Search
Close this search box.

Makalah: Tubuh Dalam Etalase

Dewi Chandraningrum

“Rahim, mengapa ayah terus berkhotbah, dan meyimpan gundik dirumahnya? Itu mulia anakku” (Picasso, Les Demoiselles d Avignon, 1907).

Itulah salah satu slide yang dipaparkan oleh Dr. Phil. Dewi Candraningrum, M. Ed pengajar Sastra Perempuan Muslim di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan Philosophy of Science dan Cultural Studies di Paska Sarjana UMS, dalam Kuliah Umum dan Peluncuran Buku karya Ahmad Junaidi  “Porno! Seksualitas, Feminisme, dan Pornografi dalam Media” di Komunitas Salihara, Jakarta Selatan, Rabu (29/8/2012).  Ahmad Junaidi sendiri selain sebagai wartawan The Jakarta Post juga merupakan direktur Sejuk.

Kuliah umum kali ini banyak mengupas tentang “sejarah” tubuh dalam persoalan pornografi, didalamnya mengenai traffiking (perdagangan manusia) dan prostitusi dan sosok ibu.  Dari mulai hal paling dianggap kotor sampai yang dianggap suci dalam tubuh (baca perempuan).

Dewi menegaskan ketika ada peserta yang bertanya tentang feminis, bahwa pandangan feminis sendiri tidak tunggal dalam melihat tubuh dan pornografi, termasuk didalamnya tentang prostitusi.  Dari mulai yang sangat menolak prostitusi sampai mendukung prostitusi.  Dewi memaparkan soal tubuh dalam cengkraman kapitalisme, partriarki sampai tubuh sebagai otoritas individu.  Dalam pandangan dunia (menurut Plato) tubuh diwajahkan  dalam penjara yang sempurna dari.   Dosa, laknat kotor, najis, gairah setan, keculasan, semua dikaitkan dengan tubuh “bedebah” itu.

Kali ini, Dewi memaparkan dengan gamblang bagaimana sejarah kebijakan Undang-Undang Pornografi yang ditolak oleh para feminis. Alasannya, kebijakan tersebut mendefinisikan pornografi dari kaca mata hasrat laki-laki heteroseksual partriaki.  Yaitu hasrat yang semua untuk kepentingan nafsu laki-laki yang tidak bisa dikontrol oleh mereka sendiri (laki-laki).

Ketika goyangan dangdut Inul Daratista dianggap erotis dan mengundang syahwat laki-laki, tetapi publik tidak akan pernah tanya apakah bulu dada Rhoma Irama tidak mengundang syahwat perempuan yang melihatnya?

Pornografi yang dipahami selama ini, seperti sedang “meminggirkan” bahkan meniadakan hasrat seksual perempuan.  Bahkan lebih jauh lagi ingin menegaskan bahwa hasrat seksualitas manusia itu berwajah laki-laki heteroseksual.  Padahal faktanya sangat beragam.

Dalam makalah Dewi, ketika payudara didiskusikan dalam diskursus ibu, maka dia sedang bekerja sebagai penyedia jasa.  Jika payudara menolak, maka ditimpali dengan dosa.  Begitu juga ketika tubuh perempuan dijual dan diperdagangkan dalam dunia prostitusi, iklan dan media maka mengalami “nasib” yang sama.  Dilaknat karena telah mengumbar aurat!

Dewi juga banyak menghadirkan pengalaman para perempuan kelas bawa sampai atas tentang tubuh mereka.  Dari mulai kondisi para pekerja rumah tangga, buruh migran.  Dari pemaparan Dewi, jelas sekali pengalaman hidupnya sebagai perempuan mengakibatkan dia “marah”,  karena masyarakat melihat persoalan tubuh perempuan pada persoalan “dosa-pahala” tanpa melihat aspek seluruhnya sebagai manusia yang utuh.  Inilah kekuatan feminis ketika “melawan”, berangkat dari pengalaman yang real.

Selama ini tubuh perempuan dijadikan industri, kemudian diawasi sekaligus dinikmati oleh para partriarki.  Menurut Dewi dalam makalahnya; selama ini dianggap vagina dan payudara itu tidak bermata, penislah yang bermata. Vagina dan payudara mati rasa. Kekuasaan penis yang dominan terlihat jelas dalam industri pornografi maupun industri lainnya. Misalnya iklan keindahan mobil ataupun motor, dianalogikan dengan tubuh perempuan yang kemudian dipajang di spanduk maupun televisi.  Dalam konteks ini tubuh perempuan memiliki tugas untuk ditatap.  Sementara matanya ditutup, hasratnya dibungkam. Industri pornografi mendulang trilyunan rupiah. Padahal jika payudara dan vagina tidak ada, industri pornografi juga tidak akan laku.

Dewi menegaskan bahwa pemaparannya tidak sedang menyalahkan laki-laki, tetapi ingin membuka “kedok” ketidak-sadaran laki-laki akan posisi istimewanya dalam “upacara menatap”. Laki-laki bekerja menatap, dari kerja itu maka dirinya dihargai hasratnya dan dipenuhi keinginannya. Dalam konteks inilah seksualitas kaca partriarki sangat tidak adil, karena semua berpusat pada kepentingan hasrat laki-laki heteroseksual, tegas Dewi yang ditulis dalam makalahnya.

Tentu bacaan kali ini dapat merefleksikan pada diri kita sendiri, apakah benar kita sudah memiliki otoritas atas tubuh (seksualitas) sendiri?  Apakah ukuran keindahan dan seksualitas atas tubuh merupakan otoritas diri sendiri atau by design pihak lain, misalnya industri, pandangan agama dan kebijakan negara? Tentu hal ini butuh kesadaran kritis dan keberanian diri sendiri untuk mempertanyakan itu semua. (Hartoyo)

Untuk membaca makalah lengkap Dewi Candraningrum, dapat didownload disini : Tubuh dalam Etalase_Mata Kamera dan Stilleto Inul Daratista