Oleh: Lena Tama*
SuaraKita.org – Hingga kini, kelompok ragam gender dan seksual masih kesulitan mendapatkan atau mempertahankan pekerjaan di tengah lingkungan masyarakat Indonesia yang mayoritas masih belum menerima keberagaman gender dan seksual. Karena itu, banyak dari mereka yang memilih untuk membuka beragam jenis unit usaha baik itu secara mandiri atau secara kolektif.
Menjalankan wirausaha di tengah perekonomian Indonesia yang masih belum stabil ini merupakan risiko besar bagi mereka, belum lagi risiko besar lainnya yang patut diperhitungkan seperti penolakan atau pembubaran dari para konsumen. Meski begitu, kawan-kawan tetap bersemangat untuk menjalankan usaha mereka.
Hal ini tercerminkan dari pendataan yang dilakukan kepada Anggota dan Calon Anggota Suara Kita pada tanggal 11 September 2024 terkait seberapa banyak kawan ragam gender & seksual yang memiliki unit usaha kolektif atau pribadi. Hasilnya, terdapat setidaknya 12 unit usaha dalam berbagai skala, bentuk, dan tantangan yang mereka hadapi.
Peran media sosial dalam membangun wirausaha dan menjaga keamanan
Mayoritas unit usaha yang mereka jalankan adalah usaha perorangan dan setidaknya dua di antaranya adalah usaha kelompok. Selain itu, jenis usaha mereka pun juga beragam, seperti perdagangan, jasa konsultan, musisi, les privat, tekstil, dan transportasi.
Akan tetapi, satu kesamaan dari unit-unit usaha mereka adalah aktifnya penggunaan media sosial yang menjadi media utama mereka dalam berwirausaha, baik itu media sosial publik seperti Instagram dan Facebook ataupun yang lebih privat seperti WhatsApp.
Salah satunya adalah unit usaha milik Pudji Tursana, yaitu penjual hasil bumi warga Baduy. Usaha yang ia jalani selama tiga sampai lima tahun terakhir ini menghasilkan omset sekitar Rp1-5 juta, meskipun ia lebih fokus menjual produk-produknya secara privat.
Pada riset tersebut, Pudji berkata, “Saya menjual hasil bumi/kerajinan warga Baduy, yaitu madu hutan asli, gula aren, kopi, dan bandrek jahe merah. Kadang-kadang ada juga kain tenun ATBM karya warga Baduy.”
Selain itu, ada juga Mochi yang menggunakan media sosial serta membuka tempat usaha fisik di Jakarta Timur untuk berjualan bakso, ketoprak, dan camilan kue. Karena posisi usahanya yang strategis di sekitar kampus ditambah pengalaman kerjanya selama lima tahun lebih, Mochi dapat berjualan di tempat sambil membuka jasa catering dengan omset sekitar Rp1-5 juta.
Tantangan terbesar terkait usaha Mochi adalah biaya bahan pokok yang tidak stabil. Menurutnya, “Secara bahan pokok harganya bisa naik turun sehingga mempengaruhi modal. Terlebih, saya menjual makanan yang secara penyimpanan harus diperhatikan jika ada sisa karena mudah basi.”
Sementara itu, Bimo menjadikan Instagram sebagai media utamanya untuk mempromosikan jasanya sebagai ilustrator lepas maupun kontrak. Berkat pengalamannya menggambar sejak tahun 2013 dan karir profesionalnya sejak lima tahun terakhir, ia menghasilkan omset sekitar Rp5-10 juta per bulan melalui karya-karya komersilnya seperti desain karakter, storyboard, komik, ilustrasi digital, dan/atau cetak buku.
Kesuksesannya bukan hanya didukung oleh pengalamannya, namun juga kecintaannya terhadap profesinya sebagai ilustrator.
“Buatku pribadi, karya yang aku hasilkan itu kayak anak-anakku sendiri. Tidak semua orang menghargai apa yang kita buat, jadi aku menanamkan pendirian: Hargailah karya sendiri sebelum karyamu dihargai orang lain. Persoalan jangan takut salah, lebih baik membuat banyak kesalahan saat proses, karena tanpa kesalahan aku tidak akan tahu apa yang perlu ku perbaiki,” ujar Bimo.
