Ketika membaca tulisan tentang Dede Oetomo dari Farid Muadz Baskaran yang dikenal sebagai seorang advokat dan konsultan hukum, jujur saya terkejut. Pertama-tama, keterkejutan ini bukanlah tanpa alasan melihat bagaimana Bung Farid menuliskan sosok Dede Oetomo ketika masih bergelut di bidang HIV-AIDS beberapa dekade silam.
Meskipun saya mengenal Pak Dede Oetomo, saya sendiri tidak mengenal beliau sebegitu dekatnya. Mungkin karena perbedaan generasi, meskipun kami berada dalam kapal pemikiran yang sama untuk memperjuangkan hak-hak gay, lesbian, transgender (waria), juga perempuan.
Hal kedua yang membuat saya terkejut adalah bagaimana Bung Farid memaparkan data-data tentang negara yang sudah melegalkan pernikahan sejenis. Sampai bagian ini, saya pikir, sebagai seorang yang berkecimpung di bidang hukum, Bung Farid peduli dengan keadilan bagi kaum gay dan lesbian. Tetapi, nyatanya, anggapan saya salah. Dan inilah yang membuat saya semakin terkejut ketika membaca argumen Bung Farid yang mengganggap gay dan lesbian sebagai penyimpangan seksual.
Saya menyesal, sekaligus sedih: mengapa sebagai seorang yang berpendidikan tinggi, Bung Farid tidak mengetahui tentang kemajuan ilmu psikiatri yang sudah mengeluarkan homoseksualitas dari dalam kategori gangguan jiwa.
Pada tahun 1973,American Physiciatric Association (APA) sudah mengeluarkan homoseksualitas dari kategori gangguan kejiwaan. Indonesia pun turut mengadopsi PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa) II dan III yang menyatakan hal serupa: gay atau lesbian bukanlah gangguan kejiwaan. Sekali lagi, ini bisa dilihat bagaimana pengetahuan bisa berubah. Karena seperti dengan tesis yang diajukan oleh seorang sosiolog dan filsuf posmodernisme asal Perancis—Michel Foucault, pengetahuan dan kebenaran adalah bentuk produksi dari kekuasaan.
Untuk memahami tesis ini, kita ambil contoh kasus negeri kita sendiri, yakni bagaimana Orde Baru mengkonstruksi pengetahuan, wacana, juga kebenaran tentang Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang dikonstruksi sebagai ‘gerakan berisi perempuan sadis yang menyayat-nyayat tentara’. Padahal, ketika PKI dibumihanguskan, banyak anggota Gerwani yang justru disiksa oleh tentara dan dijebloskan ke dalam kamp di Plantungan.
Setelah cukup terkejut dengan penggunaan label ‘menyimpang’ yang tidak pada tempatnya, saya semakin shock ketika membaca bahwa kaum gay dan lesbian berpotensi untuk melakukan tindakan kriminal, yaitu membunuh. Jujur, menggunakan logika filsafat ilmiah yang runut, tentu klaim ini lemah karena tidak ada data angka yang bisa ditunjukkan membandingkan tindak kriminal mana yang lebih tinggi: yang dilakukan kaum homoseksual atau heteroseksual.
Kebetulan, saya pernah menulis makalah yang dipresentasikan pada konferensi linguistik di salah satu universitas. Saya menganalisis mengapa kriminalitas yang dilakukan kaum gay sering diblow-up oleh media sedemikian rupa disbanding kriminal yang dilakukan kaum heteroseksual yang dianggap ‘normal’. Saya kutipkan bagian penting dari makalah saya tersebut:
“[Menilik]…dari pemberitaan media, terlihat ada penggembar-gemboran status atau orientasi seksual pelaku kriminal yang merupakan homoseksual. Pada contoh berita kedua, ditengarai ada pelabelan perilaku menyimpang terhadap perilaku homoseksual, meski dalam kasus tersebut diduga perilaku seks pelaku yang dianggap ‘menyimpang’ bukanlah homoseksual. Hal tersebut terlihat dengan jelas dalam kalimat “…Perilaku seks menyimpang, bukan homo”. Bisnis media massa memang tak dapat dipungkiri dari ‘teknik penjualan berita’ yang berusaha menarik perhatian khayalak dengan menyodorkan sesuatu yang dianggap asing atau unik. Dalam kasus homoseksualitas ini, orientasi seksual yang merupakan ruang privat bagi seseorang ditarik ke ruang publik untuk dijual, dihakimi, sekaligus dikategorisasikan sebagai normal atau abnormal.” (Yulius 2010)
Dalam pemberitaan media, bila ada seorang gay membunuh, maka judul beritanya selalu membawa-bawa orientasi seksualnya, misal: “Lelaki Tewas Dibunuh KekasihGay-nya”. Sementara, pernahkah kita mendengar kasus pembunuhan kaum heteroseksual membawa-bawa orientasi seksualnya, semisal: “Seorang Perempuan Dibunuh Kekasih Straight-nya”.
