Search
Close this search box.

Ketika Sastra “menyentil” LGBT…

Ourvoice.or.id. Jakarta. Puisi sebagai karya sastra yang lahir dari buah pemikiran kadang tak begitu dianggap oleh sebagian anak muda khususnya di Jakarta, bahkan dikatakan “lebay.” Padahal di dalam puisi banyak makna yang tersirat maupun tak tersirat tentang kehidupan. Tutur Imam, program officer Ourvoice, disela-sela kelas apresiasi karya sastra yang diadakan Minggu, 5 Agustus 2012, pukul 16.00, di sekretariat Ourvoice Jakarta Selatan.

Bila kita berbicara sastra pasti kita akan teringat dengan pujangga lama, hingga angkatan 2000-an. Ada begitu banyak karya sastra yang lahir, baik itu lisan ataupun tulisan pada setiap zamannya. Dan bahkan menjelang tahun 2000-an mulai lahir karya satra berupa Novel yang bertemakan percintaan sejenis; diantaranya ada “Garis Tepi Seorang Lesbian,” karya Herlina Tien, kemudian ada Andrei Aksana dengan “Lelaki Terindah”nya dan Shuniyya dengan bukunya, “Jangan Lepas Jilbabku.” Dan beberapa karya lain yang mengangkat tentang homoseksual.

Hasil karya yang saya sebutkan di atas duduk manis di perpustakaan Ourvoice, bahkan jarang sekali disentuh oleh komunitas Lesbian Gay Biseks dan Tranjender/Transeksual (LGBT) yang berkunjung, padahal rak buku yang kami sediakan terbuka dan dapat diakses  kapanpun. dari keprihatinan itu kami segenap tim Ourvoice mencari cara agar buku-buku yang dimiliki Ourvoice tidak hanya menjadi etalase semata, hingga kemudian muncullah ide membuka sebuah kelompok baca sastra. Sebagai sebuah apresiasi anak muda LGBT terhadap karya-karya sastra. Baik yang berisi tentang tema homoseksualitas ataupun bertemakan sosial budaya. Ungkap Imam memberikan penjelasan tentang latar belakang diadakan acara apresiasi karya  sastra yang diberi nama “Komunitas Baca Sastra.”

Ada sepuluh orang anak muda lesbian, gay, biseksual dan transgender. Mereka terlihat fokus membuka lembar demi lembar sebuah karya yang ditulis oleh Denny JA. Dengan judul “Cinta terlarang Robin dan Batman.” Selain itu ada buku kumpulan puisi oleh Dewi Nova, dengan sampul depan berwarna hitam putih bergambar seorang perempuan dengan rambut dikuncir sambil menatap tulisan “Burung-Burung Bersayap Air.”

Suasana yang tadinya hening kemudian memecah menjadi penuh senyum-tawa. Tiap peserta diminta untuk membacakan puisi, baris demi baris kata dihayati dengan seksama, Ada yang cara membacanya terbata-bata, ada yang melaju tanpa memperhatikan titik dan koma, dan ada juga yang penghayatannya melebihi dari makna puisinya.

Namun sebelum itu, Teguh, Salah satu peserta yang berasal dari Jakarta timur sempat mengatakan keberatan membaca puisi karya Denny JA. Karena ia menganggap judulnya terlalu menyudutkan Gay, dengan menuliskan kata “Cinta Terlarang……”

Santosa Amin menyimak salah satu peserta yang sedang membacakan puisi

Kemarahan Teguh kemudian dilerai oleh Santosa Amin yang saat itu bertindak sebagai mentor kelas baca puisi dengan mengatakan “kita sekarang disini bukan berbicara benar atau salah, namun kita harus kembali pada tujuan kelas ini dijalankan, yaitu mengapresiasi karya. Mungkin saja pendapat Denny JA tersebut dipengaruhi oleh pendapat masyarakat. Dan kelemahan kita pada kelas ini adalah kita tidak mengundang pembuat karya, jadi apapun interpretasi kita belum tentu sejalan dengan maksud dari sang pembuat karya,” Jawab Santosa, yang saat ini dia sedang mempersiapkan sebuah pertunjukan teater berjudul “ Minah Tetap dipancung” adaptasi dari cerpen Denny JA. Yang dibintangi, Atiqah Hasiholan serta Ria Irawan yang rencananya akan digelar pada bulan oktober mendatang.

“Kita juga harus mencoba melihat kembali konteksnya, coba perhatikan latar belakang puisi ini, kalau tidak salah ini berlatar belakang tentang kehidupan gay di Pesantren. Saya mengamini judul puisi Denny. Karena  saya pernah tinggal di pesantren. Secara konteks agama, percintaan sesama jenis tidak di perbolehkan di pesantren, bahkan dilarang dan jika ketahuan kita akan mendapatkan hukuman.” tutur salah satu peserta yang enggan disebutkan namanya, yang kini juga aktif menjadi kader salah satu partai yang bernafaskan islam.

Berbeda dengan Lutfi, salah satu peserta yang berasal dari Bogor, dengan logat sunda yang cukup kental ia mengatakan “saya mah Seneng bisa bareng kawan-kawan membahas sastra, sebelomnya saya kalo ngeliat orang nulis puisi dan yang baca puisi saya bilang lebay, tapi setelah tadi ngikutin kelas, saya jadi makin tau bahwa menulis dan membaca puisi gak gampang, dibutuhkan penghayatan, dan pengalaman yang dalam agar karya yang dihasilkan benar-benar kerasa fellnya.”

Sudah hampir empat jam waktu telah berlalu. Namun peserta masih terlihat antusias di dalam kelas. Padahal putaran jarum jam sudah tepat mengarah ke angka delapan. Karena hari makin merapat menuju malam, maka diputuskan untuk kembali melakukan pertemuan pada hari Jumat di jam dan tempat yang sama, untuk membahas satu karya milik Dewi Nova dan juga mempersiapkan pertunjukan baca puisi  yang akan diadakan pada hari Sabtu, 11 Agustus 2012 di kantor kesekretariatan Ourvoice.(Yatna Pelangi)