Search
Close this search box.

ilustrasi internet
ilustrasi internet

“Aku gak mau lagi jadi GAY…!!”

Kalimat diatas sering sekali aku temukan dari beberapa teman gayku. Ya, mungkin dalam setahun bisa aku temui 4 – 9 orang yang mengungkapkan kalimat seperti itu. Tidak hanya teman, mantan pacarku juga sempat mengatakan hal serupa ketika ingin memutuskan hubungan denganku.

Alasannya beragam, mulai dari gay itu dosa, gay itu tidak baik, trauma dengan hubungan gay, hingga keputusan ingin menjalankan sunah
Rosul/menikah. Cara yang dilakukan pun beragam. Ada yang menutup diri dari komunitas gay, beribadah yang khusyuk bahkan sampai ada yang menikah dengan perempuan.

Pada saat mendengar mantanku memutuskan untuk tidak mau menjadi gay, aku pun merasa resah. Karena mengetahui dirinya masih belum memahami tentang seksualitas dan identitas gender. Hal ini akan berdampak pada hasratnya yang murni muncul dari dalam hati tertahan, sehingga membuat tingkat stressnya naik serta tertekan.

Kebanyakan orang yang memutuskan berhenti “menjadi” gay akhirnya kembali menjalin hubungan dengan sesama jenisnya. Seperti halnya
mantan saya yang saat itu berjanji untuk tidak menjalin hubungan sesama jenis, kembali mencari lelaki untuk disetubuhi 3 bulan
kemudian. Dengan alasan teman-teman yang terus mendukungnya untuk menjadi dirinya sendiri.

Perlu kita sadari, di Negara masih banyak orang yang menganggap gay adalah menyimpang, sehingga banyak kekerasan dan diskriminasi terjadi karena banyak yang masih menilai gay tidak normal, penyakit dan dosa. Padahal homoseksual bukanlah gangguan jiwa ataupun penyakit. Homoseksual hanyalah orientasi seksual.

Yang menjadi pemicu adalah diri seorang gay yang masih merasa bersalah akan seksualitasnya. Hal ini terjadi karena konstruksi masyarakat yang mengharuskan setiap manusia berpasangan dengan lawan jenisnya. Pandangan sosial yang menilai homoseksual itu tidak bermoral. Ajaran agama yang memasukkan homoseksual sebagai “dosa”. Tayangan televisi yang melecehkan kelompok homosexual dan factor lainnya.

Kita bebas menentukan akan terbuka atau tertutup, itu adalah pilihan atas bagaimana kita menyesuaikan hidup dengan lingkungan sekitar.
Namun kita harus bisa berdamai dengan orientasi seksual yang kita yakini. Maka dari marilah “kita” (selaku manusia yang memiliki
orientasi seksualitas selain heteroseksual) meyakini diri kita bahwa orientasi seksual dan identitas gender yang kita rasakan adalah suatu
hal yang benar. Orientasi seksual hanyalah ketertarikan kita saja bukan pada kemampuan untuk berfikir ataupun bekerja. Identitas gender hanyalah ekspresi berdasarkan ekspresi dari gender yang dikonstruksikan masyarakat, bukan suatu tindak kriminal ataupun
pelecehan.

Penulis : Rikky /ourvoice