Search
Close this search box.

Dariah Sang Lengger Lanang

(Sumber foto : pppbanyumas.blogspot.com)

Ourvoice.or.id. Kesenian lengger di Banyumas tak hanya dipentaskan oleh perempuan, akan tetapi laki-laki pun ikut mementaskannya dan tak kalah mempesona jika disetarakan dengan tarian lengger yang dibawakan oleh seorang perempuan.

Kesenian Lengger Banyumas saat dipentaskan umumnya diiringi oleh alat musik yang yang berbeda nuansanya dengan tarian ronggeng di daerah lainnya. Alat musik yang mengiringi kesenian lengger Banyumas antaranya alat musik tradisionl calung yang terbuat dari bambu dan dikenal namacalung banyumasan.

Dalam era modern ini, Lengger lanang bukanlah hal yang familiar bagi masyarakat umum dan kini hanya tinggal ada satu orang pemain lengger lanang yang bernama Dariah (sadam) yang telah berusia lanjut. Meski usianya tak lagi muda Dariah masih setia mendedikasikan hidupnya pada kesenian lengger Banyumasan tanpa kenal lelah.

Kisah dari Dariah Hingga Sampai Menjadi Lengger Lanang

Dariah lahir di desa Somakaton, kecamatan Somagede, kabupaten Banyumas dengan nama Sadam (84tahun), berjenis kelamin laki-laki. Sejak kecil Sadam tinggal bersama kakeknya, Krama Leksana yang hidup sebagai petani kecil. Ayahnya, Marta Samin yang bekerja sebagai buruh tani belum mampu membuat rumah sendiri.

Pada suatu saat datang seorang pengelana (penyebar agama Islam Abangan) bernama Kaki Danabau. Tidak ada seorangpun yang tahu siapa dan darimana asal Kaki Danabau, sebab nama tersebut lebih terkesan sebagai nama samaran.

Kaki Danabau bertempat tinggal di rumah Krama Leksana. Di rumah kakek Dariah itu, Kaki Danabau membantu menggarap lahan pertanian, membersihkan kebun, dan membantu pekerjaan rumah tangga yang lain tanpa mengharap imbalan apapun. Setiap malam Kaki Danabau mendongeng tentang kisah para nabi maupun aplikasi ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Kaki Danabahu jarang sekali makan nasi, Kaki Danabau sekedar makan beberapa potong ubi jalar rebus dalam satu hari, selebihnya hanya menghisap rokok klobot ( rokok yg tembakaunya dibungkus dengan daun jagung) yang dipadu dengan klembak menyan. Pada hari-hari tertentu Kaki Danabau pergi tanpa ada yang tau kemana arahnya dan kemudian datang lagi.

Pada suatu ketika setelah Sadam dikhitan, Kaki Danabau mengatakan sesuatu yang tidak diduga-duga. Kaki Danabau : “Wirya, kae putumu si Sadam tah kadunungan indhang lengger, angger gelem sinau bisa dadi lengger sing misuwur” (Wirya, cucumu si Sadam dirasuki indhang lengger. Kalau mau belajar, bisa jadi lengger yang terkenal).

Kata-kata Kaki Danabau tidak lepas dari kenyataan yang ada. Dariah kecil meskipun berjenis kelamin laki-laki, namun suka lenggak-lenggok seperti seorang lengger dan suka nyindhen (menyuarakan vokal/lagu sindhenan) atau melagukan tembang-tembang Jawa. Kegemarannya menari dan menyanyi dilakukan sambil melakukan pekerjaan apa saja. Rengeng-rengeng (menyanyi dengan suara lirih) merupakan salah satu kesenangannya selain menari seperti halnya yang dilakukan oleh penari lengger di atas pentas.

Dariah tidak tahu apakah bernar-benar telah kerasukan indhang lengger atau sekedar terobsesi oleh kata-kata Kaki Danabau. Sejak mendengar kata-kata tersebut dalam diri Dariah yang kala itu masih bernama Sadam terjadi gejolak yang tak terkendali. Sadam seperti dituntun oleh alam bawah sadar. Tanpa pamit dengan orang-orang tercinta, Sadam pergi berjalan mengikuti langkah kaki. Hal yang masih diingatnya adalah berjalan ke timur mengikuti jalan beraspal jalur Banyumas – Banjarnegara, kemudian berbelok ke kiri ke arah Purbalingga. Di daerah Bukateja, Sadam sempat berhenti dan diberi air minum oleh warga setempat.

Dariah terus berjalan entah ke mana dan entah berapa hari sudah dilewatinya, hingga  akhirnya sampai di sebuah pekuburan tua. Dariah melihat banyak batu lonjong  dalam posisi berdiri (menhir) dan ada sebuah arca wanita cantik terbuat dari batu. Dariah belum juga tahu di wilayah mana dirinya berada. Dariah hanya dapat memasrahkan hidup dan matinya kepada Hyang Maha Pencipta, dan memohon kalau memang ditakdirkan menjadi seorang lengger maka dirinya akan menerima dengan sepenuh hati.

