Search
Close this search box.

Yang Direndahkan: Sastra Tentang Tubuh

Oleh: Hendri Yulius*

Di balik kesuksesan pertunjukan teatrikal “The Vagina Monologue”, ternyata ada ketakutan yang tak terkatakan yang baru diketahui setelah hampir lima belas tahun sejak karya monumental ini dipentaskan. Eve Ensler, sang penggagas teater bertema seksualitas perempuan ini mengaku dengan jujur dalam kata pengantar buku edisi anniversary kesepuluhnya. Saat pertama kali mementaskannya, bibirnya terasa kelu dan sulit berkata-kata. Meski ketakutan akibat ketabuan akan seks ini berhasil diterabasnya dan menjadikannya salah satu ikon feminis yang sukses di era 90-an.

Agaknya, ketakutan yang dialami Ensler ini tidaklah berlebihan. Sebab seksualitas perempuan tak pernah hadir secara apa adanya. Ia selalu diikuti dengan beban moral dan stereotipe ‘perempuan jalang’ (bitch) ketika seksualitas itu dimunculkan ke ruang publik. Apa yang dialami Ensler ternyata merupakan buah dari budaya patriarki yang juga sempat menimpa beberapa penulis dan pemikir perempuan lain yang juga berteriak tentang seks dan erotika.

Erica Jong, penulis perempuan keturunan Yahudi ini sempat menggemparkan jagad sastra tahun 70-an lewat karyanya yang berjudul “Fear of Flying”. Dalam novel yang kelak dibuat menjadi trilogi itu, Jong menceritakan pengalaman perempuan yang telah berumah tangga untuk berpetualang untuk menemukan jati dirinya secara seksual dan menemukan kenikmatan orgasmik yang selama ini begitu dirindukannya. Istilah  metaforik ‘zipless fuck’ yang merupakan gabungan dari kata ‘zipless’ (tanpa ritsleting) dan ‘fuck’ (persenggamaan) dipopulerkan dalam novel  tersebut dan merujuk pada persetubuhan kasual dan bebas tanpa beban.

Tentu saja. Jong tidak bisa melenggang dengan bebas, meski novelnya ini berhasil menduduki peringkat penjualan terbaik yang mencapai jutaan kopi. Tulisan Jong dipandang ‘pornois’ dan dalam memoir “Fear of Fifty” yang ditulisnya saat berusia lima puluh, ia sempat bilang pada anak perempuannya bahwa perempuan yang menulis melewati batas yang ada akan tidak dihargai. Sebuah ungkapan yang tentu mewakili karir kepenulisannya. Karya seorang perempuan yang bicara tentang seksualitasnya selalu dipandang sebagai seni yang sekunder dan tidak penting.

Selain Jong dan Ensler, di negeri tirai Bambu, Wei Hui menelurkan sebuah karya semi-otobiografisnya yang berjudul “Shanghai Baby” yang langsung dilarang beredar, bahkan dibakar di muka umum di Cina. Semua ini dikarenakan nuansa sensual yang dianggap menganggu kesopanan dan kesusilaan masyarakat Cina. Padahal, di Reuters, Wei Hui bilang bahwa ia hanya sedang mencari suara generasinya. Memang lewat novelnya ini, Wei Hui berkisah tentang gadis muda bernama Coco yang memiliki kekasih impoten yang membuatnya akhirnya berselingkuh dengan lelaki keturunan Barat. Perselingkuhan ini menimbulkan pertanyaan tentang cinta dan pengkhianatan. Sayang, isu moralitas sempit yang dilebih-lebihkan menggeser posisi novel ini menjadi seolah novel seks belaka.

Hal serupa juga terjadi di negeri kita sendiri. Saat Ayu Utami pertama kali bicara seks lewat dwilogi Saman, hujatan demi hujatan harus diterimanya seiring dengan popularitasnya yang semakin gemilang. Kembali argumen dan hujatan berbasis moralitas sempit menggeser pokok novel Ayu yang sebenarnya bicara tentang kompleksitas seksualitas manusia, ketimpangan gender, hingga carut-marut politik Orde Baru dan mereduksinya menjadi seolah karya yang bicara seks dengan vulgar.

Mengapa karya sastra perempuan yang bicara seks selalu ditempatkan dalam ranah sekunder, bahkan seringkali direduksi menjadi karya pornois? Tak bisa tidak, kita harus melihat isu moralitas yang sering digunakan untuk menghakimi karya perempuan. Moralitas yang hadir dalam kekuasaan budaya patriarkis bergerak dalam moda dikotomi antara aktif (lelaki) dan pasif (perempuan). Perempuan ditempatkan dalam wilayah pasif dan domestik yang membuatnya harus tunduk dan diam terhadap seksualitasnya. Kepasifan perempuan dijadikan landasan moral masyarakat, sebab ia dianggap akan menjadi ‘ibu’ dan mengabdi pada keluarga, juga tidak membutuhkan (juga memerlukan) kenikmatan seks.

Pandangan seksis ini mendapat justifikasi dari esai Sigmund Freud yang berjudul “Feminity”. Lelaki berjanggut ini berargumen bahwa seorang gadis lebih bergantung dan kurang agresif. Lanjutnya, perempuan adalah makhluk yang tidak lengkap, hanya karena tidak memiliki penis. Tentu saja, pandangan ini tak berdasar. Bukan karena ketidakberadaan penis, maka perempuan menjadi pasif. Tetapi, justru dari konstruksi nilai bahwa ‘perempuan itu pasif’ yang dilembagakan sejak kecil, maka banyak perempuan yang mengamini anggapan semacam ini.

Oleh karenanya, perempuan yang dianggap aktif dan menantang seksualitas akan dianggap sebagai ‘perempuan jalang’ karena telah melanggar batasan norma ini. Sementara, lelaki tidak. Inilah yang dinamakan kekerasan simbolik yang diterakan lewat hinaan dan pembentukan stereotipe.

Usaha ‘subversif’ yang dilakukan oleh para penulis perempuan ini bukanlah tanpa tujuan. Griselda Pollock menulis bahwa citra perempuan selalu mencerminkan makna yang berasal dari tempat lain, yakni struktur sosial. Tentu, struktur sosial ini belum pernah bisa dilepaskan dari kekuasaan budaya patriarkis yang membungkam seksualitas perempuan. Oleh karena itu, tulisan yang merupakan arena pertarungan makna simbolik harus dapat direbut. Karya sastra merupakan arena yang dapat digunakan untuk merebut subjektivitasnya dan meleburkan batasan dikotomi aktif/pasif dan moral/amoral itu.

Senada dengan itu, pemikir feminis Perancis, Helene Cixous berpendapat bahwa dengan menulis, perempuan dapat menerabas batas dikotomi dan melakukan transformasi budaya. Bukanlah nalar berbasis moralitas dikotomis yang seharusnya dijadikan landasan menulis, tetapi hasrat. Hasrat yang membebaskan.

Dan saya yakin: Eve Ensler, Erica Jong, Wei Hui, Elfriede Jelinek, hingga Nancy Friday telah melaksanakannya dengan berani. Demi seksualitas dan suara perempuan yang selama ini diingkari.

*Penulis Buku “3-Some”