Search
Close this search box.

 

Ourvoice.or.id. Di masa perubahan setelah perombakan politik di Tunisia, banyak dari kaum homoseksual berharap, situasi mereka akan membaik. Dua tahun setelahnya, situasi masih belum ideal seperti yang diharapkan.

Houssem duduk di sebuah kafe di jalan utama kota Tunis. Nama benarnya tidak mau ia sebutkan, karena ia takut didiskriminasi dan diintimidasi. Dengan media Tunisia ia tidak mau bicara sama sekali, karena pertanyaan biasanya tidak datang dari wartawan, diceritakannya. Houssem adalah seorang mahasiswa. Usianya awal 20 tahun dan homoseksual. Di internet ia memperjuangkan hak-hak kaum homoseksual. “Media-media sosial membantu kami dalam revolusi dulu. Sekarang kami ingin menggunakan alat ini juga untuk perjuangan bagi hak-hak kami,” kata Houssem. “Beberapa orang mendukung kami, tapi reaksi negatif juga banyak.” Ia kerap dimaki dan diancam, demikian kata Houssem.

Di masa perubahan, yang mulai setelah tanggal 14 Januari 2011, Houssem mendirikan kelompok “Gayday”, majalah internet (webzine) pertama bagi kaum homoseksual di Tunisia. Hal itu tidak mungkin ada di jaman diktator Zine El Abidine Ben Ali. Sekarang mereka bisa menyatakan pendapat secara bebas tanpa harus takut sensor. “Gayday” menarik perhatian banyak warga Tunisia, karena mengajukan ke muka umum sesuatu yang biasanya hanya didiskusikan secara pribadi.

Tidak Dilarang, Tapi Tabu

Homoseksualitas tidak dilarang secara eksplisit, tetapi tabu. Praktek homoseksual diancam hukum, sesuai pasal 230 undang-undang pidana dari tahun 1964. Ancamannya tiga tahun penjara. Walaupun ketetapan ini jarang digunakan, dan tidak hanya digunakan bagi pasangan homoseksual, pasal ini menjadi ancaman bagi kaum homoseksual di Tunisia.

Dalam sebuah gelar wicara berkaitan dengan “Gayday” juru bicara dan menteri urusan HAM, Samir Dilou dari Partai Ennahda mengatakan, kebebasan pendapat juga ada batasnya. “Tentu saja mereka juga rakyat, tetapi ada garis merah yang tidak bisa dilanggar. Itu adalah adat, sejarah dan kebudayaan kita.” Yang sakit harus dirawat. Demikian ditambahkan Dilou kepada moderator acara yang tampak kaget. “Itu adalah penghinaan yang diungkapkan dengan cara benar dari segi politik”, kata Houssem dengan pahit, karena Dilou tidak mengatakan bahwa kaum homoseksual adalah orang-orang yang sakit.

Penjelasan, Bukan “Gaypride”

Walaupun setelah pemberontakan Januari 2011 lalu sejumlah besar organisasi baru dan lembaga swadaya masyarakat didirikan, tidak ada yang secara khusus mengurus hak-hak kaum homoseksual. Hanya ikatan pendukung warga minoritas menyatakan sikap secara jelas. Ketuanya, Yamina Thabet menuntut agar diskriminasi warga minoritas dihukum. “Mimpi saya adalah, satu hari nanti, kaum homoseksual Tunisia bisa berjalan di jalanan tanpa merasa malu, bahwa ia bisa bangga atas dirinya dan memiliki hak untuk datang ke kantor polisi dan mengajukan tuntutan, jika ia didiskriminasi”, kata Thabet.

Sumber : http://www.dw.de