Suarakita.org-Festival Film 80an yang merupakan bagian dari rangkaian acara Sejarah adalah Sekarang yang diselenggarakan oleh Kineforum Dewan Kesenian Jakarta, mau tidak mau, suka tidak suka, telah mengingatkan kita bahwa ternyata, pada suatu masa, perfilman Indonesia pernah begitu gemilang dan berkualitas. Dari film-film yang ditawarkan dalam sekuen 80an, kita dihadapkan pada berbagai panorama tema dan genre yang dieksekusi oleh sineas-sineas tanah air. Saya tidak akan mengoceh panjang lebar dalam kerangka yang sangat luas tentang lanskap perfilman Indonesia tahun 80an (selain tidak memiliki kapasitas untuk itu, saya pun masih menjadi orok pada tahun 1988). Saya hanya hendak mengomentari satu film dari sekuen 80an ini yang menurut saya sangat menarik untuk diingat dan dicermati, yakni film Istana Kecantikan.
Sepanjang penelusuran saya, Istana Kecantikan (1988) adalah film Indonesia pertama yang mengangkat isu homoseksualitas dalam bingkai drama keluarga. Dibuat pada masa ketika rezim militer otoriter Orde Baru tengah berada pada posisinya yang paling puncak, yang sangat tak tergoyahkan, masa ketika masyarakat digiring untuk belajar mengecap dan memaknai modernitas dengan jargon-jargon pembangunan, film ini muncul dengan isu yang sangat khas. Istana Kecantikan menghadirkan konflik dan intrik yang sangat menggelitik (bahkan hingga hari ini). Keberadaan film ini mau tidak mau memaksa saya untuk membuat perbandingan dengan film bertema serupa yang dibuat pada era pasca Orde Baru. Lima tahun setelah reformasi, muncul film Arisan! (2003) karya sutradara perempuan Nia Dinata.
Pembahasan
Arisan! bukan film pertama pasca reformasi yang menampilkan representasi homoseksualitas. Pada film Kuldesak (1998), film yang dibuat secara kolektif dan dilandasi oleh semangat militan para sineas muda untuk berkarya, representasi homoseksualitas hadir pada salah satu sekuen dari empat sekuan dalam film ini. Meskipun pada Kuldesak representasi isu homoseksualitas dihadirkan dalam kadar yang sangat kecil, hal ini, menurut saya, sudah mampu menjadi ‘cemeti’ penanda bagi sineas-sineas yang muncul kemudian untuk berani mengangkat isu-isu serupa (tidak hanya seksualitas tetapi juga gender, bahkan lebih jauh lagi, identitas individual seorang warga dalam konstruksi ruang urban perkotaan). Pada Arisan! isu homoseksualitas mendapat fokus yang besar, juga pada Istana Kecantikan.
Lantas apa yang menarik untuk membandingkan film Arisan! (2003) dengan Istana Kecantikan (1988)? Mari kita mulai dengan mengidentifikasi beberapa kesamaan dari keduanya: pertama, kedua film ini sama-sama mengambil latar Jakarta sebagai latar sosial dan spasial; kedua, tokoh laki-laki (baca: gay) dari kedua film ini berasal dari kalangan menengah atas (ingat tokoh Surya dalam Arisan! yang diperankan Tora Sudiro adalah seorang arsitek, dan tokoh Niko dalam Istana Kecantikan, diperankan oleh Mathias Mucus, adalah seorang ahli pemasaran); ketiga, tokoh laki-laki digunakan sebagai medium yang membawa representasi homoseksualitas; ketiga, mereka sama-sama harus berurusan dengan keluarga (pada film Arisan! misalnya, tokoh Surya harus berhadapan dengan norma adat Batak), berurusan dengan sahabat dan rekan-rekan kerja, yang pada akhirnya akan berujung pada urusan negosiasi dengan pihak-pihak itu.
