Search
Close this search box.

Diskusi Buku: Jangan (Hanya) Lihat Kelaminku

Ourvoice.or.id – Seringkali waria disalah-mengerti dan diberi label negatif oleh sebagian masyarakat. Dan hal itulah yang membuat seorang Marlyn Sopjan, Puteri Waria Indonesia 2006, menjadi geram. Dari kegeraman itu dia pun menulis buku Jangan Lihat Kelaminku, sebuah buku yang menceritakan pengalaman hidupnya. Setelah sukses dengan buku pertama, marlyn pun kembali menuliskan buku kedua, Perempuan Tanpa V, melalui buku ini semakin meneguhkan bahwa eksistensinya  bukanlah manusia kelas tiga, bahwasannya dia rindu disebut perempuan, dia bukan waria, meskipun tidak memiliki vagina. Kamis, 22 November 2012, Ourvoice Indonesia mengulas kedua buku Marlyn tersebut. Mengusung Tema “Sleeping With Marlyn” kantor Ourvoice Indonesia pun disulap menjadi layaknya kamar seorang gadis,  peserta pun di minta hadir dengan mengenakan baju tidur mereka.

Perbincangan dimulai dengan monolog “Rumahmu adalah Hatiku” Oleh Marlyn. “Cerita ini terinspirasi dari kisah teman SMA (Sekolah Menengah Atas) saya, yang bertemu dengan cinta lamanya dan dia rela mempertaruhkan segalanya termasuk rumah tangganya hanya untuk cinta masa  lalunya,” ujar Marlyn ketika ditanya apakah kisah ini berasal dari pengalaman pribadi. “Bagiku itu sangat naif, ketika kita mempertaruhkan segalanya hanya untuk masa lalu kita,” sambungnya. Merlyn pun mengatakan bahwa lebih baik merawat cinta yang kita punya dibandingkan dengan kita bertaruh untuk sesuatu yang belum tentu membuat kita lebih bahagia dari sekarang.

Diskusi mulai menghangat ketika Christy, seorang waria asal jakarta, membacakan “Perempuan Tanpa V” karya Marlyn. “Orang sering menyebut perempuan itu ininya (menunjukkan payudaranya) maju ke depan dan bagian belakangnya menyembul ke belakang, padahal perempuan itu kan jiwa,” kata Christy mengungkapkan pencerahan yang ia dapat dari karya Marlyn tersebut. Di tengah masyarakat yang masih hitam-putih dan sangat sulit melihat sesuatu yang berbeda, Marlyn hanya menjawab, ” Mata kita lebih senang melihat sesuatu yang dinamis, lalu mengapa kita terus melihat yang statis, Tuhan menciptakan sesuatu yang berbeda itu untuk menunjukkan ke-Maha-Besarannya.”

Sebuah pembacaan yang mendapat sambutan meriah dari peserta adalah pembacaan dari Faisal, gay asal Aceh. Faisal membacakan “Mbak Inul Mati, Mbok….” , sebuah cerita  pendek yang sangat humanis, terinspirasi dari kondisi Indonesia tahun 2008 yang mana saat itu sedang timbul kontroversi Rancangan Undang Undang Pornografi. “Cerita ini sangat universal banget, bahwa manusia yang pada dasarnya memang berbeda, dipaksakan untuk sama.” Ujar Faisal ketika ditanya mengapa memilih membaca cerita itu. Menurut Merlyn, baju adalah identitas, dan identitas adalah sesuatu yang merdeka. Salah satu kebutuhan yang mendasar yang tidak dipenuhi pemerintah untuk kelompok waria adalah kebutuhan untuk mengekspresikan identitasnya, mengekspresikan dirinya. Inilah yang harus diperjuangkan oleh kita semua.

“Sebuah akhir, sebuah awal….. Ketika akhirnya bisa berdamai dengan diri sendiri dan menerima diri sepenuhnya seperti apa yang kita inginkan, yang kemudian lahir adalah rasa yang begitu melegakan…. Hari ini saya melepaskan segala keinginan saya dan memberi Tuhan satu ruang untuk melakukan pekerjaan-Nya atas hidup saya. Saya adalah Merlyn. Dan saya adalah seorang Waria yang akan terus mencintai keunikan saya.”  Kata-kata itu menjadi kalimat penutup dalam ulasan buku kali ini. sebuah pesan untuk kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transjender untuk selalu mencintai keunikan dirinya, tanpa harus terbawa arus pengelompokkan yang hanya hitam-putih. (Guhtee Gaidar)