Di tempat yang sebelumnya sama sekali tidak dikenalnya, Dariah sama sekali tidak berniat bertapa atau bersamadi, tetapi betapa dirinya merasa tenang dan damai, sehingga merasa betah dalam waktu berhari-hari. Dariah merasa, mendapatkan perlindungan dari kekuatan magis yang tidak pernah dimengerti. Dariah tidak dapat mengingat berapa hari dan berapa malam berada di makam tua tanpa makan dan minum. Menurut Dariah peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada masa penjajahan Jepang menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia atau sekitar tahun 1944 – 1945.

Setelah berhari-hari Dariah berada di tempat pekuburan tua yang sangat mendamaikan hatinya, selanjutnya mulai terdengar pembicaraan orang-orang yang lewat di jalan yang ada di sisi barat tempat ia bersimpuh. “Kae sapa sih sing lagi tapa ning Panembahan Ronggeng?” (Siapa sih, yang sedang bertapa di makam Panembahan Ronggeng ) tanya seseorang. Yang lain menjawab sekenanya: “mbuh wongendi. wong nang Panembahan  mesthie ya ngudi men bisa dai ronggeng” (entah dari mana, orang di Panembahan Ronggeng mestinya yang sedang memohon agar dapat menjadi ronggeng). Dariah mulai paham bahwa selama beberapa hari ternyata dirinya berada di makam Panembahan Rongeng yang merupakan tempat bagi orang memohon kepada Penguasa Alam agar dapat menjadi seorang ronggeng.

Panembahan Ronggeng merupakan tempat bersamadi bagi orang yang menginginkan dirinya menjadi ronggeng atau lengger, terdapat di desa Gandatapa, kecamatan Sumbang, kabupaten Banyumas. Dengan demikian Dariah telah berjalan mengelilingi tiga kabupaten, yaitu kabupaten Banyumas, Banjarnegara, dan Purbalingga, sebelum akhirnya kembali ke wilayah kabupaten Banyumas di lokasi Panembahan Ronggeng. Hinga penelitian berlangsung, makam Panembahan Ronggeng masih sering dikunjungi dan dijadikan sebagai tempat semadi oleh anggota masyarakat yang menginginkan dirinya menjadi lengger.

JAKARTA, 22/12- TARI LENGGER LANANG . Dariah (80) menampilkan tarian Lengger Banyumas dengan diiringi sinden pada acara Maestro Maestro di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (21/12). Selain tokoh tari lengger dipertunjukkan juga Suwitri, tokoh tari Topeng Slawi dari Tegal dan Onih, tokoh tari Topeng Betawi. FOTO ANTARA/Fikri Adin/mes/11
Dariah (84) menampilkan tarian Lengger Banyumas dengan diiringi sinden pada acara Maestro Maestro di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (21/12). Selain tokoh tari lengger dipertunjukkan juga Suwitri, tokoh tari Topeng Slawi dari Tegal dan Onih, tokoh tari Topeng Betawi. FOTO ANTARA/Fikri Adin/mes/11

Setelah merasa puas berada di makam Panembahan Ronggeng, selanjutnya Dariah melanjutkan perjalanan pulang. Untuk menuju ke tempat tinggalnya di Somakaton, Dariah tidak begitu saja tahu jalan yang harus dilalui. Dariah harus banyak bertanya kepada orang yang dijumpainya dalam perjalanan. Akhirnya Dariah sampai di kota Purwokerto.

Di Purwokerto Dariah membelanjakan bekal uangnya untuk membeli perlengkapan yang dibutuhkan oleh seorang lengger dalam pementasan. Dariah berambut pendek, dibelinya satu  buah gelung brongsong (konde yang dilengkapi semacam ikat kepala sehingga pemakaiannya tinggal diterapkan di kepala). Dariah juga membeli kemben ( kain penutup dada), sampur, dan keperluan lainnya.

Barang-barang hasil belanjaan yang dipersiakan untuk perlengkapan lengger lalu dibawanya pulang. Dengan berjalanan kaki akhirnya Dariah sampai di Somakaton. Betapa gemparnya selururuh keluarga, kerabat dan tetangga-tetangganya demi mengetahui Dariah pulang setelah sekian lama pergi entah kemana tanpa ada seorangpun yang tahu.

Sesampainya di rumah Dariah menceritakan semua yang dialami selama kepergiannya. Seluruh keluarga dan kerabat menggapi positif semua yang terjadi. Semua kerabat menganggap bahwa semua yang telah terjadi nerupakan bagian dari proses yang harus dialami oleh Dariah untuk menjadi penari lengger. Beberapa orang yang memiliki ketrampilan bermain gamelan dikumpulkan untuk berlatih bersama-sama dengan Dariah.

