Oleh: Hartoyo*
Saat debat Capres pertama 12 Desember lalu, salah satu Capres menyampaikan yang kira-kira pesannya, bagaimana memastikan kelompok perempuan, disabilitas dan kelompok rentan lainnya dapat mengakses program atau layanan publik yang diselenggarakan oleh Pemerintah.
Pernyataan itu walau mungkin sebagai “retorika” belaka tapi menarik untuk dibahas;
“Bagaimana cara kelompok marginal, atau yang terpinggirkan dapat mengakses program pemerintah tersebut?”
Selama ini, pemerintah telah membuat kebijakan layanan publik, sifatnya masih sangat “netral”. Asumsi para pengambil kebijakan bahwa semua warga negara mempunyai kemampuan yang sama dalam mengakses program pemerintah. Meski pada realitasnya ada ketimpangan sosial yang disebabkan oleh banyak faktor.
Menurut sosiolog Universitas Indonesia, Prof Francisia Saveria Sika Ery Seda dalam makalah pengukuhan guru besar di UI menyebutkan, ada dua faktor utama seseorang mengalami marginalisasi, karena eksklusi vertikal – kesenjangan karena stratifikasi sosial, dan eksklusi horizontal – kesenjangan karena pembelahan sosial.
Kedua eksklusi itu menyebabkan adanya kelompok yang tertinggal dalam pembangunan. Merekalah kelompok atau individu yang tidak dapat mengakses program atau kebijakan yang masih netral tersebut.
Kemudian, upaya apa yang harus dilakukan pemerintah untuk memastikan setiap warga negara, tidak ada yang tertinggal agar mampu berpartisipasi aktif dalam pembangunan?
Ada beberapa tawaran yang bisa dilakukan pemerintah, berangkat dari pengalaman kami dari kelompok transgender yang terus sampai sekarang berjuang mengakses adminduk dan jaminan sosial, maupun program pemerintah lainnya;
Pertama, menganalisis dan menentukan siapa saja kelompok yang terpinggirkan itu menurut Pemerintah. Dalam penentuan itu pemerintah harus terbuka dan jujur siapa saja warga negara atau kelompok yang paling terpinggirkan mengakibatkan kemiskinan atau tidak bisa secara maksimal ikut aktif dalam pembangunan.
Pemerintah mesti melepaskan semua kepentingan-kepentingan “mayoritas” apalagi hanya untuk kepentingan politik kelompok saja. Penentuan benar-benar berbasis hak warga dan kepentingan negara dalam jangka panjang. Dan pastikan setiap warga, siapapun mereka yang terpinggirkan harus masuk radar pemerintah tersebut, jangan sampai ada yang terlewat.
Kedua, Dalam penentuan kelompok marginal/terpinggirkan itu berangkat pada tujuan besar bangsa, menyejahterakan setiap warga negara. Jadi ini bukan soal pertimbangan “moral subjektif” apalagi pertimbangan “tafsir subjektif agama”. Semua basisnya pada hak warga negara dan kesejahteraan setiap warga.
Logika dasarnya, jika ada satu orang saja warga negara mengalami peminggiran maka akan berdampak pada warga negara lain. Akibatnya jika terus dibiarkan akan menjadi persoalan komunitas dan negara. Contohnya, pada kasus penyebaran virus Covid, kita kan tidak bisa memilih-memilih siapa warga yang mendapatkan vaksin karena status sosial, ekonomi, politik dan budaya karena setiap orang berpotensi menularkan kepada setiap orang lainnya. Maka gerakan vaksin harus dilakukan pada setiap warga bahkan setiap orang.
Begitu juga misalnya pada kasus penyebaran penyakit lain yang disebabkan oleh virus, atau bakteri. Pemerintah dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan juga untuk setiap orang, bukan kelompok tertentu. Karena masalah penyebaran penyakit bisa terkena atau terdampak pada setiap orang.
Begitu juga pada soal kemiskinan, jika satu warga atau di sebuah komunitas miskin, akan berpotensi terjadi kriminal, tingkat pendidikan rendah, masuk dunia prostitusi, narkoba, hidup dalam lingkungan tidak sehat. Jika tidak diberikan penanganan secara khusus, maka cepat atau lambat akan memberi dampak buruk pada komunitas di sekitarnya, yang akhirnya persoalan bangsa. Jadi, pemerintah harus memberikan intervensi program ke wilayah tersebut.
Karena yang sedang dibantu bukan hanya satu kelompok saja, tapi pemerintah dan warga lain, semua sedang memutus dan menghentikan penyebaran dampak buruk akibat masalah sosial, ekonomi tersebut. Jika ini dilakukan secara serius oleh pemerintah, akhirnya kesejahteraan komunitas itu memberikan dampak pada kesejahteraan masyarakat lainnya.
Logika atau cara pandang itu harus dimiliki oleh setiap orang pengambil kebijakan. Prinsipnya ada satu orang saja hidup dalam kemiskinan dan terpinggirkan, maka yang rugi bukan saja warga tersebut, tapi juga komunitas di sekitarnya dan akhirnya negara juga mengalami kerugian.
Ketiga, pemerintah harus membuat kebijakan “afirmatif” atau tindakan kreatif yang lain dalam bentuk program sehingga setiap warga marginal dapat terakses program.
Caranya tentu bukan dengan kebijakan “normatif” yang selama sudah dilakukan oleh pemerintah, harus ada cara lain. Kalau diistilahkan ada “cara atau tahapan kedua” program pemerintah yang dikhususkan bagi warga negara yang terpinggirkan itu.
Kebijakan-kebijakan atau program afirmatif bagi kelompok terpinggirkan dapat dikembangkan pada semua layanan publik. Salah satu cara bisa melalui kerjasama dengan masyarakat sipil yang memang dekat atau bagian dari kelompok marginal itu.
Tetapi pemerintah harus menyediakan sumberdaya khusus untuk memastikan setiap kelompok yang termarginal kan itu dapat akses layanan publik. Misalnya, kalau di tingkat akar rumput ada kelompok Dasawisma, Posyandu, mungkin nanti akan ada petugas pemerintah di setiap RT/RW atau Desa/Kelurahan yang kerjanya “khusus” membantu atau menjangkau kelompok marginal tersebut dalam mengakses layanan publiknya sebagai warga negara.
Harapannya dengan cara itu, akan semakin lama semakin kecil jumlahnya kelompok yang terpinggirkan. Akhirnya pelan-pelan kelompok marginal itu akan bersama bangkit dari keterpinggirannya dan kemudian ikut bersama-sama dengan warga lain berperan aktif dalam pembangunan.
Kalau itu bisa dilakukan oleh siapapun yang berkuasa nanti, maka keadilan dan kesejahteraan bagi setiap warga negara pelan-pelan dapat terwujud. Seperti apa yang dimimpikan para pendiri bangsa, mensejahterakan setiap anak bangsa. Bukankah itu esensi mengapa Indonesia ada.
14 Desember 2023,
Toko Es Krim Mixue Tebet, Jakarta Selatan
*Penulis adalah Koordinator advokasi hak Adminduk dan Jamsos bagi Kelompok Transgender di Indonesia. Penulis dapat dihubungi melalui WhatsApp 087738849584.