Search
Close this search box.

[Liputan] Potret Kehidupan Queer dan Transgender di Kampus Katolik

 

Oleh: Maria Fillieta*

SuaraKita.org – Bulan lalu, civitas akademika seluruh Indonesia digemparkan dengan beredarnya surat edaran larangan “aktivitas LGBT di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada”. Menurut Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran, Prof. Wening Udasmoro kebijakan tersebut bersandar pada sikap penghargaan pada keberagaman, penghormatan pada hak-hak dan kebebasan dasar serta nilai-nilai integritas Universitas Gadjah Mada sebagai institusi pendidikan.

Wening menambahkan, akan bertindak non-diskriminasi dan menjamin perlindungan pada pihak-pihak yang berada dalam posisi rentan yang telah diamanatkan dalam Konstitusi Indonesia dan berbagai UU tentang ratifikasi konvensi internasional terkait hak asasi manusia.

Faktanya, apa yang diutarakan Wening sangat berbanding terbalik dengan isi surat edaran yang cenderung mendiskreditkan kelompok minoritas gender dan seksual. Lantas, di mana kebijakan yang katanya ‘memberi penghargaan pada keberagaman, penghormatan pada hak-hak dan kebebasan dasar’ itu? Sudahkah janji perlindungan kelompok rentan khususnya minoritas gender benar-benar dipenuhi atau hanya gimik semata? 

Namun, potret berbeda terlihat dalam kehidupan queer dan transgender di suatu kampus Katolik. Mereka bisa berbaur dengan baik tanpa ada judgement dan diskriminasi. Bagaimana kisah mereka? Yuk kita simak!

Kisah queer couple, mahasiswa cerdas di kelas Matematika Ekonomi

AN dan JN (20) dikenal sebagai queer couple mahasiswa cerdas di kelas Matematika Ekonomi. Sejak awal AN dan JN tidak ragu untuk menjadi diri sendiri dan menunjukkan identitas gendernya. Saat diwawancarai, AN mengaku dirinya adalah seorang crossdresser pria yang mencintai wanita tapi menikmati hubungan romantis dengan laki-laki yang dikategorikan sebagai gender queer. Selama ini, dirinya pun merasa nyaman menjalin hubungan dengan JN tanpa perlu sembunyi-sembunyi. 

JA, teman dekat AN dan JN mengaku mereka telah melela kepadanya sejak awal kuliah. Menurut JA, AN dan JN adalah pribadi yang baik dan selama kuliah tidak pernah melakukan tindak kejahatan, jadi tidak perlu didiskriminasi apalagi dijauhi.

“Kalau aku sih sependapat sama yang dibilang Theresa Thorn. Identitas gender itu hak asasi manusia ya, jadi bagiku apa pun dan bagaimanapun cara mereka mengekspresikan gendernya itu hak mereka yang perlu kita hargai, kita terima apa adanya, kita rangkul dan kita cintai selayaknya kita mencintai sesama kita, bukannya dimusuhi”, lanjutnya. 

TIS selaku psikoterapis dan tim pendidik beserta CJ, seorang mahasiswa yang tergabung dalam satgas PPKS (satuan tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) kampus setuju atas pernyataan JA. Tim PPKS berkomitmen untuk menjunjung tinggi toleransi terhadap keberagaman gender karena sejatinya gender bukan pemberian dari masyarakat atau budaya melainkan anugerah dari Tuhan, jadi tidak ada ceritanya AN dan JN dibeda-bedakan dengan mahasiswa lainnya hanya karena gender mereka.

“Justru, tim PPKS ini dibentuk untuk memantau dan memastikan seluruh civitas akademika menerapkan perilaku tolong menolong, adil, tidak memandang sebelah mata atau meremehkan dan memberikan kesempatan yang sama kepada semua gender tanpa terkecuali. Jika terbukti melanggar, tentu ada konsekuensi yang harus ditanggung”, beber TIS. 

Tentang Penunjukan Ian Hugen, seorang transgender sebagai salah satu speaker di acara seminar TEDx kampus

Guna mewujudkan program pendidikan inklusif secara maksimal dan tepat, tim PPKS kampus memberi wejangan kepada seluruh pengurus unit kegiatan mahasiswa yang akan mengundang narasumber sebagai pemateri dalam acara seminar atau lokakarya agar mempertimbangkan penghargaan pada keberagaman, penghormatan pada hak-hak dan kebebasan dasar terlebih dahulu sebelum mempertimbangkan aspek keahlian narasumber. Ini bertujuan agar tercapai keadilan dan kesetaraan bagi semua spektrum gender.

Hal tersebut telah berhasil terlaksana dengan penunjukan Ian Hugen sebagai speaker transgender pertama dan satu-satunya di acara seminar TEDx hasil kerja sama dengan kampus. 

Menurut CJ dan JV, mahasiswa anggota tim PPKS dari rumpun psikologi dan hukum mengatakan bahwa keputusan menunjuk Ian Hugen ini selain sosoknya yang menginspirasi anak muda, mereka juga ingin mengikuti jejak provinsi Jawa Tengah yang berhasil mendapat penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya empat kali berturut-turut sebagai provinsi terbaik dalam hal kesetaraan gender.

“Pastinya kita akan bangga kalau kampus kita bisa menjadi percontohan bagi kampus lain untuk menerapkan program serupa. Inklusivitas itu sangat penting apalagi di zaman sekarang”, ujarnya bangga.

