Oleh: Moci*
SuaraKita.org – Fajar yang membangunku pagi ini terasa berbeda, membuatku basah. Hawa yang begitu panas di Kota ini, membuat tidurku terasa menggeliat.
Walaupun sudah ditemani dengan kipas angin butut itu, ya tetap saja terasa mengenaskan. Berbeda dengan rumahku yang kurang lebih berjarak 360 kilo meter itu, fasilitas yang begitu mewah, namun tak bisa kurasakan kenyamanannya. Tepat 13 tahun lalu aku memutuskan pergi meninggalkan kemewahan itu.
Masih kuingat saat itu adalah hari perayaan IDAHOBIT pertama yang aku ikuti. Namun, hari itu sangat membekas di benakku.
Pamanku melihatku berdandan dan berpakaian, yang menurutnya, tidak semestinya. Tidak salah lagi, dia bahkan memotretku dan memberikan foto itu ke keluarga besarku. Sesampainya di rumah dari kegiatan IDAHOBIT itu, aku di sidang.
Perih menyayat rasanya, aku ingat dan aku ceritakan kembali, Ayahku memukuli, menyambukku dengan brutal, terdengar suara tangisan perempuan yang sangat kucintai sosoknya, serta dua saudaraku yang menghujatku.
Seketika itu, berbekal 500 ribu yang kumiliki, aku meninggalkan rumah, tanpa aku pikirkan nanti kedepannya bagaimana. Yang jelas, aku hanya ingin aman dan nyaman.
Singkat cerita aku kini di Kota, dengan bantuan seorang kawan. Beberapa bulan aku tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan, aku merasa tidak enak hati dengan kawanku, bekal surat-surat yang dibutuhkan untuk melamar pekerjaan pun tidak sempatku bawa.
Dengan pemikiran ingin cepat mendapatkan uang, aku memutuskan menjadi seorang pekerja seks dengan nama Dori. Aku menjadi seorang pekerja seks yang sadar dengan kesehatan, dan juga sadar dengan risiko pekerjaanku.
Pada tahun ketiga aku menjadi pekerja seks, tak disangka hadir lagi di hidupku, seorang laki-laki yang sedikit mabuk, menggodaku. Masih kukenali, dia adalah Pamanku yang mengadu ke keluargaku beberapa tahun silam. Kualihkan dia ke temanku, Mira yang juga sedang melayani malam ini, tak disangka pria yang terlihat religius, berjanggut tebal, rajin ibadah, dan berjidat hitam bisa sebrutal ini di belakang sepengetahuan keluarga.
Iseng kutanya temanku, bagaimana laki-laki itu?
Sontak Mira menggelengkan kepala dan bercerita dengan heboh, pamanku itu meminta dilayani secara maksimal tapi bayarnya minimal. Ahhh, memang dasar laki-laki munafik!
Sudahlah, kita lupakan Pamanku itu, dia sudah meninggal pun sekarang kudengar.
Tahun ke 5 aku pergi dari rumah, akhirnya aku beranikan diri untuk mengirim surat ke Ibuku, dan akhirnya kami memiliki kontak satu sama lain. Kuceritakan semua kegiatanku, tapi tidak dengan pekerjaanku saat itu.
Sedikit demi sedikit beliau memahami mengapa anaknya berbeda dari kedua saudaranya. Mungkin ibu juga memberi ayahku penjelasan. Tepat dua tahun ayahku berpulang, aku masih ingat bisikannya “Maafkan ayahmu, dan kamu tetap anakku.”
Aku mulai berpikir, mau kemanapun pergi jauh, keluarga tetap tempat kembali.
Hari ini, 17 Mei 2024, aku tidak akan pernah lupa bagaimana aku merayakannya. Saat ini jelas berbeda, aku sudah berhenti dari pekerjaanku, saat ini aku memilih lebih aktif di sebuah organisasi komunitas. Juga hidup bersama pasanganku yang sudah 2 tahun belakangan ini terus mendukungku.
Bahkan kini, setiap peringatan IDAHOBIT, ibuku selalu ikut andil, sebagai seksi repot dan konsumsi, dia bilang.
*Penulis berdomisili di daerah Rawamangun, penulis dapat ditemukan di Instagram melalui akun @baksogembul99