Kekerasan terhadap kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transjender (LGBT) masih dianggap biasa oleh publik Indonesia. Kekerasan fisik, psikis bahkan kekerasan seksual dianggap mampu membuat kelompok LGBT ‘normal’ untuk masyarakat umum. Kekerasan yang dialami kelompok LGBT tidak jarang ditiru oleh oknum LGBT, entah itu untuk mempertahankan diri ataupun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Film Monster (2003) yang diputar pada Sabtu, 3 November 2012 menggambarkan dengan jelas aksi kekerasan yang dilakukan oleh seorang lesbian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan yang perlu dicatat dalam film ini, tiap aksi kekerasan yang dilakukan tokoh utama, Lee (Charlize Theron), merupakan dampak dari ketidak-adilan yang ia terima, sehingga apa yang dilakukannya amatlah beralasan.
“Tindakan kriminal si tokoh utama menjadi amat manusiawi.” Ujar Dana (26), peserta nonton bareng. Dalam film tersebut memang tergambar kegigihan Lee dalam mencari pekerjaan yang “benar.”
“Mungkin si tokoh kecewa karena tidak diterima kerja, dan aksi yang dilakukan merupakan bentuk kepasrahan si tokoh.” Ujar Syifa (18), mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah.
Diskusi pun mengalir cair pada acaran bulanan Ourvoice Indonesia ini. Peserta mulai meng-kritisi pemberitaan media massa yang tidak berpihak pada kelompok LGBT. “Tiap ada kejahatan yang dilakukan LGBT selalu saja yang lebih disorot adalah seksualitasnya daripada kejahatannya, ketika Ryan (gay asal jombang) melakukan pembunuhan, media massa lebih fokus pada identitas Ryan sebagai gay bukan fokus pada aksi kriminalnya.” Kata Wiwid (30), seorang gay asal jakarta.
Kelompok minoritas memang rentan akan stigma, termasuk LGBT. Satu orang LGBT melakukan aksi kriminal, seluruh LGBT disematkan label kriminal. Padahal kelompok heteroseksual yang melakukan tindak kriminal lebih banyak, namun kelompok heteroseksual tidak serta merta mendapatkan label kriminal. Publik indonesia harus mulai belajar untuk fokus. (Guhtee Gaidar)