SuaraKita.org – Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak”, (Pasal 1 ayat 1 UU No.40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional).
Setelah kami memperjuangkan akses adminduk (KTP/KK) bagi komunitas transgender di Indonesia. Dilanjutkan gerakan mendorong individu transpuan sebagai peserta jaminan sosial, baik BPJS Kesehatan peserta bantuan iuran maupun BPJS Tenaga Kerja (BPJS TK) kategori bukan penerima upah (BPU).
Tujuannya agar setiap individu transpuan di Indonesia dapat mengakses layanan kesehatan dan jaminan klaim saat meninggal.
Upaya ini kami lakukan karena mayoritas komunitas transpuan di Indonesia sangat terpinggirkan.
Sehingga komunitas transpuan khususnya yang lansia hidup di bawah garis kemiskinan, terpisah dari keluarga, dan hanya sesama komunitas yang biasa menjadi pendukung utamanya, baik ketika sakit maupun meninggal.
Karena BPJS TK belum memiliki program Penerima Bantuan Iuran (PBI) bagi warga fakir miskin sesuai mandat UU No.40/2004 tentang Jaminan Sosial, seperti program PBI BPJS Kesehatan.
Sambil menunggu komitmen pemerintah untuk melahirkan kebijakan PBI BPJS TK, kami berinisiatif secara mandiri mengelola dukungan sumber daya publik dan klaim kepesertaan untuk mendaftarkan kepesertaan BPJS TK bagi transpuan lansia miskin. Sehingga semua iuran bulanan kepesertaan BPJS TK bagi transpuan lansia berasal dari dana dukungan publik.
Sampai sekarang sudah terdapat 163 peserta BPJS TK dari transpuan lansia miskin yang menjadi penerima manfaat program tersebut. Tetapi sayangnya, ketika ada peserta BPJS TK meninggal, kami mengalami penolakan klaim kematian dari pihak BPJS TK.
Diantara alasan penolakan klaim kematian dari BPJS TK, seperti tidak diakuinya surat wasiat yang dibuat oleh peserta, peserta dinilai tidak bekerja, dan dianggap memiliki penyakit menahun.
Ternyata penolakan klaim kematian bukan hanya dialami oleh komunitas transpuan saja, tetapi juga dialami oleh masyarakat lainnya yang menjadi peserta BPJS TK.
Misalnya ada 2 kasus pengaduan penolakan klaim kematian dari peserta non transpuan yang terjadi di Kab. Humbang Hasundutan, Sumut dan Kab. Ngawi, Jatim, dengan alasan yang hampir sama dengan alasan dari kelompok transpuan.
Patut diduga, kasus penolakan klaim kematian peserta oleh BPJS TK terjadi secara masif di seluruh Indonesia.
Padahal setiap peserta secara sah memiliki kartu dan membayar iuran bulanan BPJS TK, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jika mengacu pada Permenaker No.5/2021 pasal 63 dan 64, BPJS TK melakukan verifikasi hanya untuk memastikan kebenaran peserta meninggal, bukan untuk melakukan verifikasi status pekerjaan atau penyakitnya. Begitu juga perihal surat wasiat peserta BPJS TK telah diatur dalam PP No.44/2015 pasal 40 ayat 2 point b.4.
Tetapi dua kebijakan tersebut, sepertinya belum menjadi acuan bagi BPJS TK sehingga mengakibatkan kerugian bagi peserta BPJS TK.
Berangkat dari apa yang kami alami ini, upaya advokasi dan dialog telah kami lakukan sejak satu tahun lalu, mulai dialog dengan kantor cabang BPJS TK Salemba, Kanwil BPJS TK DKI Jakarta, kantor pusat BPJS TK bagian pelayanan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) selaku dewan pengawas eksternal BPJS TK, dan Kemenaker RI melalui Direktur Jamsos sebagai pihak yang membuat kebijakan teknis (Permenaker No.5/2021) bagi BPJS TK.
Tetapi sampai sekarang masih belum dibayarkan penuh klaim kematian peserta oleh BPJS TK, baik yang dialami oleh komunitas transpuan maupun peserta umum lainnya.
Pada 14 Maret 2024, pukul 10 – 12 WIB telah dilakukan proses mediasi sesuai aturan DJSN di kantor DJSN, Jakarta Pusat.
Dalam mediasi tersebut menghadirkan perwakilan kelompok transpuan sebanyak 17 orang, perwakilan dari BPJS TK yang diwakili oleh Direktur Pelayanan, Roswita Nilakurnia bersama staf.
Proses mediasi ini dipimpin oleh ketua mediator sekaligus anggota DJSN, bapak Subiyanto.
Hasil dari proses mediasi tersebut:
1. Tahap mediasi disepakati berlangsung 4 tahap. Pertemuan pertama hari ini, 14 Maret 2024 mediator mendengarkan penjelasan dari para pihak. Selanjutnya 15 Maret 2024, mediator akan bertemu dengan Kemnaker. Pada 20 Maret 2024 DJSN/mediator akan menyampaikan anjuran. Dan pada 27 Maret 2024 mediator akan mendengarkan jawaban dari para pihak.
2. DJSN melihat ada kemungkinan kekosongan hukum, sehingga dimungkinkan adanya perbaikan kebijakan ke depan.
3. Sejauh ini ada 9 transpuan yang meninggal dan mengajukan klaim. Dari jumlah tersebut ada 2 peserta yang klaimnya bisa cair sejumlah 42 juta, karena ada keluarga. Sebanyak 6 peserta klaim hanya keluar untuk biaya penguburan sebesar 10 juta. Sedang 1 peserta ditolak sama sekali dengan alasan tidak bekerja.
Dari hasil mediasi ini Hartoyo mengungkapkan ada persoalan terkait aturan BPJS, yang berpotensi merugikan kelompok rentan dan miskin.
“Kasus ini bukan hanya problem transpuan tapi ada persoalan mendasar terkait kebijakan tentang kepesertaan BPJS,” katanya.
Untuk itu Jaringan Komunitas Untuk BPJS TK menyatakan pertama, agar klaim BPJS TK transpuan yang belum bisa cair bisa segera dicairkan.
Kedua perlu ada perubahan kebijakan terkait sistem kepesertaan BPJS TK yang berpihak pada transpuan dan kelompok minoritas dan rentan.
Demikianlah siaran pers ini kami sampaikan kepada publik, atas nama Jaringan Komunitas Untuk BPJS-TK (JKU BPJS-TK) kami ucapkan terima kasih.
Atas nama Jaringan Komunitas untuk BPJS Tenaga Kerja (JKU BPJS TK)
Hartoyo (087738849584)
Mia Olivia (085887554547)