Search
Close this search box.

Bedah Buku : Kami Tidak Bisu

Desboy,Pengisi Acara (Foto: Hartoyo)
Desboy,Pengisi Acara (Foto: Hartoyo)

Ourvoice.or.id – Diskriminasi kelompok homoseksual kemungkinan disebabkan ada ketakutan kelompok “mayoritas” (baca: heteroseksual) terhadap yang lain, ungkap Khaerul Umam dalam bedah buku ” Kami Tidak Bisu” di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, Senin, 26/11/2012.

Diskusi bedah buku ini merupakan rangkaian kegiatan kampanye ” 16 hari penghapusan kekerasan terhadap perempuan” yang dilakukan oleh Institut Pelangi Perempuan bekerjasama dengan Komnas Perempuan dan FISIP UI.  Selain Khaerul Umam, juga menghadirkan penulis buku, Kamilia Manaf direktur Institut Pelangi Perempuan.

Ditempat terpisah, pendapat Umam sejalan dengan Hendra Sutedja, dosen filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, bahwa seseorang yang melakukan diskriminasi karena pelaku menolak pada realita yang berbeda. Karena ketakutan atau tidak mengingingkan pada yang berbeda, maka perlunya sistem kontrol/pendisiplinan yang dalam konsep filsafat Michel Foucault dinamakan dengan Panoptic heteroseksual, jelas Umam dosen FISIP UI.

Umam menegaskan bahwa tubuh menjadi arena pertempuran politik, sosial, ekonomi untuk selalu diawasi oleh publik dan negara. Jika tidak tunduk maka akan diberikan sanksi. Bentuk sanksinya dari berbagai macam, seperti sanksi moral, label dosa sampai kriminalisasi dalam bentuk kebijakan negara.

Salah satu peserta diskusi (Foto: Hartoyo)
Salah satu peserta diskusi (Foto: Hartoyo)

Umam juga menegaskan tubuh manusia bukan hanya terdiri dari entitas biologis (tulang dan daging) saja, tetapi ada entitas sosial yang justru memberikan pengaruh besar dalam kehidupan sosial manusia. Sehingga manusia tidak hanya ditentukan berdasarkan biologis semata.
Dalam kesempatan itu, narasumber kedua, Kamilia manaf memaparkan kaitan antara hak Lesbian,Gay,Biseksual,Transgender, Intersex dan Querr (LGBTIQ) dengan hak asasi manusia. Menurut Kamel, hak-hak LGBTIQ sekarang banyak diperjuangkan di tingkat international seperti yang ada dalam dokumen prinsip-prinsip Yogyakarta.

Buku “Kami Tidak Bisu” sendiri merupakan kumpulan pengalaman lesbian muda dalam menguatkan satu sama lain yang dirangkum dalam “Kongkow Lez”.  Diskusi-diskusi kecil kelompok lesbian muda dicatat dan dikumpulkan oleh team IPP sehingga menghasilkan satu buku tersebut.

Kegiatan bedah buku dan diskusi ini di moderatori oleh Anty, mahasiswa pasca sarjana Antropologi UI. Sedangkan peserta diskusi para mahasiswa pasca sarjana, aktivis dan juga mahasiswa.  Selain itu juga dihadiri oleh ketua program study Antropologi UI, Dr. Tony Rudyansjah M.A., yang memberikan pendapat perlunya membahas identitas kelompok dalam ruang publik sebagai sebuah entitas budaya.

Perdebatan merebut ruang publik (ruang politik) bagi kelompok-kelompok marginal menjadi salah satu pembahasan dalam diskusi tersebut. Bagaimana kelompok LGBTIQ dapat terwakili hak-hak di lembaga legislatif, apakah melalui perwakilan kelompok tersebut atau ada cara lain?
Menurut salah satu peserta diskusi bahwa yang paling penting adalah meyadarkan pemerintah tentang konsep kewarganegaraan. Bagaimana setiap warga negara punya hak yang sama dan memastikan hak itu dipenuhi oleh negara. Perjuangan ini yang perlu terus menerus dilakukan oleh setiap orang, termasuk juga kelompok LGBTIQ di Indonesia, ungkapnya.

Situasi kebijakan tingkat nasional Indonesia walau tidak mengkriminalkan homoseksual tetapi beberapa kebijakan seperti Undang-Undang Penyiaran dan Perfilman melarang meyampaikan homoseksual sebagai sesuatu yang wajar. (Hartoyo)