Search
Close this search box.

(Ilustrasi : http://www.dw.de/dapd)
(Ilustrasi : http://www.dw.de/dapd)

Ourvoice.or.id. Cinta sekaligus benci: adalah metafora klise tapi paling tepat menggambarkan hubungan Indonesia-Amerika.

Jajak pendapat Lembaga Survey Indonesia menampilkan potret karikatural:

Ketika ada pertanyaan: negara mana yang paling anda anggap mengancam? Mayoritas menyebut: Amerika.

Tapi ketika ditanya: kalau punya kesempatan, negara mana yang paling ingin anda kunjungi? Sebagian besar menjawab: Amerika.

Antara yang benci dan suka bersaing ketat: sejumlah polling menunjukkan prosentase yang suka dan benci Amerika di Indonesia hanya berbeda tipis.

Jika majalah Newsweek beberapa pekan setelah tragedi 11 September lewat laporan utamanya bertanya: Why They Hate America?

Maka ada banyak jawaban: orang Indonesia melihat Amerika berkhianat karena mendukung rezim diktator militer orde baru. Korporasi raksasa tambang Amerika dianggap simbol eksploitasi. Dan terakhir, kebijakan di dunia muslim dan perang melawan terorisme.

Ada banyak alasan untuk benci, tapi ada banyak alasan pula untuk suka.

Jakarta adalah etalase: orang rela antre berjam-jam untuk membeli produk Apple terbaru. Starbuckstersebar di mana-mana.

Amerika adalah salah satu penanam modal terbesar di Indonesia. Setiap tahun semakin banyak pelajar yang ingin kuliah di Amerika.

Hal lain: Amerika kini menggeser haluan. Jika dulu, Eropa dan Timur Tengah dianggap mitra paling strategis, maka prioritas itu kini bergeser ke Asia.

Gesture Paman Sam jelas menunjukkan keinginan untuk mendekat ke Indonesia. Satu langkah dua tujuan tercapai: memperkuat kerjasama dengan negara berpenduduk muslim yang punya demokrasi serta pertumbuhan ekonomi paling menakjubkan di satu sisi. Membendung pengaruh Cina di sisi lain.

The Post American World, begitulah para ahli menyebut dunia hari ini. Tak ada lagi monopoli tunggal Amerika, karena Cina, India atau bahkan Indonesia, kini semakin berkembang menjadi kekuatan baru.

Dunia yang berubah menyediakan banyak kesempatan. Tergantung kita: apakah akan terus curiga dan selalu melihat orang lain sebagai ancaman, atau peluang untuk maju?

Penulis : Andy Budiman/http://www.dw.de