Dari identifikasi tentang beberapa kesamaan kedua film yang dibuat pada periode yang berbeda itu, dapat kita temukan beberapa hal yang, menurut saya menarik. Pertama, penggunaan Jakarta, sebagai representasi kota besar di Indonesia, representasi pembangunan, katakanlah modernitas yang sejak dulu dicita-citakan oleh pemerintah, sebagai latar sosial dan spasial tempat peristiwa dalam film terjadi. Dengan menggunakan Istana Kecantikan dan Arisan sebagai sampel, maka timbul pertanyaan: mengapa representasi homoseksualitas dalam film-film Indonesia hanya hadir dalam lanskap kota besar? Jakarta? Seolah-olah wilayah periferi tidak menyimpan permasalahan yang sama. Kedua, mengapa representasi homoseksualitas melulu diletakkan dalam bingkai kelompok sosial masyarakat menengah atas kota besar? Melalui tokoh-tokoh yang wangi, yang mengendarai mobil mewah pada masanya dan menghabiskan waktu luang untuk bersosialisasi di tempat-tempat yang ‘aktual’ pada zamannya pula (dalam Arisan! misalnya, tokoh Surya adalah perwakilan pria professional urban yang rutin mengunjugi coffee shop , restoran mahal dengan interior modern minimalis, sangat 2000an, dan tokoh Niko sepertinya terbiasa mendatangi diskotik à la 80an bersama teman-temannya). Keduanya berada pada status sosial dan ekonimi yang cukup tinggi di masyarakat. Representasi homoseksualitas pada wilayah periferi (daerah pinggiran, daerah yang bukan kota) baru muncul kemudian pada film 3 Doa 3 Cinta (2008, sutradara Nurman Hakim, produser Nan Achnas) dengan latar pesantren, meskipun homoseksualitas di sini tidak diletakkan sebagai fokus pada tubuh cerita.
Baik dalam Arisan! maupun Istana Kecantikan, tokoh laki-laki yang menjadi representasi gay, harus berhadapan dengan institusi-institusi lain di sekitarnya, dari institusi pekerjaan hingga institusi keluarga. Keduanya juga harus berurusan dengan sahabat dan orang-orang sekitar. Keduanya sama-sama harus bernegosiasi dengan variabel-variabel yang ada di sekitarnya. Jika dalam film Arisan! negosiasi tokoh Surya berujung pada penerimaan (acceptance ) dari pihak keluarga (melalui tokoh ibu yang pengertian) dan dari sahabat-sahabatnya, pada film Istana Kecantikan upaya negosiasi yang dilakukan oleh Niko berakhir pada bencana, pada pembunuhan, pada tragedi.
Ada perbedaan yang menarik untuk dicermati di sini. Dalam kerangka pikir masyarakat tahun 1980an, homoseksualitas masih dipandang sebagai bentuk kejahatan. Istana Kecantikan jelas adalah film tragi-komedi yang tidak bisa mengelak dari kerangka pikir arus utama masyarakat pada saat itu, kerangka pikir yang heteronormatif, seperti yang dikehendaki Orde Baru. Bahkan pada akhir film diperlihatkan kesengsaraan Niko yang harus dipenjara karena membunuh Toni (pemuda yang dicintainya) secara tidak sengaja, alih-alih membunuh Siska (Nurul Arifin), istri Niko yang secara langsung maupun tidak, telah merepresi identitas seksual suaminya. Film ditutup dengan teks yang bernada menceramahi dengan pesan-pesan berperspektif religi, heteronormatif, yang jelas-jelas adalah bentuk kriminalisasi terhadap homoseksualitas. Sedangkan pada Arisan!, seperti yang telah diutarakan, negosiasi Surya berjalan dengan baik, meskipun untuk itu ia tetap harus melalui berbagai konflik internal dan eksternal (ketakutan-ketakutan akan norma keluarga, akan kebencian dari sahabat-sahabatnya dan sebagainya). Melalui perbandingan ini, kita bisa menyimpulkan bahwa ada sejenis pergeseran pandangan dari kedua film ini (yang mewakili masyarakat dan penonton kota besar, urban) terhadap tema homoseksualitas. Dan kita pun tentu percaya bahwa sebuah film adalah cerminan atau refleksi dari masyarakatnya.
Kesimpulan
Pada periode 1980an, homoseksualitas seakan telah diringkus ke dalam kerangka heteronormatif sebagai sebentuk kejahatan kriminal. Film Istana Kecantikan seakan menggiring persepsi penonton pada kesimpulan itu. Film ini, sayang (meskipun dapat dimaklumi), takluk oleh identitas seksual yang formal, yang baku, yang diakui dan direstui oleh negara dan agama. Ia belum bisa sepenuhnya merdeka dari norma, dari dogma.
Pada periode 2000an, pasca reformasi, homoseksualitas mulai bergeser pada wilayah yang lebih ramah, yang sarat oleh penerimaan, meskipun tetap ada kerikil-kerikil konflik yang menyertainya.
Keterangan :
Istana Kecantikan (1988)
Sutradara : Wahyu Sihombing
Penulis : Asrul Sani
Musik : Oddie Agam
Durasi : 93 menit
Arisan! (2003)
Sutradara : Nia Dinata
Penulis : Joko Anwar
Musik : Andi Rianto
Durasi : 130 menit
Penulis: Ibnu Rizal