(Kisah ini diangkat dari kisah nyata pengalaman kelompok ragam gender dan seksualitas)
Oleh: Wisesa Wirayuda*
SuaraKita.org – Sebagai tukang gali kubur, aku sudah cukup banyak menyaksikan isak tangis drama keluarga yang terjadi di sekitar pemakaman. Seperti kakak-adik yang berkelahi soal warisan tanah, sepuluh menit setelah ayahnya dikubur. Atau seorang ibu yang tak hentinya menangis wajahnya dipenuhi dengan rasa penyesalan. Menurut gossip, ia lengah sedikit dan tertidur saat bersama anaknya yang belum lima bulan, tak ada yang tahu apa yang terjadi pada sang anak, yang jelas di sinilah ia berakhir.
Saat-saat seperti itu yang membuatku sedikit bersyukur bahwa aku hidup sebatang kara. Istriku sudah lama meninggal dan kami memang sejak awal tidak berniat memiliki anak. Saat memutuskan untuk menikah, kami berbincang panjang lebar soal itu. Dengan latar belakang pekerjaanku yang tidak terlalu pasti, ditambah kami bukan dari keluarga yang kaya raya, sepertinya memang logis untuk tidak memiliki anak. Sehingga, tiap melihat drama-drama keluarga ini, aku hanya bisa merindukan mendiang istriku.
“Sudah, kubur di mana saja yang kosong,” kata suara perempuan membuyarkan lamunanku dari belakang. Memang berbahaya melamun sendirian di pemakaman.
“Baik, Bu. Pagi nanti saya dan Kang Asep yang akan menggali. Kira-kira jenazah akan sampai jam berapa besok, Bu?” tanya temanku, Kang Gentar.
“Bisa jadi siang atau sore, enggak tau. Suruh siapa sih pergi dari rumah segala dan sekarang malah merepotkan keluarga lagi. Makannya, hidup jangan terlalu banyak gimmick, yang lurus-lurus saja kenapa, sih?”
Ibu itu mengomel-ngomel sendiri, Kang Gentar terlihat menahan senyumnya. Aku masih belum tahu kenapa, dan memang tidak sopan pula bila bertanya padanya sekarang.
“Baik, Bu. Kalau begitu saya dan Kang Asep akan memulai menggali besok pagi.”
Tanpa banyak berkata-kata lagi, Perempuan itu lalu pergi. Dengan sedikit isak tangis, ia menutup pintu mobilnya kencang-kencang.
“Siapa itu teh, Kang Gentar?” tanyaku.
“Itu… Bu Haji yang di belokan dekat gerbang kompleks, lupa saya juga namanya, habis ngomel-ngomel terus sepanjang perjalanan ke sini. Itu… Anaknya baru meninggal kemarin.”
“Kemarin? Euleuh… Kenapa tidak segera dikubur aja atuh?”
“Jenasahnya masih di Bali katanya, Kang. Soalnya dulu dia kabur dari rumah. Kata Bu Haji sih gitu, saya mah cuma dengerin aja. Yaudah atuh, besok Kang Asep bantuin saya gali ya.”
“Ah, Bali ke Jakarta mah cepet atuh harusnya, Kang. Siap atuh, Kang, besok saya bantu.”
Kang Gentar kemudian pergi dengan motor bututnya yang sudah menemani hampir dua puluh tahun, dan aku kini sendirian di pemakaman ini. Mencari ilalang bandel yang terus tumbuh dan tugaskulah untuk membersihkannya.
***
Rombongan yang dipimpin oleh ambulans datang. Aku melihat Kang Gentar mengajakku untuk membantu dari kejauhan. Tak pakai lama lagi, aku sedikit berlari.
Jenazah itu tertutup kain batik coklat yang tak lagi asing kulihat. Dibutuhkan sekitar empat orang untuk mengangkat jenazah dari mobil ambulans ke liang lahat yang sudah kami gali sejak tadi pagi. Keluarga yang lain pelan-pelan mengikuti kami di belakang. Tentunya sembari berdoa, namun tidak semua menangis.
Sebelum jenazah diangkat ke dalam lubang kubur, Kang Gentar bertanya apakah ada perwakilan keluarga yang akan melakukan azan. Namun semuanya terdiam. Sepengalamanku menjadi tukang gali kubur, ini pertama kalinya terjadi. Aku berpikir, sebesar apa dosa anak ini sehingga tidak ada keluarganya yang sudi untuk azan?
“Kalau tidak ada, mungkin kita perlu panggil ustad?” tanya saya pada Kang Gentar bisik-bisik karena aku sama sekali tidak tahu mesti bagaimana. Yang kutahu hanyalah jenazah ini harus cepat-cepat dikubur, begitu sunnah-nya.
“Pak Asep saja yang azan,” kata Perempuan di sebelahku, ternyata Bu Haji berdiri di sebelahku sejak tadi.
“Aduh, saya takut melangkahi keluarga kalau begitu, Bu.”
“Tidak apa, saya izinkan,” jawab Bu Haji.
Aku menatap Kang Gentar yang sepertinya sedang tidak mempraktikkan namanya saat ini, jadilah aku memulai mengumandangkan azan. Bila ada ustad yang akan memarahiku setelah ini, aku ikhlas.
Selesai dengan ritus-ritus keagamaan, jenazah sudah dikubur dan nisan dari kayu sudah ditancapkan. Kata Bu Haji, bulan depan baru akan dirapikan pakai keramik, katanya menunggu BPJS Ketenagakerjaan anaknya cair.
Tak lama, keluarga kemudian membubarkan diri. Tersisalah aku dan Kang Gentar sembari merapikan sisa-sisa proses pemakaman tadi, seperti lumpur-lumpur yang berceceran dan juga bekas jejak kaki para keluarga.
