Search
Close this search box.

Jakarta, Ourvoice.or.id – Panitia seleksi (Pansel) pemilihan calon Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), melakukan dialog terbuka di Gedung Galeri Cipta II,Taman Ismail Marzuki,Jakarta Pusat, Jum’at (24/2/2012).  Tujuan dari kegiatan ini, menurut Jimly Asshidiqie selaku ketua Pansel, selain rangkaian proses pemilihan calon Komnas HAM juga untuk meminta pendapat publik tentang kriteria seorang calon Komnas HAM 2012-2017.

Dari data yang ada, calon Komnas HAM yang lolos administrasi sebanyak 275 orang dari 363 orang yang mendaftar. Langkah selanjutnya, Pansel akan meminta masukan kepada publik secara langsung dan kemudian memilih 60 orang untuk diundang diskusi publik yang rencana akan dilaksanakan pada 16/4/2012.  Dari masukan publik itu, 60 orang akan dipilih lagi menjadi 30 orang. Inilah yang akan diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada pertengahan Mei 2012.  Keputusan akhir ada ditangan anggota DPR RI, yang rencana akan memilih 15 orang untuk menjadi anggota komisioner Komnas HAM periode 2012-2017.

Diskusi publik banyak dihadiri oleh para korban, masyarakat umum dan aktivis hak asasi manusia, seperti dari aktivis buruh migrant, aktivis petani, korban 65, aktivis buruh bahkan aktivis pluralisme.  Umumnya menekankan bahwa para calon Komnas HAM harus lebih berani bersikap dan bertindak dengan kekuasaan yang dimiliki.  Tidak hanya cukup dengan mengirimkan surat, tetapi ada upaya secara sistematis untuk menegakan HAM di Indonesia dari kasus per kasus.  Karena menurut Anis Hidayah salah seorang peserta diskusi, Komnas HAM masih dinilai sebagai lembaga penegakan HAM yang diperlukan di Indonesia.

Sedangkang Nia Syarifudin, seorang aktivis pluralisme, menyatakan bahwa para calon Komnas HAM harus dari orang-orang yang memahami konsep HAM secara benar.  Misalnya untuk kasus-kasus kebebasan beragama.  Lembaga Komnas HAM  tidak boleh masuk pada keyakinan seseorang, apalagi menyatakan keyakinan seseorang yang sesat.  Karena selama ini masih ada anggota Komnas HAM menganggap Ahmidiyah sebagai aliran “sesat” atau harus keluar dari Islam. Hal-hal seperti akan berbahaya pada penengakan HAM di Indonesia, ungkap Nia.

Menjadi sangat penting, terlepas dari wewenang Komnas HAM yang masih banyak dianggap lemah oleh banyak pihak. Tetapi cara pandang dan sikap seorang Komisioner Komnas HAM harus punya visi HAM dan negarawan.  Bukan individu yang berpikir parsial dan sektarian, apalagi takut pada yang berbeda.  Bagaimana anggota Pansel dapat menguji pemahaman dan sikap  para calon Komnas HAM dari isu Pluralisme, Keberagaman Seksualitas, Isu Perempuan maupun isu-isu marginal lainnya yang masih dianggap sangat sensitif oleh banyak orang.

Perjuangan HAM untuk isu-isu kebebasan beragama, seperti isu Ahmadiyah, agama lokal,Lia Eden, pernikahan beda agama mempunyai tantangan sendiri.  Begitu juga untuk isu hak-hak homoseksual, Poligami, Pecandu Narkoba, HIV dan AIDS, yang sering sekali dihadapkan pada persoalan moral.  Misalnya seorang aktivis begitu “getol” dan progresif ketika memperjuangan hak-hak buruh, petani dan nelayan. Tetapi ketika dihadapkan pada persoalan hak homoseksual, kebebasan beragama dan hak tubuh perempuan, tiba-tiba menjadi seorang yang sangat “konservatif” dalam melihat hak asasi manusia.

Sehingga harus menjadi perhatian serius bagi semua anggota Pansel maupun publik dalam  meloloskan para calon komisioner Komnas HAM  sampai ke gedung DPR RI.  Karena jika hanya berharap di gedung DPR RI, akan sangat sulit karena lebih besar pada kepentingan politik, yang sering mengabaikan makna HAM yang sebenarnya.

Penulis sendiri yakin, walau tidak seratus persen, bahwa seseorang yang sangat berpihak pada isu-isu kebebasan beragama (pluralisme) dan keberagaman orientasi seksual dan identitas gender, maka akan lebih mudah memahami pemenuhan HAM lainnya.  Karena lembaga Komnas HAM bukan sedang mencari calon Komnas HAM untuk memperjuangkan satu kelompok saja, tetapi penegakan HAM untuk semua orang tanpa terkecuali. (Hartoyo)