Oleh: Fajar Zakri*
SuaraKita.org – Harus diakui, membuat berbagai liputan seputar Pemilu 2024 selama beberapa bulan terakhir adalah pengalaman yang mencerahkan bagi saya, yang kebetulan seorang gay. Lewat berbagai perbincangan dengan sesama komunitas, pekerja media, anarkis dan bahkan caleg pendukung isu keberagaman, saya menemukan banyak buah pikiran dan sudut pandang yang menarik sekaligus memperkaya pemikiran dan pengetahuan saya sendiri terkait keberagaman gender dan seksualitas.
Semakin dekat pemilu, semakin dalam juga saya berefleksi. Selain dari liputan-liputan yang sudah saya buat sejauh ini, saya juga memiliki cukup banyak pengalaman dan pengamatan pribadi sebagai warga negara Indonesia yang mengalami langsung era Reformasi dan sudah berpartisipasi dalam dua pemilu, meski mantap golput di Pemilu 2019.
Di titik ini, saya melihat urgensi agar Indonesia kembali memiliki pemimpin negara yang berlatar belakang akademik. Sudah ada begitu banyak catatan merah, terutama dalam ranah HAM, selama satu dekade terakhir dengan adanya pemimpin negara yang kelewat pragmatis dan berotak bisnis, sangat jauh dari kata visioner apalagi humanis.
Saya juga anti-militerisme, sebagai bentuk kapitalisme paling ekstrem dan berbahaya dan sudah sepatutnya ditinggalkan di era modern ini. Di saat yang sama, politik dinasti yang sarat nepotisme sepertinya lebih indah atau aspirasional dalam bentuk fiksi semata, seperti di film Red, White & Royal Blue.
Secara umum, patut digarisbawahi bahwa sejatinya saya antipati terhadap konsep negara, pemerintahan terpusat dan demokrasi elektoral. Maka dari itu, rencana saya untuk memilih paslon 3 alias Ganjar Pranowo dan Mahfud MD lebih didorong oleh dua pertimbangan besar.
Yang pertama, sebagai pengusung filosofi anti-spesiesisme dan penggiat isu hak hewan, narasi mengekspor jutaan sapi untuk jadi bahan konsumsi, dengan segala kebobrokan etika dan dampak lingkungan yang menyertainya, tidak bisa saya terima apalagi dukung. Rencana untuk menggalakkan praktik ekspor hewan hidup terasa konyol sekali, mengingat seruan untuk beralih ke sistem pangan yang sepenuhnya nabati semakin nyaring diserukan dalam tingkat global.
Lagi pula, sistem pangan dalam negeri sebenarnya sebagian besar sudah berbasis nabati sejak dahulu kala. Hanya saja, sifatnya yang berbasis komoditas dan industri berskala besar malah memperuncing ketimpangan sosial hingga berujung pada masalah kekurangan gizi dan kelaparan di berbagai daerah.
Menurut saya, justru akar masalah tersebut yang pertama dan terutama perlu dientaskan ketimbang melancarkan solusi yang terkesan mudah dan cepat walau sebenarnya sangat problematis (industri peternakan sudah terbukti berkontribusi besar terhadap krisis iklim) serta jauh dari etis dan berkesinambungan.
Isu-isu selain keberagaman gender dan seksualitas juga menjadi pertimbangan utama kawan gay asal Tangerang, Ze (23), untuk memilih paslon 1 alias Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar.
“Saya cukup menaruh harapan pada paslon 1 untuk mengentaskan masalah kemiskinan, menciptakan akses transportasi yang lebih merata di seluruh pelosok Indonesia serta memperbaiki isu kebebasan beragama, misalnya seperti pembangunan gereja dan sekolah Kristen yang kerap menjadi polemik di banyak daerah,” ungkap Ze.
“Namun sejujurnya saya tidak berharap mereka akan berbuat banyak tentang diskriminasi terhadap minoritas gender dan seksual atau menjadikan Indonesia tidak terlalu Jawa-sentris dan Islam-sentris. Meski begitu, saya ingin sekali agar mereka menciptakan undang-undang yang secara khusus melindungi kelompok-kelompok rentan, terutama transpuan, seiring dengan membaiknya kebijakan pembuatan KTP bagi kelompok trans. Saya pikir ini mungkin baru bisa muncul di tahun ketiga atau keempat setelah mereka menjabat.”
Sementara itu, kawan gay asal Serang, Lucky (28), berencana memilih paslon 2 alias Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka karena dia menganggap paslon ini yang paling tidak mengusik isu LGBT dan agama.
“Dari kampanye mereka, saya lihat kebijakan paslon ini tidak ada yang menyasar kelompok minoritas. Apalagi Prabowo pada dasarnya adalah seorang Cindo (Cina-Indonesia) yang mualaf. Anaknya juga diisukan bagian dari komunitas. Gibran pun tidak berkomentar tentang isu minoritas gender dan seksual,” jelasnya.
Lucky menambahkan, “satu-satunya harapanku hanyalah agar yang jahat tidak berkuasa. Anies Baswedan di paslon 1 membawa semangat Islam tradisional, sementara di paslon 3 ada Mahfud MD yang berlatar belakang Islam konservatif dan sering melontarkan ujaran kebencian terhadap minoritas gender dan seksual. Tidak perlu ada perubahan yang berarti (dalam pergerakan -red.). Seperti ini saja dulu. Yang penting pergerakan bisa terus jalan dan tidak diusik. Toh isu kita tidak akan merusak kekuasaan.”
