AWAL Februari 2003 menjadi catatan kelam bagi Baby Rivona. Ibu dua anak itu dideportasi dari Malaysia karena divonis mengidap virus HIV. Padahal, ia sudah mendapatkan posisi yang nyaman di tempatnya bekerja.
“Langit serasa mau runtuh. Darah saya seperti berhenti dan saya berpikir besok saya akan mati,” tutur Baby saat menceritakan awal ia mengetahui statusnya sebagai seorang orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Sebelum bekerja di negeri jiran sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) sejak 2001, perempuan lulusan Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) Bandung itu sempat kebingungan mencari pekerjaan. Keuangan sudah menipis dan diperparah ketergantungannya terhadap narkotika. “Waktu itu saya masih ketergantungan sama jarum suntik. Saya tidak punya biaya untuk masuk panti rehabilitasi. Akhirnya saya memutuskan untuk melamar ke PJTKI sebagai pembantu rumah tangga,” kata Baby.
Dengan latar belakang pendidikan dan kemampuan berbahasa asing yang dimilikinya, Baby tidak ditempatkan sebagai asisten rumah tangga sebagaimana TKI pada umumnya. Ia dipercaya sang majikan sebagai asisten pribadi yang mengurus keperluan bisnis.
“Setelah beberapa bulan bekerja, majikan saya curiga karena kemampuan bahasa asing saya dinilai sangat bagus. Selain itu, saya juga sering memberi masukan soal bisnisnya,” ujar Baby sambil tersenyum.
Setelah dua tahun bekerja, ia berniat memperpanjang visa kerja. Persyaratan mendapatkan izin tinggal membuatnya harus mengikuti pemeriksaan kesehatan atau medical check up. Namun, izin itu tidak pernah keluar karena hasil tes kesehatannya.
“Ketika awal berangkat ke Malaysia, virus HIV belum terdeteksi. Mungkin masih dalam fase window period,” jelas perempuan kelahiran Medan, 25 November 1967 itu. Virus HIV yang masuk ke tubuh membutuhkan waktu 3-6 bulan untuk bisa terdeteksi.
Kehidupan masa lalu Baby bisa dibilang sangat kelam. Akibat perceraian orangtuanya, ia dilabeli anak broken home. Baby yang kurang mendapatkan perhatian menjadi terbiasa dengan pergaulan bebas. Sejak kelas 5 SD ia sudah kenal rokok. Saat Baby SMP sudah mulai menggunakan alkohol, pil ekstasi, dan narkoba lainnya.
“Setelah mendapatkan hasil tes tersebut, besok harinya saya langsung dideportasi,” kenang Baby yang sedih dan tak berdaya saat mengetahui statusnya. Terlebih saat ia harus pulang ke Tanah Air, kesedihannya terasa sangat dalam.
Mengatasi kemelut
Selama menceritakan pengalamannya, wajah Baby terlihat segar. Tak tampak sedikit pun tanda-tanda yang menunjukkan ia mengidap virus HIV selama hampir 10 tahun. Virus HIV selama ini dianggap begitu mematikan dan ditakuti banyak orang.
“Ketika awal tahu status HIV, saya merasa akan lebih cepat mati bila dibandingkan dengan orang lain. Selama satu tahun saya terus berdiam diri menanti ajal segera menjemput saya,” tutur Baby.
Dalam satu tahun itu ia terus mengurung diri, enggan bekerja dan hidup produktif layaknya orang sehat.
Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Ia berusaha bangkit dari keterpurukan. Ia pun mulai mencari tahu berbagai informasi seputar HIV/AIDS. Sejumlah literatur dan informasi di situs internet dibacanya semua. Hingga akhirnya ia menemukan informasi tentang Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) dan memutuskan untuk bergabung.
“Semakin saya tahu informasi seputar HIV, saya semakin sadar virus itu sebenarnya tidak semenyeramkan yang dikatakan banyak orang. HIV masih bisa ditanggulangi asal kita menjalankan pola hidup sehat dan patuh terapi ARV,” tutur Baby.
ARV, kata Baby, ialah obat antiretroviral yang harus dikonsumsi ODHA selama 12 jam sekali, tanpa boleh terlambat sekali pun dan harus diminum seumur hidup.
“ARV adalah kontrak seumur hidup. Selama patuh menjalani terapi, hidup kita bisa tetap sehat seperti kebanyakan orang,” kata Baby.
Meski begitu, ARV bukan obat yang bisa membunuh virus. obat yang dikonsumsi hanya bisa menidurkan si virus selama 12 jam. Karena itu, jika ODHA telat atau bahkan berhenti mengonsumsi ARV, virus akan aktif kembali dan menyerang sistem kekebalan tubuh.
Melawan stigma dan diskriminasi
“Banyak perempuan yang positif HIV tidak mau statusnya diketahui banyak orang karena diskriminasi masih sering terjadi,” tutur Baby. Pasalnya, yang dialami perempuan yang positif HIV menjadi sangat rumit karena harus mengalami berbagai masalah yang lain. “Kebanyakan perempuan tertular dari suaminya melalui hubungan seks, tetapi tak berhenti sampai di sana. Banyak yang mendapatkan perlakuan intimidasi hingga tindakan kekerasan,” kata Baby.
Pengalamannya selama berkecimpung di dunia ODHA dan mendengar cerita-cerita teman sebaya yang mempunyai nasib kurang beruntung membuatnya miris. Tak cukup hanya merasa miris, ia juga tergerak untuk membantu mengadvokasi kasus-kasus yang dialami teman-temannya.
“Dulu banyak perempuan yang positif HIV diminta untuk disterilisasi dan tidak boleh punya anak. Itu adalah pelanggaran HAM,” papar Baby.
Stigma perempuan pengidap HIV juga membuat mereka minder. Karena itu, Baby membentuk wadah yang memfasilitasi para perempuan itu dalam Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI).
“IPPI mulai diinisiasi sejak 2005. Kami membutuhkan waktu selama dua tahun untuk menyusun konsep agar bisa mengakomodasi kepentingan perempuan yang positif atau terdampak virus HIV,” tutur Baby.
IPPI terbentuk sebagai organisasi legal dan formal pada Februari 2007, bertepatan dengan pelaksanaan Pertemuan Nasional (Pernas) AIDS di Surabaya. “Kongres pertama diadakan 29 Januari-3 Februari 2007 dan dihadiri 72 perempuan dari 28 provinsi,” lanjut Baby.
Selain mengadvokasi, IPPI untuk pemberdayaan dalam berbagai aspek, di antaranya kesehatan, ekonomi, sosial, dan pendidikan. Wadah tersebut berusaha memberikan dukungan terhadap perempuan agar lebih berdaya dan mengembangkan diri sehingga bisa hidup lebih produktif.
“Kita juga berperan untuk kampanye upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS,” ujar Baby.
Sebelum mendirikan IPPI, Baby juga aktif di berbagai organisasi lain seperti Perempuan Medan Tegar (Permata), dan Indonesia AIDS Coalition (IAC). Tak hanya di dalam negeri, ia juga aktif di kongres luar negeri. “Virus HIV tidak akan mampu membunuh semangat saya,” tandas Baby. (*/M-1)
Sumber : www.mediaindonesia.com