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi penyebab tindakan kebiadabannya. Saya sendiri meyakini bahwa prilaku seseorang memang tidak disebabkan secara langsung oleh orientasi seksualnya, baik sebagai heteroseksual, biseksual maupun homoseksual. Kalau biadab ya biadab saja!.

Bagaimana dengan ajaran agama yang diyakini sang Bupati? Jelas, sang Bupati bolak balik mengatasnamakan agama dalam dalam kasus ini. Misalnya lebih baik “menikah” daripada berzina dan berbagai alasan lainnya. Ini persis sama alasan yang digunakan oleh tokoh-tokoh agama atau pihak yang punya kekuasaan ketika melakukan praktek poligami. Daripada selingkuh, berzina lebih baik menikah lagi, itulah justifikasi agama yang banyak digunakan oleh pelaku.

Berikut pernyataan sang Bupati yang dikutip oleh yahoo.com “Sumpah demi Allah, demi Rasulullah. Saya kan duda, pernah punya istri.” (Sang bupati belum bercerai dengan istrinya). Bahkan tindakan eksploitasi seksual dalam kasus Bupati Garut “direstui” oleh tokoh agama dan keluarga, terlepas motip dibalik itu. Sang Bupati yang berlatar belakang pendidikan agama dan juga proses bertemunya dengan sang korban dibantu oleh tokoh agama setempat. Artinya, jelas sekali bahwa praktek “paedofil” direstui dalam pandangan agama yang mereka yakini. Memberikan peluang “pernikahan” anak memang masih menjadi persoalan besar dalam Undang-undang perkawinan di Indonesia.

Jika situasi begitu, apakah artinya ajaran Islam salah? Tentu publik akan sangat dewasa menjelaskan ini. Ini bukan agamanya yang salah tetapi pemahaman sang Bupati dan para pendukungnya yang memahami agama yang salah. Publik tentu dapat menjelaskan ini.

Sedangkan menurut Lucia Ratih Kesumadewi, kandidat Doktor di salah satu Universitas-Perancis dalam groups facebook menyatakan, kebiadaban tidak hanya dilakukan oleh para heteroseksual karena homoseksual pun ada yang biadab. Misalnya kasus Ryan Jombang.

Menurut Lucia kalau masalah agama, selalu ada tegangan antara yang menganggap bahwa agama tanpa cacat dan yang cacat manusianya, lalu disisi lain ada yang mengganggap agama sekaligus manusianya cacat, atau yang ekstrim bilang agamanya yang cacat yang mengajarkan tidak bener. Terserah mau pilih yang mana, kalau pilih yang alasan pertama aman-aman saja, karena tidak usah berhadapan dengan para “pembela agama” tetapi kalau memilih yang kedua apalagi ketiga siap-siap akan dihujat di negeri ini, ungkapnya.

Kembali lagi pada persoalan orientasi seksual, homoseksual. Ketika seorang pelaku kriminal homoseksual, publik bukan hanya mengkaitkan tindakan eksploitasi seksual itu dengan orientasi seksualnya (baca homoseksual) tetapi publik akan menghujat homoseksual sebagai orientasi seksual. Publik akan mengeneralkan bahwa semua homoseksual sama prilakunya dengan para pembunuh.

Dalam konteks homoseksual, sepertinya publik tidak dapat memisahkan dengan tegas mana tindakan individu dengan homoseksual sebagai orientasi seksual. Tetapi mengapa pada kasus sang Bupati yang mengatasnamakan agama, publik sangat bisa membedakan tindakan sang Bupati sebagai individu muslim dengan Islam sebagai agama. Umumnya publik tentu tidak akan katakan bahwa Islam yang salah, tetapi publik sangat paham bahwa ini ada kesalahan sang Bupati memahami ke-Islamannya. (Hartoyo)