Oleh: Mia Olivia*
SuaraKita.org – Di tengah gelombang isu menurunnya lapangan kerja, kelompok minoritas gender dan seksual memiliki kerentanan yang berlapis. Bagi minoritas gender dan seksual, bukanlah hal yang mudah mendapatkan pekerjaan yang tidak hanya memberikan penghidupan layak, tetapi juga keamanan dan kenyamanan.
Semangat inklusi dan afirmasi kelompok rentan yang digaungkan oleh sektor pemerintah dan sektor swasta sering kali tidak mencakup kelompok minoritas gender dan seksual sehingga tidak ada kebijakan yang bisa melindungi hak-hak mereka sebagai warga negara. Sedangkan sektor lain, seperti sektor sipil, terutama organisasi masyarakat sipil (OMS) yang bergerak di isu HAM, seharusnya menjadi harapan besar bagi komunitas minoritas gender dan seksual. Namun, apakah sektor ini mampu menjadi contoh untuk memberikan penghidupan, keamanan holistik, dan kenyamanan serta tidak mengastrasi hak-hak pekerja dari kelompok minoritas gender dan seksual sebagai tempat kerja yang mengusung isu HAM sebagai prinsip dasarnya? Karena akan sangat miris jika semangat afirmasi kepada kelompok minoritas gender dan seksual hanya digunakan sebagai tokenisme belaka.
Menurut saya, ada tiga hal yang bisa dicek berkaitan tentang kemampuan suatu tempat kerja, utamanya OMS di isu HAM, memenuhi hak-hak pekerjanya dan menjawab tantangan yang selama ini muncul sehingga menimbulkan kesulitan kelompok minoritas gender dan seksual untuk bekerja.
Pertama, hak untuk merasa aman dan nyaman. Tempat kerja tidak bisa hanya menyatakan sebagai tempat yang bebas dari diskriminasi, melainkan harus diwujudkan dalam segala tindakan. Terkadang, prinsip non-diskriminasi hanya ditempatkan untuk memenuhi kuota afirmasi, tetapi dalam pelaksanaannya masih jauh panggang dari api. Hal-hal seperti penyebutan nama KTP, pertanyaan tentang proses coming in dan coming out, serta komentar tentang penampilan yang dianggap berbeda dan seksis adalah hal-hal yang seharusnya tidak boleh ada jika sudah menerapkan prinsip non-diskriminasi kepada pekerja minoritas gender dan seksual. Begitu pula dengan pemilihan kamar saat ada kegiatan yang mengharuskan menginap. Jika dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, hal itu bisa menimbulkan diskriminasi karena tidak mencerminkan penerimaan tempat kerja terhadap pilihan gender dan seksual pekerja.
Kedua, hak-hak pekerja yang tidak boleh terkastrasi. Hak cuti haid adalah hak yang sulit didapat oleh teman transman. Stigma yang mereka dapatkan karena mengambil cuti haid membuat mereka akhirnya memilih untuk tidak menggunakan hak istirahat. Lalu, ada juga hak cuti saat anak sakit. Pandangan tentang ‘anak’ yang berarti bahwa orang tuanya adalah pasangan hetero membuat pekerja minoritas gender dan seksual kesulitan mengajukan cuti untuk mengurus anak. Kembali, stigma yang muncul adalah ‘memangnya ada transpuan yang punya anak?’ atau ‘itu kan anak pasanganmu, bukan anakmu!’. Ketidakpahaman tentang adanya konteks keluarga yang non-hetero membuat pemikiran diskriminatif ini muncul dan merugikan para pekerja. Seharusnya, hak cuti bisa diberikan dengan terbuka. Tempat kerja mengakomodasi cuti yang sama dengan cuti pekerja lainnya.
Ketiga, pemahaman kesehatan mental komunitas minoritas gender dan seksual. Ada perbedaan dalam isu kesehatan mental untuk minoritas gender dan seksual. Tekanan dari keluarga dan masyarakat, rasa takut akan keamanan, dan layanan kesehatan mental yang masih sering menganggap bahwa LGBT adalah hal yang terjadi akibat trauma masa kecil sehingga bisa disembuhkan. Semua hal itu adalah penyebab isu kesehatan mental komunitas minoritas gender dan seksual menjadi banyak sekali lapisannya. Sensitif terkait isu kesehatan mental secara umum saja belum menjadi arus utama bagi tempat kerja, apalagi sensitif terkait isu kesehatan mental kelompok minoritas gender dan seksual.
Tentu, tulisan ini tidak bisa menyuguhkan semua kerentanan akan pelanggaran hak yang terjadi terhadap pekerja minoritas gender dan seksual. Namun, dengan tulisan ini, saya berharap bisa menyampaikan beberapa hal yang sering kali luput saat membahas tentang pelanggaran hak. Bekerja adalah hak konstitusi warga yang dijamin oleh negara, yaitu hak untuk bebas memilih pekerjaan serta hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dengan mendapatkan dua hak ini, kita mampu untuk memenuhi hak-hak lainnya, seperti hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar demi meningkatkan kualitas hidup. Dengan mempersiapkan ketiga poin di atas sebagai bagian yang terintegrasi secara utuh di dalam lingkungan kerja, pekerja dari komunitas gender dan seksual akan mampu berkarya dan berdaya. Semua sektor pekerjaan utamanya yang memang mengusung isu HAM, harus sudah melakukan penetrasi pemikiran ini ke dalam tiap-tiap pekerja lainnya sehingga bersama-sama akan menciptakan ruang aman untuk pekerja dari minoritas gender dan seksual.
*Penulis adalah kontributor Suara Kita yang berdomisili di Jakarta Barat. Penulis adalah seorang Konselor dan pekerja lepas untuk program and community development. Sapa penulis melalui Instagram: @mxmiaolivia