“Kenapa atuh Kang, malah saya yang azan jadinya? Nanti saya dimarahin pak ustad,” kataku pada Kang Gentar sedikit mengeluh.
“Saya juga bingung tadi, padahal tadi banyak laki-lakinya, siapa saja bisa jadi perwakilan. Ya sudahlah, jenazah sudah dikubur juga, Kang Asep.”
“Iya, tapi ini pertama kalinya, malah tukang gali yang disuruh azan.”
“Tapi saya mah kalo itu bisa ngerti sih, Kang.”
“Eh kunaon kitu[1]?”
“Nanti juga Kang Asep ngerti. Gak enak lah saya ceritanya, baru juga dikubur jenazahnya.”
Kang Gentar memang begitu, sering kali ia mematik sebuah cerita namun tidak menyelesaikannya. Sehingga terpaksa aku harus mencari tahu sendiri.
“Yaudah atuh ya, Kang, saya mau pulang dulu, kotor pisan[2] ini badan saya.”
Lagi-lagi aku ditinggal sendiri oleh Kang Gentar. Membersihkan lumpur-lumpur ini sendirian.
***
Baru saja aku sampai di pemakaman, kulihat seseorang sedang mengunjungi makam anak Bu Haji. Seorang laki-laki yang sepertinya juga sedang menangis hebat. Makam yang kini sudah menggunakan keramik hitam itu kini dipenuhi bunga-bunga. Tumben. Sejak jenazah dikuburkan, baru kali ini aku melihat ada yang berziarah di makam anak ini.
Kuperhatikan dari jauh, laki-laki itu berlutut dengan celana hitamnya yang kini telah kotor. Aku melihat kesedihan yang mendalam darinya. Siapa dia? Mengapa ia begitu sedih padahal keluarganya saja tampak tidak peduli.
“Siapa itu, Kang?” tanya Kang Gentar, lagi-lagi membuyarkan lamunanku.
“Saya juga gak tau. Saya baru datang dia sudah di situ. Nangis-nangis, kayanya sedih pisan.”
“Tanya, Kang,” kata Kang Gentar.
Setelah sebulan penuh ini aku tidak mendapatkan informasi apa pun soal siapa yang dikuburkan di sana. Aku memberanikan diri untuk menghampiri laki-laki itu dan bertanya, “Mas keluarganya?”
Laki-laki itu sontak kaget dan segera menghapus air matanya. “Oh… bukan Pak. Saya hanya teman saja.”
“Oh iya… Soalnya selama jenazah dikubur, baru Mas saja yang mampir ke sini.”
“Memang Pak, keluarga bisa sejahat itu.”
Setidaknya, aku sudah mendapatkan satu jawaban dari banyaknya pertanyaan di kepalaku. “Baik kalau begitu, saya ke belakang dulu ya, Mas,” kataku pamit.
“Ibunya ada mengantarkan jenazah kemarin Pak?” tanya laki-laki ini tiba-tiba. Menghentikan langkahku yang berniat pergi.
“Ada, Mas,” jawabku singkat.
“Tapi pasti tidak menangis. Ya kan, Pak? Ibunya benci sekali dengan dia. Dia pasti dikubur sebagai laki-laki ya, Pak?”
“Waduh maaf, saya kurang mengerti, Mas. Tapi kalau boleh tau, ada masalah apa ya, Mas? Kemarin tugas saya hanya menguburkan, dan kebetulan diminta untuk azan juga,” jawabku.
Mata laki-laki itu terbelalak sembari menggeleng-geleng memandangiku begitu tahu bahwa aku yang mengumandangkan azan. Ia memainkan telepon genggamnya, lalu menunjukkanku sebuah foto seorang Perempuan rambut pirang Panjang dengan dandanan khas kota metropolitan. “Ini Pak. Teman saya, Bella.”
Puzzle itu sedikit demi sedikit mulai menyatu. Kini aku sedikit mengerti. Nama Bella bukanlah nama yang terpampang di batu nisan.
“Saya tidak meminta Bapak untuk mengerti ini semua, saya hanya kesal. Asal bapak tau, teman saya ini yang membantu saya di masa-masa sulit. Saya pernah tidak bekerja hampir setahun karena sulit sekali mencari pekerjaan di Bali untuk saya yang pendatang. Hanya dia yang mau menemani saya. Jadi sekarang ketika saya tahu keluarganya seolah membuang dia begitu, saya jadi sedih sekali. Di masa hidupnya ia dibuang oleh keluarga, tapi saat meninggal uang asuransi dari BPJS tetap diambil juga oleh keluarganya. Munafik!”
Laki-laki ini kembali menangis, dan aku kehabisan kata-kata untuk membalas. “Baik Mas, mohon maaf sekali, saya izin ke belakang dulu ya, saya mesti membersihkan rumput di makam yang belakang. Turut berduka cita ya, Mas.”
Ia mengangguk.
Sembari berjalan, drama keluarga seperti ini lagi-lagi membuatku merindukan istriku. Namun kali ini dibarengi sebuah pertanyaan besar yang mengusik hati: “Bila aku punya anak seorang waria, apakah aku akan mampu mengumandangkan azan seperti kemarin? Atau, apakah aku akan menangisi kepergiannya?”
Kurasa, tentu saja.
[1] Kenapa gitu?
[2] Banget
*Penulis pernah terlibat di beberapa buku terbitan Suara Kita. Penulis juga adalah kontributor di website Suarakita.org sejak 2013 hingga sekarang. Beberapa pelatihan jurnalistik yang pernah ia ikuti antara lain dari Suara Kita, Jurnal Perempuan, Tempo Institute, dan Wahid Foundation.