Search
Close this search box.

 

(sumber :koranpendidikan.com)
(sumber :koranpendidikan.com)

Pekan kedua keikutsertaan ANGGA TEGUH PRASTYO dari KORAN PENDIDIKAN dalam Short Cource Penelitian Sosial Keagamaan Berprespektif Gender di Universitas Gadja Mada (UGM) Yogyakarta, berkesempatan mengunjungi Pondok Pesantren Khusus Waria Senin Kamis Al Fatah, Kamis pekan lalu. Berikut catatannya dalam mengempati waria dalam perspektif religiusitas dan sosial.

Lokasi pondok itu tidak jauh dari kawasan wisata Malioboro, tepatnya berada di Jalan Notoyudan GT II/1294 Yogyakarta. Dari Jalan Malioboro, akses masuk melalui gang sempit dengan jaran 100 meter. Tidak seperti konsep pada umumnya, pondok ini lebih mirip rumah biasa yang disulap sebagai pondok pesantren. Yogyakarta sebenarnya bukan basis kalangan waria, berbeda dengan Palembang, Surabaya, dan Jakarta. Yogyakarta hanyalah transit ketika waria dikejar-kejar oleh masyarakat.
“Waria di Yogyakarta itu diterima secara manusiawi. Selama ini tidak kurang ada lima waria yang meninggal tertabrak kereta api. Karena tidak memiliki saudara, mayatnya kami bawa ke sini untuk disalati. Semua elemen masyarakat menyetujui, dari Pak RT, Pak Camat, sampai Kapolsek. Inilah salah satu bentuk penangangan sosial yang positif pada waria,” jelas Bu Maryani selaku ketua pondok.
Selain Bu Maryani yang juga waria, pondok ini juga diasuh oleh Ustadz Murtidjo dan Ustandz Arif. Kepada KORAN PENDIDIKAN, Ustadz Murtidjo menjelaskan bahwa waria merupakan sosok manusia yang memiliki organ sama namun hati yang berbeda.

Atas kondisi inilah dirinya tidak ragu untuk terjun memberikan penanaman spiritual pada waria yang ‘ngaji’ di pondok ini
“Kami berupaya untuk memberikan penanaman spiritualitas dan bukannya memberikan pandangan agama mengenai sosok waria,” Jelas Ustadz Murtidjo.
Bu Maryani mengamini pernyataan sang Ustadz. Menurutnya agama telah berjarak dengan kehidupan waria. Padahal, menjadi waria bukan pilihan hidup atau sebuah penyakit. Waria dalam pandangannya, adalah sebuah pilihan masa depan. Oleh karenanya, waria pun berhak beribadah. Ia pula yang menginisiasi waria untuk nyantri di Pondok Pesantren Khusus Waria Senin Kamis al-Fatah di daerah Notoyudan, Yogyakarta.
Sesuai namanya, kegiatan keagamaan di pondok ini berlangsung pada Senin dan Kamis. Biasanya diawali dengan membaca Salawat Nariyah. Kemudian dilanjutkan dengan Salat Magrib berjamaah. Diisi pula dengan belajar membaca Alquran dan doa sehari-hari. Selanjutnya ditambah dengan Salat Isya berjamaah. Menjelang dini hari, Salat Hajat dan Salat Tahajud kemudian ditutup dengan Salat Fajar. Setelah itu, waria ini pulang ke rumahnya masing-masing. Biasanya kalau mendekati bulan Ruwah, diadakan kegiatan kirim doa kepada para waria yang telah meninggal dunia.

Jumlah santri yang aktif di ponpes itu ada 15 waria. Namun jumlah itu bisa lebih, sebab ada juga partisipan dari Sleman, Malang bahkan Madura. Ponpes ini juga aktif mengadakan bakti sosial dan doa akbar dengan melibatkan seluruh waria dan gay se-Indonesia. “Seperti kegiatan potong rambut di lereng Merapi. Awalnya direncanakan sehari. Karena begitu besarnya animo masyarakat, kita tambah menjadi 3 hari. Padahal dalam sehari, 250 potong rambut kita lakukan,” jelas Maryani.(*)

sumber : koranpendidikan.com