Ingatan kolektif yang disebut-sebut oleh Bung Farid adalah hasil konstruksi pemberitan media massa. Bahasa yang digunakan media tidaklah netral, sebab bahasa sendiri memiliki relasi kekuasaan. Tampaknya, Bung Farid terjebak dengan operasi media dan tak mencoba menganalisis penggunaan bahasa dalam media massa. Kalau kita mau bicara tentang kriminalitas, hasil data kekerasan domestik atau rumah tangga (tentu dalam konteks pasangan yang—sekali lagi—dianggap ‘normal’)pada tahun 2011 dari Komnas Perempuan menunjukkanmencapai 113. 878 kasus, dengan rincian 110.468 kasus merupakan kekerasan terhadap istri.(http://nasional.kompas.com/read/2012/03/07/16244162/2011..Kekerasan.pada.Perempuan.Semakin.Parah).
Lantas, melihat kasus ini apakah serta merta kita akan dianggap bijak bila langsung berteori bahwa heteroseksual juga menyimpang karena banyak kekerasan terjadi di dalam rumah tangga? Saya rasa, bila seseorang mengenyam pendidikan tinggi, tentu tidak akan menarik kesimpulan seperti itu. Kekerasan bisa terjadi pada siapa pun dengan beragam motif, seperti ekonomi, politik, bahkan kekerasan atas nama agama yang kini ramai terjadi di negeri kita.
Hal lain yang semakin membuat saya geleng-geleng kepala adalah argument yang moral. Sudah terlalu banyak orang heroik yang mengklaim dirinya ingin menyelamatkan moral bangsa ini, tetapi tidak memahami apa yang mereka perjuangkan dengan baik dan benar. Sama dengan mengaitkan masalah moral dengan homoseksual yang tergesa-gesa tanpa melihat sejarah bangsa kita. Setiap kali bicara gay dan lesbian, moral bangsa dibawa-bawa. Padahal, sejarah budaya bangsa kita penuh dengan homoerotika, seperti tradisi warok, juga tradisi bissu (pendeta ‘waria’) dalam masyarakat Bugis yang justru dipandang suci dan memiliki pangkat keagamaan.
Kemudian, pertanyaan saya adalah bagaimanakah mendefinisikan moral seseorang? Apakah hanya dari orientasi seksualnya? Saya pun pernah menulis tentang hal ini di sebuah majalah. Berikut saya kutipkan:
“[Mengatikan homoseksual dengan kebobrokan moral]…argumen ini mengalami kecacatan parah secara substantif, karena mereka menggunakan konsep moralitas secara pars pro toto, sebagian untuk keseluruhan atau generalisasi tergesa-gesa. Bayangkan, moralitas seseorang dinilai hanya melalui perilaku seksualnya, tanpa menimbang hal-hal lainnya. Bukankah banyak juga kaum heteroseksual yang sudah menikah melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri dan anak-anaknya? Atau misalnya, pejabat negara yang notabene sering menyebut dirinya relijius dan heteroseksual justru hobinya korupsi. Sayangnya, label perusak moralitas itu hanya dilabelkan kepada kaum homoseksual atau pekerja seks saja. Sementara, orang-orang itu luput dari label tersebut. Inilah yang agaknya patut disebut sebagai moralitas parsial. Moralitas yang hanya dilihat dari satu sisi saja, tanpa menimbang sisi lainnya. Bukan moralitas yang substantif.” (Yulius 2010)
Saya rasa, saya sudah menulis dengan sejelas mungkin posisi dan argument saya. Semoga Bung Farid bisa belajar lebih bijak dalam melabelkan ‘sebuah kelompok’ tanpa adanya argumen dan data yang jelas. Akhir kata, mari kita dukung Dede Oetomo untuk menjadi simbol bagi penghargaan keberagaman bangsa ini di kala negeri ini dikuasai oleh fanatisme berlebihan pada suatu golongan atau kepercayaan. Lagipula, gay dan lesbian juga bayar pajak ‘kan? Karenanya, mereka juga punya hak untuk diperlakukan setara dalam setiap proses politik di negeri ini.
Penulis : Hendri Yulius (Penulis feminis–fiksi dan non-fiksi, penulis buku bahasa Korea dan Akuntansi, aktivis perempuan dan LGBT, juga mahasiswa post-graduate)
Sumber Tulisan : www.kompasiana.com/hendriyulius