Hal ini juga diamini oleh para panitia acara seminar TEDx, VE dan AR. “Kebetulan kami memang nge-fans sama Kak Ian. Seneng banget akhirnya benar-benar bisa ngundang dia ke acara ini. Terus aku juga mau buktiin ke teman-teman bahwa minoritas gender khususnya transgender tidak boleh dipandang negatif. Banyak juga kok sosok yang positif dan membangun seperti Kak Ian”

Kira-kira bagaimana ya pendapat para peserta seminar TEDx tentang sosok Ian?

Bagaimana kesan kamu setelah join acara seminar TEDx tadi?

MJ: Bagiku, TEDx keren banget. Membuka pandanganku soal Indonesia ini yang belum mencapai peringkat terbaik untuk kesetaraan gender, terutama bagi minoritas gender. Kita diajak dan diedukasi buat makin terbuka tentang kesetaraan gender jadi nantinya gak ada lagi kesenjangan gender antara kelompok umum dan minoritas gender.

CV: Menurutku sih acaranya bagus banget ya. Relate dengan kondisi sekarang di mana orang-orang tuh masih diskriminatif. Kak Ian juga memberi teladan dan pandangan yang bagus agar kita bisa mempraktikkan kesetaraan gender, karena pada dasarnya semua manusia diciptakan setara, tidak ada istilah yang satu lebih superior daripada yang lain.

MF: Kak Ian benar-benar mengedukasi kita. Refleksinya pas banget. Kita jadi sadar selama ini banyak pihak yang menghalangi minoritas gender memperoleh pendidikan, bekerja dan bercita-cita tinggi hanya karena pandangan negatif masyarakat. Ini sekaligus sebagai reminder buatku agar lebih open minded dan inklusif kepada semua gender. 

Seminar TEDx kali ini kan mengundang seorang transgender sebagai speaker-nya, bagaimana tanggapanmu?

MJ: Ide panitia seminar TEDx buat ngundang Kak Ian itu keren banget! Jarang-jarang banget kan ada kampus yang berani seperti ini. Aku tadi pilih room-nya Kak Ian soalnya topik pembahasannya menarik banget menurutku. Kak Ian sangat capable dalam membahas hal ini, dan bagiku, dia juga gak cuma menyuarakan saja tapi juga melaksanakan aksinya. Bahwa sudah saatnya kesetaraan antara kelompok umum dan kelompok minoritas gender harus ditegakkan mulai dari sekarang!

CV: Jujur aku baru tau lho kalo Ian Hugen itu seorang transgender dari acara ini. Aku sih setuju-setuju saja ya (mengundang Ian sebagai narasumber -Red.), karena dengan begini kampus memberi pandangan dan wawasan yang lebih luas terutama soal keberagaman gender sekaligus ngasih lihat ke kita-kita bahwa sosok transgender pun bisa sukses, terkenal dan berprestasi seperti Kak Ian. Sudah saatnya kita tidak lagi berpikir seperti masyarakat zaman dahulu karena kondisinya kini sudah sangat berbeda. Di era digital seperti sekarang, sudah saatnya kita lebih terbuka dengan isu kelompok minoritas seperti mereka. Kita bisa mengedukasi semua orang hal-hal positif tentang mereka sekaligus meneruskan pesan refleksi Kak Ian ke segala platform media sosial yang kita punya. Dengan banyak suara positif, semoga kita bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik. 

MF: Super excited! Aku gak nyangka sosok seperti Kak Ian bisa dapat panggung di kampusku. Luar biasa. Menurutku, ini sebagai bentuk pemberian kesempatan dari kampus kepada kelompok minoritas gender ya. Bahwa mereka juga berhak bersuara di depan publik dan memberikan teladan positif bagi kita semua. Aku harap next kampus bisa ngundang speaker selain Kak Ian. Mungkin bisa Kak Ayu Pradesha, Kak Aming, Kak Dena Rachman, dll.

Saya setuju, sudah saatnya institusi pendidikan berbenah. Siapa pun, apa pun gendernya berhak mendapat kesempatan yang sama dalam pendidikan juga diperlakukan dengan adil dan setara tanpa judgement serta tanpa diskriminasi apa pun alasannya.

 

*Penulis adalah seorang content creator yang berbasis di Jakarta. Penulis dapat dihubungi melalui instagram @fillieta15. Tulisan ini adalah hasil dari Kelas Online Menulis Keberagaman Berbasis Fakta yang diadakan oleh Perkumpulan Suara Kita.

 

Referensi :
Gabriella, Veronica. Kepoin Ganjar Antiribet, Kerjanya Sat-Set. 2023. Bhuana Ilmu Populer : Jakarta
https://news.republika.co.id/berita/s6ftgj320/ugm-kaji-ulang-surat-edaran-larangan-lgbt-ini-alasannya/
https://www.merdeka.com/peristiwa/beredar-surat-larangan-lgbt-begini-penjelasan-fakultas-teknik-ugm-62686-mvk.html/
https://www.insertlive.com/hot-gossip/20220401133834-7-272091/diisukan-sebagai-gay-aming-ungkap-orientasi-seksualnya/
Thorn, Theresa, Noah Grigni. Its Feels Good to be Yourself. 2019. Macmillan Publisher.