Search
Close this search box.

(foto :radarjogja.co.id)
(foto :radarjogja.co.id)

Beruntung Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Jogja memiliki dokter ini. Dokter Tri, Kepala Puskesmas Gedongtengen ini sangat komunikatif. Ia pun bisa menirukan gaya seorang gay maupun waria.HERI SUSANTOJogja

DOKTER satu ini tak seperti dokter lain. Gaya bicaranya, menurut istilah orang Jawa, kemayu. Justru dengan sikap seperti itulah bapak tiga anak ini bisa begitu dekat dengan para pasien yang mayoritas korban dunia malam. Seperti, pekerja seks komersial (PSK), waria, hingga pengguna narkoba.

Meski dokter, Tri  bisa cukup fasih berbicara ”kemayu”. Bahkan, diikuti dengan gerakan tangan yang kian mempertegas kesan sebagai waria. Istilah-istilah khas seperti cucok, rempong, dan lainnya bisa dengan mudah meluncur dari mulutnya.

Modal kelincahan menirukan gaya kaum marjinal tersebut ternyata membuat Tri mudah bergaul dengan waria dan gay. Hal itu memperlancar tugasnya sebagai seorang dokter yang memantau kesehatan kaum marjinal tadi.
Terlihat dari pengunjung di Puskesmas Gedongtengen. Pusat kesehatan masyarakat ini memiliki layanan bagi pengidap HIV/Aids dan perawatan methadone bagi pengguna narkoba. Hampir tiap hari tak pernah sepi.

”Saya sudah pesan ke petugas, kalau ada pasien langsung naik ke atas (pemeriksaan). Tidak usah mengantre,” kata Tri kemarin (12/9). Dua kawasan yang termasuk wilayah Gedongtengen adalah Bong Suwung dan Sarkem.
Perlakuan khusus bagi pasien khusus itu juga dilakukan dalam penanganan. Personal care, comprehensive care, dan continuous care menjadi standar operasional prosedur (SOP) kepada setiap pasien. Inilah yang turut membangun kedekatan dengan seluruh pasien, termasuk waria, gay, dan PSK.

Saat memberikan treatment tersebut, Tri mengaku selalu menanyakan kabar pasien. Ia selalu menyempatkan menelepon atau mengirimkan pesan pendek. ”Kalau dikaruhke, pasien pasti merasa diuwongke. Mereka akan merasa seperti pasien normal yang lain,” imbuhnya.
Dari perhatian lebih tersebut, keluarga pasti merasa dampaknya. Terutama istri dan anaknya yang kerap protes karena waktu untuk keluarga menjadi berkurang. Bahkan, istri kaget karena suara penelepon di handphonenya.
”Ditanya istri saya, ini siapa? Di jawab penelepon Mbak Wulan. Lho, Mbak Wulan kok suaranya laki-laki,” ujarnya dengan berkelakar.

Tapi itu terjadi saat awal-awal dirinya terjun menangani penderita HIV/Aids dan pengguna narkoba pada 2007. Kini, setelah memberikan pengertian dan berjalannya waktu, keluarga mulai terbiasa dengan risiko pekerjaan tersebut.
Termasuk waktu untuk keluarga yang praktis sekali tak ada. Biasanya, kalau sudah super sibuk, dirinya kerap mendapatkan protes dari anak bungsu. ”Kalau sudah diprotes, harus luangkan waktu. Walaupun 10 menit,” katanya.

Selain menjadi kepala Puskesmas Gedongtengen, aktivitas Tri sangat padat. Mulai di Kelurahan Gunungketur, Ketua RT, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah, sampai praktik di rumah dan malam di sebuah apotek Jalan Gajahmada.
”Kadang hanya sore hari bisa bertemu dengan keluarga. Itu pun kalau tidak ada sosialisasi di masyarakat. Kalau seperti sekarang, saya hanya pulang mandi terus berangkat lagi ke Sosrowijayan untuk sosialisasi penanggulangan HIV/Aids,” jelasnya.

Tapi Tri mengaku bersyukur memiliki keluarga yang bisa mengerti aktivitasnya. Semua anggota keluarga paham, kalau pekerjaannya tersebut sebagai ibadah.”Saya bekerja ingin membantu sesama, terutama teman-teman yang terinveksi HIV/Aids. Kebetulan ditugaskan di Puskesmas yang wilayahnya marak dengan penyakit seperti itu,” katanya. (*/tya)

sumber : radarjogja.co.id