Poin yang diangkat oleh Lucky ini juga menjadi pertimbangan kedua dan terakhir saya, meski tidak setali tiga uang. Dalam pandangan saya, paslon mana pun yang akhirnya terpilih, justru harus ada perubahan yang berarti dalam pergerakan minoritas gender dan seksual di Indonesia.
Hampir satu dekade berkecimpung dalam aktivisme minoritas gender dan seksual, termasuk turut terseret dalam pusaran “krisis LGBT” di tahun 2016, saya melihat bahwa pergerakan di Indonesia hingga hari ini sayangnya masih lebih reaktif ketimbang proaktif, bersifat terpecah-pecah dan terlalu asyik bermain aman dengan alasan menghindari backlash alias serangan.
Asumsi saya, ini sejalan dengan sifat orang Asia yang biasanya enggan berdebat apalagi berkonfrontasi, tidak terbiasa dengan konsep agree to disagree alias setuju untuk tidak setuju dan karenanya lebih suka menjadi konformis. Walhasil, bahkan hingga hampir satu dekade setelah krisis tersebut, tidak bisa dipungkiri bahwa pergerakan di Indonesia masih stagnan, bahkan terkesan bingung akan modus operandinya sendiri.
Saya pikir hal-hal berikut ini patut dipertanyakan: Apa yang sebenarnya kita hendak capai dari pergerakan kita ini? Apakah kita ingin selalu mengekor pola pikir dan pergerakan ala negara-negara Barat, atau menentukan wajah dan dinamika pergerakan yang sensitif terhadap beragam konteks sosial dan budaya di Indonesia namun tidak melulu tunduk pada status quo yang berlaku?
Sebagai contoh, masyarakat umum dan media massa gemar membingkai “pergerakan LGBT” sebagai kampanye untuk menggolkan “pernikahan sesama jenis”, yang saya tahu pasti bukan tujuan besar dari pergerakan di Indonesia. Faktanya, saya jarang sekali melihat tampikan gamblang terhadap narasi keliru ini dari organisasi, komunitas atau individu dari ragam gender dan seksual di Indonesia.
Lantas, apakah kita akan terus berpuas diri hidup dalam homofobia liberal yang sudah menjadi ciri khas masyarakat Indonesia selama ini? Apakah bijaksana berharap semua akan terus “seperti ini saja” di saat diskriminasi negara terhadap isu keberagaman gender dan seksualitas malah semakin menjadi-jadi?
Apabila paslon 1 atau 3 yang terpilih sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia, justru saya menganggap itu sebagai kesempatan emas untuk membawa agitasi dan resistensi terkait isu keberagaman di Indonesia menuju titik didihnya.
Seperti kata Adi (27) misalnya, menilai bahwa Prabowo Subianto “terlalu ambisius”, selain menyebutkan pelanggaran HAM yang dia lakukan di masa lalu namun tidak diakui olehnya. “Yang aku lihat, Prabowo hanya digunakan sebagai alat permainan politik saja, demi menciptakan dinasti politik,” ujarnya.
“Misalnya dia jadi presiden, belum tentu dia akan sampai dua periode. Setelah itu, Gibran bisa naik (jadi presiden -red.), kemudian Kaesang juga. Masa sampai jadi tiga generasi? Dalam demokrasi kan tidak boleh seperti itu.”
Kalau kita telaah, seiring dengan memburuknya isu HAM dan keberagaman di era pemerintahan Joko Widodo, kesadaran publik akan isu tersebut – termasuk isu ragam gender dan seksual – juga semakin meningkat dan bahkan berkembang menjadi wacana populer di media dan masyarakat umum.
Kita lihat juga bahwa semakin banyak anggota masyarakat yang resah dan lelah akan berbagai tindakan diskriminatif oleh negara terhadap mereka yang bukan Muslim, Jawa, heteroseksual dan/atau cisgender. Alangkah baiknya apabila kita saling menautkan segala keresahan dan kelelahan ini menjadi sebuah resistensi yang – meminjam istilah ikonis dari Prabowo Subianto – terstruktur, sistematis dan masif.
Ketika para pemimpin ini justru membutuhkan suara kita demi eksistensi mereka, bukankah itu berarti bahwa sebenarnya kita memiliki suara dan kekuatan yang, jika disatukan, sebenarnya jauh lebih besar dan berdigdaya ketimbang tiga paslon dan partai-partai pendukung mereka?
Berkaca dari cara main kelompok konservatif yang sebenarnya tidak terlalu besar hanya saja lantang, mengapa kita tidak mengusahakan tercapainya penyatuan suara dan kekuatan tersebut dan juga lantang dalam membela hak dan eksistensi kita? Pada akhirnya, perang budaya adalah bagian wajar dan alami dari sebuah demokrasi, jika tidak bisa dibilang seni kehidupan berbangsa dan bernegara yang paling hakiki.
Tidak perlu terus-menerus melemahkan diri dengan rasa takut ketika kita memperjuangkan dan berdiri dalam kebenaran, terlebih apabila berangkat dari kedirian dan pendirian yang jujur, otentik dan logis. Hidup terus keberagaman di Indonesia, karena tidak akan ada Indonesia tanpa keberagaman.
*Penulis adalah penerjemah dan pekerja kreatif yang berbasis di Jakarta. Fokus aktivismenya turut meliputi pergerakan hak hewan dan lingkungan, terutama kedaulatan tanah dan pangan, sebagai bagian dari kredo anti opresi yang konsisten.