Search
Close this search box.

Keterwakilan Komunitas dan Perjuangan Akar Rumput untuk Sektor Kerja Formal Inklusif

Oleh: Mia Olivia*

SuaraKita.org – Pada 18 Desember 2024 lalu, Panitia Seleksi (Pansel) mengumumkan nama 22 calon yang lolos ke tahap akhir untuk pemilihan Komisioner Komnas Perempuan melalui konferensi pers. Ada hal menarik yang disampaikan oleh lima orang Pansel tentang cara mereka melakukan seleksi.

Sebagai Lembaga Nasional HAM (LNHAM) di Indonesia, Komnas Perempuan menggunakan Paris Principle atau Prinsip Paris dalam penentuan Komisioner serta menginternalisasi prinsip tersebut dalam rekrutmen Badan Pekerjanya. Prinsip pluralisme diwujudkan semaksimal mungkin dalam affirmative action serta pembangunan sarana dan prasarana. Setiap generasi Pansel selalu menggunakan Paris Principle meskipun ada yang berbeda dengan pemilihan kali ini.

Pluralisme dan keterwakilan adalah hal yang amat penting. Akan tetapi, Pansel menyatakan bahwa masih banyak komponen lain yang menentukan terpilih atau tidaknya seseorang selain dua hal tersebut. Contohnya, kemampuan individu para calon dari segi pemahaman isu, teknis kerja, kematangan berpikir, dan rekam jejak yang tersebar di media sosial maupun dari masukan publik.

Kemampuan bekerja ini menjadi titik ukur yang besar. Keterwakilan tidak serta merta meniadakan atau menihilkan syarat ini. Hal ini menarik, karena Perkumpulan Suara Kita sejak beberapa waktu lalu sudah memperbincangkan tentang hal tersebut dan tahun ini sedang memulai programnya.

Berdasarkan advokasi akar rumput ke komunitas transpuan untuk pembuatan KTP yang diadakan sejak 2020 dan dilanjutkan dengan jaminan sosial serta perlindungan sosial di tahun-tahun berikutnya, Suara Kita menemukan banyak teman-teman transpuan (dan juga translaki-laki, queer, serta non-binary) yang ingin bekerja formal. Akan tetapi, hal tersebut terkendala akibat diskriminasi ekspresi dan gender serta pengetahuan dan kemampuan karena akses pendidikan yang terputus dan terbatas.

Sudah tentu, Suara Kita enggan bergelut terus-menerus di kolam derita. Suara Kita pun segera menangkap isu tersebut dan mencari tahu hal yang diperlukan oleh kawan-kawan transgender agar mampu masuk ke sektor kerja formal. Dari satu pembicaraan ke pembicaraan lainnya, pendampingan pembuatan CV yang aman diperlukan. Di samping itu, ada juga pelatihan lain seperti wawancara, cara bersikap, serta kemampuan kerja dasar seperti mengetik dan membuat laporan.

Seorang kawan bernama Retsu (translaki-laki) memberikan bantuan. Ia berhasil masuk ke sektor formal karena kemampuan kerja dan pengetahuannya yang baik serta memiliki banyak pengalaman suka duka bekerja di sektor formal. Dengan bantuannya, Suara Kita melakukan pelatihan online pertama tentang cara pembuatan CV yang aman bagi transgender, utamanya terkait nama dan identitas diri.

Tak disangka, semua peserta bertahan sampai akhir. Padahal, Suara Kita tidak menyediakan penggantian pulsa dari pelatihan tersebut. Mulai dari sana, kami yakin bahwa banyak kawan-kawan yang ingin meningkatkan kemampuan diri mereka tanpa harus diiming-imingi dengan uang transportasi. Banyak kawan-kawan yang membutuhkan pelatihan dan pendampingan untuk siap bekerja di sektor formal dan bersaing dengan calon pekerja lainnya.

Tentu, kami tahu bahwa alasan lain sulitnya mengakses pekerjaan formal adalah karena lingkungan kerja yang tidak aman dan nyaman bagi kelompok minoritas gender dan seksual. Terutama untuk transgender karena secara ekspresi dan identitas dianggap menyalahi norma sosial. Oleh sebab itulah kerja paralel perlu dilakukan. Sembari meningkatkan kapasitas, integrasi prinsip kerja berbasis HAM juga dilakukan melalui audiensi dan pendampingan pembuatan panduan.

Suara Kita percaya bahwa keterwakilan komunitas dan kemampuan kerja itu sama pentingnya, seperti yang dilakukan Pansel Komnas Perempuan. Pasti pekerjaan-pekerjaan ini tidak bisa diukur hanya dengan angka, seperti berapa yang sudah bekerja atau berapa tempat kerja yang sudah membuat SOP. Pengukuran harus dilakukan dari perubahan perilaku dan perubahan kapasitas yang akan menciptakan perubahan budaya. Yang harus dilihat dalam pekerjaan adalah kemampuan, bukan soal identitas gender dan seksual.

 

*Penulis adalah kontributor Suara Kita yang berdomisili di Jakarta Barat. Penulis adalah seorang Konselor dan pekerja lepas untuk program and community development. Sapa penulis melalui Instagram: @mxmiaolivia