Oleh: Teguh*
Bulir bulir air mata muncul di mata keriput perempuan berjilbab itu. “Astagfirullah Al Adzim… Istighfar kau Nak”. Syafi’i hanya bisa tertunduk diam mendengar sabda sang Ibu. Ia merasa berdosa sekali telah membuat tumpah air mata orang yang disayanginya itu.
“Kamu harus menikah!” titah sang Ibu yang membuat Syafi’i lesu.
“Aku gak mau menikah Bu,” jawab Syafi’i pelan.
“Kamu jangan mempermalukan Ibu ya, Ibu hanya ingin kamu selamat dunia-akhirat.”
”Aku gak mau menikah dengan perempuan Bu.”
”Dasar anak gak normal.”
PRANGGGG…..
Suara bantingan keramik menutup pembicaraan ibu dan anak ini.
Hari-hari berikutnya terasa berat bagi Syafi’i. Hubungan dia dengan sang Ibu tidak lagi hangat seperti dulu. “Syafi’i, Kamis besok kita akan silaturahmi ke rumah Ustad Rohman, dia punya anak perempuan yang cantik, sholeha dan cerdas, namanya Nayla. Ibu yakin Nayla akan bisa mengurus kamu dan bisa membuat kamu menjadi lelaki yang bener, lelaki sejati.” ucap sang Ibu. Mata sayfi’i menerawang entah ke mana, mencari-cari titik pembebasan agar menjadi jiwa yang merdeka.
Hari kamis, hari transaksi. Inilah hari dimana aku dijual, batin Syafi’i. Pukul tujuh malam dia beserta sang Ibu telah sampai dirumah Ustad Rohman. Mereka disambut dengan ramah dan penuh hormat. Syafi’i hanya bisa tersenyum kecut untuk membalas keramahan Ustad Rohman dan ketika Nayla datang menyediakan minuman, Syafi’i hanya bisa menunduk. Syafi’i mengikhlaskan ibunya berbicara sesuka hati, aku tidak mau berdebat lagi, ujar Syafi’i dalam hati. “Lebih cepat lebih baik Pak Ustad, Saya ingin cepat-cepat melihat Syafi’i duduk di pelaminan.” Kata sang Ibu menutup pertemuan perdana dua keluarga ini.
Bulan masih tegar tegak menyinari bumi. Udara dingin yang menusuk-nusuk kulit tidak membuat gentar sang Ibu untuk bangun dan Sholat malam. Samar-samar dia mendengar suara tangisan. Dia menyadari, tangisan itu berasal dari kamar anak semata wayangnya. Sungguh tangisan yang amat pilu. Bagai dicambuk, sang ibu merasakan kesakitan yang luar biasa. Namun kesakitan itu dia tahan. Aku harus kuat, kesejahteraan anakku di akhirat lebih penting daripada menuruti nafsunya di dunia, batin Sang ibu.
Tangisan pilu itu bukanlah tangisan pilu yang terakhir. Tiap malam, ketika sang Ibu berjuang keras melawan rasa kantuk dan dinginnya malam untuk bermesraan dengan Allahnya, tangisan itu tetap terdengar. Dadanya merasakan sesak luar biasa, nafasnya tersengal-sengal, batinnya perih tercabik-cabik. Ditumpahkanlah bulir-bulir air mata yang dia punya untuk mengurangi rasa sakit itu. “Aku harus kuat, ini pun demi anakku,” teriak sang Ibu dalam batin.
”Penghulu sudah sampai mana?” tanya seorang pria berpakaian batik, lehernya berkalung kartu tanda panitia.
”Sudah di halaman parkir masjid.” terdengar suara di kotak hitam yang pria itu pegang.
”Pengantin perempuan sudah siap?”
”Siap”
Sang ibu tersenyum melihat kecekatan kinerja panitia. Pelan pelan ia menuju kamar rias pengantin pria. Dia ketuk pintu tiga kali. Tidak ada jawaban. Dia pun masuk. Matanya mencari-cari keberadaan anak kesayangannya itu. Ditemukanlah sesosok pria berpakaian pengantin dengan bersimbah darah. Tidak perlu waktu lama bagi sang Ibu untuk mengenali pria itu.
”Anakkuuuuuu……” Teriak sang Ibu histeris.
*Relawan Ourvoice