Search
Close this search box.

Perempuan merayakan kemenangan Obama. para pemilih perempuan sebenarnya kawatir jika Romney yang menang(Photo : Shawn Thew/Camera Press)
Perempuan merayakan kemenangan Obama. para pemilih perempuan sebenarnya kawatir jika Romney yang menang(Photo : Shawn Thew/Camera Press)

Ourvoice.or.id. Apakah yang membuat perempuan begitu tertarik dengan Obama? Sudah dua kali pemilihan presiden berlangsung di tahun 2008 dan 2012, dan setiap kali perempuan mendukung Barack Obama secara bulat.  Pertama kali Obama menjadi kandidat presiden pada tahun 2008, sebanyak 54% perempuan memilih Obama dan hanya 40% yang memilih John McCain.  Kini, lebih banyak lagi perempuan pendukung Obama, sebanyak 56% dan hanya 38% yang mendukung Mitt Romney. ibu-ibu pun secara besar-besaran mendukung Obama lebih dari 56%! Perempuan dengan demikian dikatakan yang sangat menentukan pemilihan presiden di AS kali ini.

Hal ini tentu mengherankan karena persoalan AS yang banyak dibahas akhir-akhir ini adalah persoalan ekonomi.  Mitt Romney dengan demikan sangat percaya diri di awal musim panas, hanya memusatkan perhatian pada persoalan ekonomi, khususnya jobs, jobsjobs.  Bahkan kubu  Romney mengambil mantra it’s the economy, stupid! yang pernah dipopulerkan oleh tim sukses Bill Clinton pada tahun 1992 ketika AS saat itu mengalami kesulitan ekonomi.  Jadi, Romney merasa yakin bahwa isu ekonomi lah yang akan mendominasi dan isu-isu sosial dianggap tidak penting.

Oleh sebab itu, Romney dengan ringan menerangkan rencana penghematan keuangan di bawah kepemimpinan kabinetnya nanti, yaitu, dengan memotong anggaran Planned Parenthood (berkaitan dengan urusan kesehatan perempuan termasuk kesehatan reproduksi perempuan).  Planned Parenthood adalah organisasi yang memberikan akses kontrasepsi termasuk tindakan aborsi dengan biaya murah.  Terry O’Neil, presiden Planned Parenthood mengungkapkan bahwa rencana Romney membuat perempuan sangat marah dan menganggap partai Republik tengah “berperang” melawan
perempuan.

Persoalan menjadi begitu meruncing ketika pada bulan Oktober 2012, calon kandidat Senator dari Partai Republik, Todd Akin yang anti aborsi (anti pro-choice) memberikan komentar yang menyakiti hati perempuan.  Ia mengatakan bahwa perempuan secara biologis dapat menghentikan kehamilan termasuk bila terjadi ‘perkosaan yang sah’.  Komentar Todd Akin mengundang kemurkaan perempuan yang luar biasa.  Perempuan berteriak bahwa “perkosaan adalah perkosaan titik”, tidak ada perkosaaan yang sah dan tidak sah.  Sejak saat itu, diskusi publik tentang hak-hak perempuan menjadi perdebetan sengit.  Lisa Maatz, direktur kebijakan dari American Association of University Women berpendapat bahwa masalah utama dari Partai Republik adalah mereka tidak mengerti sama sekali bahwa persoalan ekonomi yang mendasar bagi perempuan adalah persoalan hak-hak perempuan.  Bila persoalan hak-hak perempuan tidak terpenuhi maka akan berdampak pada persoalan ekonomi.  Perempuan yang tidak memiliki akses kontrasepsi atau aborsi tidak akan dapat bekerja dengan baik atau melanjutkan kariernya dengan maksimal.  Jadi persoalan hak-hak perempuan berkorelasi dengan persolan ekonomi (baca lebih lanjut isu ini di Jurnal Perempuan No.74: Perempuan Agen Ekonomi?)

Romney telah membuka front dengan perempuan AS.  Namun, bukan saja perempuan yang menjadi masalah untuk Romney, masalah homoseksual utamanya masalah perkawinan sesama jenis juga menjadi perdebatan.  Partai Republik adalah partai yang sangat didukung oleh kelompok relijius terutama Evangelical.  Kelompok ini dengan terang-terangan menolak perkawinan sesama jenis.  Partai Demokrat di lain pihak mencalonkan Tammy Baldwin, seorang lesbian, dari negara bagian Wisconsin untuk menjadi anggota Senat yang akhirnya menang telak melawan kandidat Partai Republik.  Ia menjadi anggota Senat pertama yang mengaku secara terbuka sebagai  seorang lesbian. Baldwin mendukung kesetaraan perkawinan (marriage equality) termasuk perkawinan sesama jenis.  Pada malam pemilu, terbukti rakyat AS  di negara bagian Maryland, Washington dan Maine memilih membolehkan perkawinan sesama jenis.  Ini adalah kemenangan yang luar biasa yang dapat menular ke negara-negara bagian lainnya.

Demikian pula dengan kelompok latino/hispanik yang merupakan kelompok marjinal di AS. Kelompok ini memiliki persoalan imigran gelap yang menjadi pembahasan  pro-kontra di AS.  Adalah Obama yang sering memberikan perhatian terhadap kelompok ini dan bahkan mengeluarkan kebijakan “Dream Act” untuk membolehkan anak-anak imigran gelap menetap di AS  dan mendapatkan hak-hak yang sama dengan penduduk AS.  Warga negara AS keturunan latino/hispanik tentu tidak melupakan jasa-jasa Obama begitu saja, mereka dengan kekuatan yang besar mendatangani bilik/kotak suara pada hari pemilu dan memberikan 71% suara.  Selain itu, Obama pun mendapatkan suara terbesar dari keturunan Asia sebesar 73% dan suara keturunan Afrika (kulit hitam) sebanyak 93%.

Perempuan, gay&lesbian, latino/hispanik, Asia serta kulit hitam merupakan kelompok minoritas yang berkoalisi untuk Obama dan bersama-sama mengantarkan Obama kembali ke Gedung Putih di tahun 2012.  Apakah kesamaan mereka dengan Obama?  Sehingga mereka begitu gigih membela dan mendukung Obama?  Sebagian besar dari kelompok minoritas mengidentifikasikan diri mereka dengan Obama. Obama yang dibesarkan oleh ibunya (sebagai orang tua tunggal), keluarga sederhana, masuk universitas dengan beasiswa, dan memahami arti multi-rasial sehingga memiliki rasa toleransi yang tinggi, merupakan presiden yang percaya dengan apa yang disebut “American Dream”, yakni, kerja keras dan kesempatan yang sama untuk semua orang.

Sedangkan Romney yang berasal dari kelas atas, seorang pengusaha besar, bekas anak gubernur dan konservatif dalam
pandangan isu-isu sosial, dianggap tidak mewakili demografi AS yang kian plural dan kian liberal.  Terutama Romney tidak memahami makna kelas menengah, kelas yang berjuang, kelas yang diwakili oleh Obama.

“Tonight you voted for action, not politics as usual….” ungkap Obama dalam pidato kemenangannya. Memang kali ini pemilu di AS bukan politics as usual melainkan sebuah gerakan  untuk mewujudkan Amerika yang inklusif, Amerika yang toleran.

Penulis : Gadis Arivia/www.jurnalperempuan.org