Search
Close this search box.

(foto : Koleksi Pribadi Penulis di Alcazar, Thailand)
(foto : Koleksi Pribadi Penulis di Alcazar, Thailand)

Ourvoice.or.id. Lepaskan nilai-nilai, lepaskan budaya, lepaskan super-ego kita. mari kita bicara bagaikan gelas kosong yang siap diisi air!

Isu tentang LGBTQ sudah sering dibicarakan. Praktis, pro dan kontra pun bermunculan baik dari segi ilmu pengetahuan, kesehatan, agama, kepercayaan, dan berbagai hal lainnya. Berbagai perdebatan dari waktu ke waktu pun terjadi. Namun, herannya adalah mengapa berbagai fenomena terkait LGBTQ terus saja ada? Adakah yang salah? Pada artikel kali ini saya akan membahas (kembali) tentang kasus LGBTQ khususnya fenomena transgender.

Siapa mereka???

Sudah banyak diketahui bahwa transgender identik dengan waria dan tomboy. Tapi, pada ulasan kali ini saya ingin memfokuskannya kepada apa yang sering kita sebut dengan ‘waria’. “Transgenderism can refer to those who crossdress, those who are intersexed, those who live in the opposite societal role of their physical sex, those who play with gender expression for any purpose whatsoever, and transsexuals as well (http://www.transsexual.org/)” khususnya juga kaum transeksual yaitu, kaum transgender yang menjalani operasi ganti kelamin khususnya untuk mempertahankan gender yang mereka anut.

Lalu, ada apa dengan mereka?

Seperti yang dikatakan di atas, kaum ini seringkali ditolak di daerah kita. tapi, menariknya, mereka tetap ada di sekitar kita, hidup dengan kita, bahkan bekerja bersama kita. Jika Anda berdomisili di Surabaya, salah satu tempat ‘mangkal mereka adalah di daerah Jalan Irian Barat pada malam hari. Selain itu, macam-macam profesi pun dilakoni oleh para kamu marginal ini dari bekerja di salon, hingga menjadi pekerja seks komersial.

Perdebatan yang terjadi seringkali dikarenakan aspek super-ego yang berlangsung di daerah kita, Indonesia, ataupun budaya ketimuran yang menganggap bahwa kaum ini melanggar tatanan moral, nilai-nilai serta budaya (tentang super-ego dimuat dihttp://sosbud.kompasiana.com/2012/07/02/berbicara-soal-abnormalitas/) ya tentu saja, Di Indonesia sendiri, kental akan latar belakang kultur budaya dan ajaran agama yang kontra dengan kehadiran kaum ini. reaksi negatif lebih sering mereka terima, “masa cowok berpakaian menjadi cewek?” “masa cowok yang harusnya kereng menjadi lembeng gitu?” lalu apa tanggapan kita selanjutnya? “ihhh, jijik banget deh ama kaum mereka.” “ihhh, awas nular, itu kan penyakit.” Dan berbagai tanggapan lainnya seperti aksi penolakan kongres kongres “Regional International, Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, and Intersex Association/ILGA”, 26-27 Maret 2010 yang sedianya akan dilaksanakan di Surabaya ditolak habis-habisan. Oleh karena hal inilah kelompok marginal ini disebut sebagai kaum abnormal. Eitttsss, jangan marah dulu, mengacu pada definisi abnormal bahwa ketika seseorang atau sekelompok tertentu berperilaku atau menganut suatu nilai di luar kolektiv masyarakat setempat itulah dikatakan abnormal. Berbagai definisi pun dapat kita lihat di buku-buku sosiologi ataupun psikologi abnormal.

Tapi, kehadiran mereka yang terus ada ini tidak bisa menjadi alasan bagi kita, ‘ohhh, agama melarang, nilai-moral menghardik, jadi KITA MUSNAKAN!” apakah gitu? Tentu saja tidak. Hal ini dikarenakan begitu banyak penyebab para transgender dan transseksual menjadi diri mereka seperti ini. Faktor genetik, sosio-kultur, pola asuh, bahkan ekonomi pun menjadi andil dalam eksistensi para waria ini khususnya. Akan lebih bijak jika kita mengkritisinya bukan pada, “GIMANA SIH MENGURANGINYA, tapi lebih kepada, GIMANA SIH MEMBERDAYAKANNYA?”

Kita, perlu membuka wawasan! Berbagai prestasi pun diraih oleh para waria. Sebut saja Harisu, seorang artis Korea, Jenna Talackova, waria asal Kanada di ajang kontes ratu sejagad ataupun otoritas Thailand mempekerjakan waria sebagai awak kabin di maskapai penerbangan, serta jika Anda suka melancong atau jalan-jalan, Alcazar, Pattaya adalah tempat yang cocok membuktikan bahwa waria tidak bisa dipandang sebelah mata.

Secara pribadi, awalnya memang saya terganggu dengan para waria tersebut karena ya memang kita secara sosio kultur melihat mereka sebagai orang yang ‘berbeda’ tapi, dari berbagai literatur yang pernah saya baca, serta melihat pertunjukkan seni serta acara yang dibawakan oleh para waria, mereka juga punya potensi kok. Sehingga, sampai di suatu pemahaman dan filosofi saya, selama mereka tidak mengganggu eksistensi pribadi kita, janganlah mengganggu mereka.

Bagaimana cara memberdayakannya? Pertanyaan yang sama kembali menguak di tengah masyarakat asalkan kita telah sampai pada kesepahaman bahwa mereka juga manusia yang potensial, terlepas dari segala kacamata agama dan moral yang membelenggu pikiran kita bahwa mereka abnormal. Setelahnya, pemerintah bisa mengambil andil dalam mengupayakan pemberdayaan mereka, salah satu contoh paling simpel adalah, menjamin secara penuh keamanan mereka saat akan mengadakan kongres. Ya samakan, pemerintah juga sering adakan kongres-kongres, mengapa mereka tidak boleh? Toh ada juga UUD yang mengatur tentang kebebesan berpendapat. Hayooo! Selain itu, dalam masyarakat sendiri, upaya yang paling simpel adalah lewat penerimaan dan pengakuan eksistensi mereka, cukup dengan “ohhh yasudah, kalo mereka berprestasi ya silahkan. Toh mereka sama seperti kita. toh mereka juga mungkin bisa lebih baik dari kita dalam hal-hal tertentu.

Memang sangat sulit, oleh sebab itu, di awal, saya tegaskan Lepaskan nilai-nilai, lepaskan budaya, lepaskan super-ego kita. mari kita bicara bagaikan gelas kosong yang siap diisi air! Tapi sesungguhnya, ketika kita menyadari bahwa perbedaan itu indah, kita akan menyadari juga, betapa besar potensi dari mereka yang kita sia-siakan dengan berbagai larangan-larangan dan aturan. Indahnya keberagaman itu…Indahnya perbedaan itu…

Sitou Timou Tumou Tou – Manusia Memanusiakan Manusia Lain

Penulis : Andhika Alexander/Sumber : http: sosbud.kompasiana.com