Semenjak itulah Dariah menjadi seorang penari lengger. Menurut Dariah apa yang dialaminya itu terjadi pada masa penjajahan Jepang menjelang kemerdekaan Indonesia (antara tahun 1944 – 1945).

Pada puncak ketenarannya, Dariah digandrungi banyak lelaki. Beberapa pria yang jatuh cinta padanya antara lain: Kaki Sijem, Badri, dan Mukyani. Kaki Sijem rela menjual sawah hanya untuk membeli sesuatu yang dipersembahkan untuk Dariah. Ada pula seorang Lurah yang tergila-gila dengan Dariah. Setiap kali datang selalu naik kuda. Beberapa kali Dariah pentas di wilayah yang berdekatan dengan rumah Lurah itu. Saat pulang pentas Dariah diantar naik kuda berdua.

Badri dan Mukyani adalah dua pemuda dari kalangan rakyat jelata yang juga kagum dan jatuh cinta pada Dariah. Namun mengingat keduanya berasal dari kalangan keluarga tidak mampu, keduanya datang ke tempat tinggal Dariah di sela-sela waktu tamu-tamu kaya tidak berkunjung ke rumah Dariah.

Dariah Melestarikan Seni lengger Yang Hampir Punah

Didik Nini Thowok (kanan) mementaskan tarian Lengger Lanang bersama maestro tari Lengger Lanang, Dariah (kiri) di Padepokan Payung Agung, Desa Banjarsari, Kec. Nusawungu, Cilacap, Jateng, Kamis (15/11). Pentas Lengger tersebut selain dimainkan dalam rangka menyambut Tahun Baru Jawa 1 Suro 1946, juga bagian dari proses pendokumentasian budaya tari
Didik Nini Thowok (kanan) mementaskan tarian Lengger Lanang bersama maestro tari Lengger Lanang, Dariah (kiri) di Padepokan Payung Agung, Desa Banjarsari, Kec. Nusawungu, Cilacap, Jateng, Kamis (15/11). Pentas Lengger tersebut selain dimainkan dalam rangka menyambut Tahun Baru Jawa 1 Suro 1946, juga bagian dari proses pendokumentasian budaya tari

Menurut seniman pengasuh Sanggar Seni Banyu Biru Desa Plana, Yusmanto, lengger lanang (laki-laki) mulai berkembang pada masa Kademangan Gumelem, sekitar abad ke-17. Saat itu perempuan tak boleh memamerkan bagian tubuhnya untuk dinikmati banyak orang, lengger dimainkan kaum pria.”Penari lengger seperti Mbok Dariah mendapat status sosial tinggi di masanya.

Pilihan hidup yang berat untuk memberi hiburan bagi khalayak membuat mereka dikagumi,” jelasnya.

Kini, kala tiada lagi lengger lanang tersisa di Banyumas, Dariah yang melajang sepanjang hayat tetap mendedikasikan diri bagi seni yang telah mengubah jalan hidupnya. Meski untuk berjalan pun harus tertatih, dia rajin mengajar bocah-bocah kecil menari lengger di Sanggar Seni Banyu Biru yang berjarak sekitar tiga kilometer dari rumahnya.

Menghabiskan masa tua bersama keponakannya di rumah kecil di tepi Sungai Serayu, Dariah tak pernah menolak tamu-tamu seniman dari luar daerah yang mengunjunginya. Bahkan, ketika harus pentas di Taman Ismail Marzuki Jakarta, akhir Desember lalu bersama dua maestro tari lain dari Slawi dan Betawi, ia jalani tanpa keluhan.

Kepada semua tamu dan seniman lain yang mengunjungi rumahnya, Dariah hanya berpesan, “Nyong pengin akeh bocah njoget lengger”. (Saya ingin lihat banyak anak menari lengger). Saya hanya bisa mengajari, tidak kuat yang lain,” ujar Dariah sambil sesekali mengedip, menahan titik air di sudut mata keriputnya.

Kala semua tamu meninggalkan rumahnya, dan sunyi kembali menyergap, Dariah tertatih menuju kamar. Dibukanya tas keresek berdebu yang tergolek di atas dipan. Dikenakannya kebaya hijau dan sampur merah serta perhiasan lain yang disimpan puluhan tahun. Tanpa iringan musik, tangannya digerakkan perlahan.

Mulutnya bergumam menyenandungkan gending Banyumasan. Kita Warga Banyumas mesti bersyukur karena seni lengger lanang yang sangat langka dan di kagumi dunia masih bertahan dan masih ada yang peduli untuk melestarikannya

Sumber : http://baturraden.info, http://pppbanyumas.blogspot.com