Masih banyak unit usaha lainnya yang memanfaatkan media sosial dan tren ini sangat sukses. Beberapa alasan di antaranya, selain karena media sosial bisa membantu menjangkau usaha kawan-kawan ke banyak orang di internet, media sosial juga menyediakan ruang aman agar konsumen tidak memandang identitas gender maupun orientasi seksual kawan-kawan, sehingga netizen cenderung lebih menerima unit usaha mereka.
Tantangan dan risiko wirausaha yang besar
Akan tetapi, walaupun media sosial sangat membantu kawan-kawan dalam menjalankan unit usaha mereka, masih ada tantangan serta risiko besar yang kerap mereka hadapi. Salah satu isu yang kerap mereka hadapi adalah sumber pendanaan yang sulit mereka dapatkan untuk menjaga kelangsungan usahanya.
Wisesa menghadapi masalah ini dalam menjalankan unit usaha Bawah Tangga Store, toko online yang menjual pernak-pernik trading card game (TCG) Yu-Gi-Oh! seperti aksesoris bermain dan kartu-kartunya.
Bisnis yang ia jalani sejak dua tahun terakhir ini menghasilkan omset sekitar Rp1-5 juta, namun frekuensinya tidak stabil dan jumlah barang yang ia jual pun tidak menentu. Menurutnya, “Kendala yang sering dihadapi adalah kurangnya modal, di saat pergantian barang yang cepat.”
Hal ini juga dirasakan oleh Misske yang membuka Warnakita Clothing, usaha tekstil pakaian kaos dan aksesoris. WarnaKita memiliki nilai jual sebagai merek pakaian lokal yang menjual produk queer secara umum dengan desainnya sendiri, namun sangat terbatas dalam modal pendanaannya sehingga omsetnya kurang dari Rp1 juta.
“Usaha ini saya bentuk sejak 2023 secara online dengan keinginan saya untuk membuka lapangan kerja untuk teman-teman queer, namun belum bisa berjualan karena keterbatasan modal yang saya punya,” ujar Misske.
Selain masalah pendanaan, masalah lainnya adalah kesulitan dalam mencari mitra kerja akibat identitas gender dan/atau orientasi seksual kawan-kawan. Sebagai contoh, Ardi adalah seorang penyanyi queer yang sudah berkarir selama lebih dari lima tahun, namun perkiraan omsetnya pun juga kurang dari Rp1 juta dan frekuensi kliennya tidak menentu akibat belum memiliki kawan musisi lain untuk menambah jangkauan pasar.
Ardi berkata, “Kendala saya adalah saya tidak mempunyai home band yang mengiringi saya, dan saya harus mencari rekan musisi lainnya jika ada permintaan menyanyi secara home band. Jika tidak, tawaran menyanyi tidak bisa saya ambil.”
Yuk dukung unit usaha kawan-kawan kita sendiri!
Selain unit-unit usaha yang tertera pada hasil riset kecil Suara Kita ini, masih banyak unit usaha yang kawan-kawan ragam gender dan seksual jalani hingga kini. Ada kawan-kawan di luar sana yang membuka usaha salon, penata rias, desainer gaun, dan bentuk wirausaha lainnya yang mereka tekuni melalui media sosial atau tempat fisik langsung.
Media sosial sangat membantu meningkatkan jangkauan usaha dan menjaga keamanan kawan-kawan, namun mereka masih menghadapi tantangan-tantangan seperti kurangnya modal usaha yang sulit mereka cari dan risiko penolakan atau pengucilan, baik dalam menjalankan usaha maupun memperbesar jangkauan usahanya.
Oleh karena itu, dukunglah kawan-kawan kita yang terus berjuang menjalankan wirausaha mereka. Ada banyak cara untuk membantu mereka, termasuk hal-hal kecil seperti mempromosikan usaha mereka ke orang lain atau mitra yang bisa berpotensi memberikan dampak yang besar dalam menemukan klien atau meningkatkan omset.
Dan untuk kawan-kawan yang masih menjalankan usaha, teruslah kobarkan semangat berwirausaha! Selamat berjuang dan semoga mendapatkan berkah yang banyak dan berkelanjutan dari unit-unit usahanya!
*Penulis adalah seorang penerjemah dan penulis lepas dari tahun 2016, Lena mulai mendalami dunia jurnalistik pada tahun 2020 bersama The Jakarta Post. Selain menulis, ia juga terlibat dalam pelatihan keamanan sosial dan pergerakan aktivisme untuk komunitas LGBTQ. Penulis juga adalah Top 10 finalist Transchool 2024.