Search
Close this search box.

[Opini] Budayakan Mendengar dan Memahami Tanpa Menghakimi

Oleh: Maria Fillieta*

‘Pulang ke pelukanmu, tenteramnya telinga yang mendengar tanpa menghakimi’. Ingat petikan lagu Raisa ini, kan? Meski lagunya berkisah tentang rasa rindu Raisa terhadap sang ibu, tapi rasanya lagu ini sangat relate dengan apa yang kami harapkan selama ini. Faktanya, masih banyak pihak yang melakukan tindak SOGIESC-shaming (penghakiman terhadap pribadi dengan Sexual Orientation, Gender Identity, Expression and Sex Characteristics yang berbeda dengan prinsip heteronormativitas masyarakat). 

Sejarawan Marieke Bloembergen dalam karyanya berjudul ‘Polisi Zaman Hindia Belanda’ yang beliau tulis di bulan Desember 1938 hingga Mei 1939 mengatakan bahwa tindak SOGIESC-shaming bahkan sudah berlangsung di masa kolonial Belanda. Saat itu pemerintah Hindia Belanda membentuk polisi susila (zedenpolitie) guna mengawasi kesusilaan umum dan menegakkan moral masyarakat. Operasi besar-besaran pun dilakukan dan polisi diberi kewenangan untuk memberantas kaum homoseksualitas. Lanjut Marieke, perbuatan itu selain dianggap sebagai aib juga suatu kejahatan yang dikenal dengan istilah skandal asusila (zedenschandaal). 

Lebih dari tujuh dekade sejak Indonesia merdeka, SOGIESC-shaming masih juga terjadi. Contoh nyatanya saat organisasi Front Pembela Islam (FPI) melakukan sweeping terhadap anggota SGRC dengan tuduhan perempuan lesbi (padahal nyatanya keliru). Alih-alih menengahi dan meluruskan kesalahpahaman ini, polisi justru mendukung sikap diskriminasi terhadap kaum kami. Kemudian tak lama berselang, ada lagi kasus dimana acara workshop yang diadakan oleh kelompok kami di hotel Cemara, Jakarta terpaksa dihentikan karena adanya laporan dari FPI. 

Ally pun tak lepas dari tindak SOGIESC-shaming. Support Group and Resources Center on Sexuality Universitas Indonesia (SGRC-UI) dicap media sebagai organisasi yang mempromosikan LGBT lewat poster LGBT Peer Support Network hasil kolaborasinya bersama Melela.org. Realitasnya, SGRC menginisiasi kegiatan itu untuk menyediakan sumber-sumber penting terkait seksualitas serta memberi konsultasi gratis dan dukungan bagi remaja LGBT. Tapi mengapa tindakan ini malah dihakimi massa? Apa sih yang membuat mereka berpikir demikian? 

Semua berakar dari adanya pemahaman keliru di masyarakat karena kurangnya informasi. Bagaimana bisa memahami kami kalau mereka saja belum sepenuhnya membuka hati dan pikirannya untuk mendengar kami? Bagaimana bisa memiliki cukup pengetahuan tentang kehidupan kami jika mereka terus menerus dijejali narasi yang salah? Bagaimana mereka mau mendapat informasi yang benar kalau karya hasil publikasi kami saja dibredel bahkan dilarang untuk speak up

Kami bersyukur di era digital ini, masyarakat semakin melek akan keterbukaan informasi dan pemikiran juga kebebasan berekspresi mulai meningkat. Perlahan-lahan banyak pihak memulai memahami kami lewat beragam bentuk kampanye, seminar, gelar wicara, diskusi serta dibentuknya small support group secara terbuka tanpa perlu sembunyi-sembunyi lagi. Dalam Jurnal Perempuan edisi ke-87, Toeti Heraty selaku pendiri Jurnal Perempuan berkisah tentang perjumpaan dirinya dengan pasangan lesbian yang akan bercerai di sebuah apartemen di Prinsengracht. Suasana kehidupan di apartemen itu begitu nyaman dan damai tanpa ada diskriminasi terhadap pasangan itu. 

