Oleh: Dewi Nova*
Nyeri saat percintaan pertama. Itu yang tak pernah kutahu. Sebab, sebelum ia meminta penisnya dikatup liang vaginaku, jiwaku terbang lebih dulu. Mengepak jauh dari kasur tempat kami bergumul. Lalu menepi pada padang ilalang luas yang hanya berbatas cakrawala. Tak tertangkap mata. Menikmati sebisik angin lembut tak tertara.
“Kamu begitu datar. Datar dalam klimaks,” bisiknya.
Suaranya membuatku tercerabut dari padang ilalang. Aku pulang ke bumi. Pada tubuh kami yang basah peluh. Pada tatapannya yang selalu membuatku ingin melarikan diri. Lari dari persepsi cinta yang begitu memesona sekaligus menjerat nadi hidupku. Selalu aku berlari kencang-kencang. Selalu aku jatuh. Terperosok ke kedalaman sumur cinta yang demikian menakutkan.
Kututup mata rapat-rapat. Kini ia memenuhi mukaku dengan mukanya. Aku merasakan hangat napasnya. Aku mencium aroma tubuhnya. Ia menunggu aku membuka mata, untuk bersitatap lekat. Untuk merasakan betapa cinta membuatku gila!
Kami bercinta lagi. Kali ini matanya memintaku untuk terus bersitatap. Tiba-tiba daya hidupku lenyap. Aku tahu kutukan cinta sedang menunggu. Namun, ia memintaku untuk terus bersitatap. Sekelebat aku terjatuh ke padang ilalang. Begitu hangat sekaligus sejuk. Demikian damai. Seolah-olah aku telah bersedia pulang dalam keranda. Kulihat ia terkapar layu kehabisan tenaga. Begitu rapuh sekaligus cemerlang. Tatapan dan keringatnya berkilatan.
Sejengkal lagi kepala kami menabrak dinding. Tak sadar percintaan membuat kami bergerak cepat di ruang sempit. Dinding itu begitu abu-abu dan rapuh. Beberapa bubuk semen berhamburan. Seperti pupur pada kulit muka yang kering.
Tiba-tiba aku takut pada segala yang kulihat. Aku takut setiap yang terlihat masuk dalam ingatan dan tak bisa dihapuskan. Kupejamkan mata agar lepas dari pemandangan pupur semen. Aku menelungkup, menyembunyikan muka pada bantal. Kurasakan goresan yang manis. Ia menggodaku dengan menggesekkan janggutnya yang baru tumbuh dari dicukur ke punggung dan bahuku. Oh Tuhan! Keindahan ini tak tertahankan. Kini aku melihat pupur semen itu dengan lebih jelas. Ia mengetukkan tangan ke dinding semen tiga kali.
“Tadi tetangga sebelah mendengar suara kita tidak, ya?” tanyanya.
Aku menjawab dengan senyuman.
“Terima kasih,” bisikku.
“Terima kasih untuk apa?”
“Untuk percintaan ini….”
Rumah susun itu hanya sekotak ruang yang cukup untuk kami berdua. Di belakang ada balkon
sekaligus dapur sempit dan kamar mandi. Semuanya bercat abu-abu, berbaur dengan abu semen yang tak padat.
Tubuh telanjangku yang pasi setengah terbang menuju kamar mandi. Ia segera menutup tubuhku dengan handuk.
“Aih… jangan telanjang. Takut ada yang lihat dari bawah,” katanya lembut.
Ah, bukankah aku sedang berjalan di balkon rumahnya? Jika ada orang yang melihat, tentu telah menerobos batas pribadi. Namun aku malas mengatakannya. Kadang-kadang hal-hal yang dipercaya kebanyakan orang serapuh pupur semen.
Ketika air mengguyur tubuh, aku mencari nyeri di liang vagina. Seperti yang sering kudengar tentang persetubuhan pertama. Aku merasakan pubisku hangat dengan lendir. Wangi. Tak ada luka yang membuat nyeri.
Tiba-tiba mataku basah. Aku takut tak mampu melupakan pupur semen abu-abu, ujung bulu-bulu janggutnya, tatapannya. Oh, itu begitu nyeri!
***
Semakin lama pupur semen itu kian melahap hidupku. Seperti gurita mengerkah mangsa yang paling dimaui. Rumahnya di lantai tujuh. Selalu pubisku kuyup sejak di lantai pertama. Setiap kali pulang dari rumah susun itu aku berlabuh pada bersloki-sloki tequila. Mengunci diri di kamar menonton film animasi. Setelahnya aku tidur panjang dan tak memiliki konsentrasi untuk mengingat pupur semen serta cinta yang kian rakus. Aku berharap berjumpa hari baru tanpa intensi cinta.
***
Suatu malam langit teramat pekat. Lambungku begitu nyeri. Aku menangis menahan perih. Kian lama tubuhku lunglai. Ambulans membawaku ke ruang emergency. Aku tersadar, persepsi cinta sedang mencabikku senti demi senti.
***
Pada sepotong Jumat kelabu, kami menyempurnakan percintaan pada pukul 10 pagi. Awan bergumul-gumul menjanjikan hujan. Aku begitu malas bergerak ke kamar mandi. Ia mandi lebih dulu. Masih terbaring di kasur, kudengar setiap kucuran air menerpa tubuhnya. Lama-kelamaan seperti musik yang membuatku nyaman dan mengantuk. Aku kehilangan kesadaran.
Lalu semuanya menjadi abu. Pupur semen melahapku. Lamat-lamat kudengar tangisan bayi kelaparan. Suara sang bunda menghibur bayinya agar mau menetek. Ada napas perempuan yang begitu bahagia. Aku mendengarkan napas itu dengan teliti. Tidak seperti napasku.
***
Aku pulang dalam kuyup. Menemukan kamarku yang sunyi dan toilet dingin. Ada nyeri yang sangat. Kali ini di bawah lambungku, tak jauh dari sepasang ovariku. Lalu liang toilet menjadi merah darah.
Ambulans putih. Tirai hijau daun. Mengingatkanku pada ilalang. Tak sempat kudengar tangisannya. Aku menjadi batu agar tak gampang remuk dirajang persepsi cinta. Diperangkap penjaranya yang begitu kuinginkan. Namun aku telah remuk, dengan darah merah dan tak sempat kudengar tangisannya.
***
Terlalu sering aku ingin melupakannya. Melihat ia, istri, dan anaknya seperti manusia lain yang kutemui tiap hari lalu-lalang. Tanpa intensi. Seperti melihat keramaian orang-orang di pasar. Namun ingatan pada janggutnya begitu saja menggores punggungku. Ujung bulu-bulu halus yang membuat aku nyeri. Goresan-goresan itu kini menjadi cakaran. Lebih nyeri dari cakaran kucing yang terancam. Lebih racun dari bisa yang sesungguhnya.
*Penulis ialah menulis puisi, cerpen, esai dan profil budayawan dan seniman. Karyanya tersebar di beberapa harian dan media on line. Bukunya yang telah terbit Perempuan Kopi (kumpulan cerpen) dan Burung-Burung Bersayap Air (kumpulam puisi). Saat ini Dewi tinggal di Tangerang Selatan, Banten, dapat dihubungi melalui dewinova.wahyuni@gmail.com atau akun instagram de_nova_