Gadis Arivia, pendiri sekaligus direktur eksekutif Jurnal Perempuan mencoba memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang perbedaan antara jenis kelamin di KTP, orientasi atau ketertarikan seksual (biseksual, gay, straight, lesbian, queer) juga ekspresi gender (feminin atau maskulin). Menurutnya, hal ini sangat fluid karena pribadi dengan satu jenis kelamin bisa saja memiliki orientasi seksual dan ekspresi gender yang berbeda. Begitu pula dengan Hendri Yulius Wijaya yang menghargai keragaman seksualitas sebagai bagian inheren dari diri kita dan mengkritik teknik framing negatif yang dilakukan masyarakat selama ini tentang kaum kami. 

Saya juga angkat jempol setinggi-tingginya pada warga Nusa Tenggara Timur yang memilih seorang transpuan, Hendrika Mayora sebagai ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Masyarakat tidak lagi terpengaruh stigma buruk transpuan seperti dahulu, mulai terbuka dan melihat potensi juga kontribusinya terhadap kemajuan desa. Bahkan, enam calon lainnya yang semuanya laki-laki sama sekali tidak mempermasalahkan latar belakang Bunda Mayora malahan justru mendukung pencalonannya hingga saat beliau resmi terpilih. 

Baru-baru ini, Ian Hugen lewat saluran siaran Instagramnya bercerita soal pengalaman saat ia mencoblos di TPS pada 14 Februari lalu. Tindakan SOGIESC-shaming yang sempat berlangsung di Indonesia bertahun-tahun, kini tak lagi dialaminya. Meski ia masih berstatus laki-laki di KTP-nya, namun begitu namanya dipanggil untuk maju giliran mencoblos, petugas TPS kompak memanggilnya ‘Bu Ian Hugen’ dengan sopan dan hormat. 

Di bidang perfilman, kami turut bangga dengan kesuksesan Anggun Pradesha sebagai sutradara, produser dan penulis skenario transpuan. Anggun membawa angin segar bagi kami yang ingin berkecimpung di dunia perfilman dan keartisan. Lewat langkah demi langkahnya, Anggun kian membuktikan bahwa dunia ini sudah mulai menerapkan inklusivitas. Bahkan salah satu film karyanya ‘Kuliah Atau Nikah’ telah diapresiasi baik oleh banyak penonton. 

Sungguh luar biasa bangsa kita kini telah bergerak ke arah yang lebih progresif. Benar kata Bu Masthuriyah Sa’dan bahwa kita harus menghargai apapun perbedaan yang ada antar sesama manusia tanpa harus melihat ras, agama, budaya dan gender. Dari Raisa, kita belajar menjadi pribadi yang bisa mendengar dan memahami tanpa menghakimi, belajar menjadi diri sendiri, sekaligus menciptakan ruang ternyaman. Semoga kian hari kita bisa semakin menihilkan diskriminasi juga menghapus segala stereotip yang masih ada. 

*Penulis adalah seorang content creator yang berbasis di Jakarta. Penulis dapat dihubungi melalui instagram @fillieta15.

 

Referensi:
https://historia.id/politik/articles/razia-homoseksual-zaman-kolonial-PdjAZ/page/1/
https://historia.id/politik/articles/jala-polisi-susila-PK0x6/page/1/
https://www.dw.com/id/merayakan-diskriminasi/a-19070779
https://tirto.id/sgrc-ui-dan-penghakiman-terhadap-lgbt-ev/
https://www.voaindonesia.com/a/hendrika-mayora-transpuan-pertama-jadi-pejabat-publik-di-indonesia/5482884.html/
https://www.instagram.com/_ianhugen_/?hl=id/
https://www.konde.co/2022/03/anggun-pradesha-perjuangan-sutradara-transgender-merebut-ruang-perfilman-indonesia/
Yayasan Jurnal Perempuan. 2015. Buku Seri Pendidikan Publik JP 87 Keragaman Gender & Seksualitas. Jakarta.