Search
Close this search box.
Sumber Gambar: mixtemagazine.com

Oleh: Wisesa Wirayuda*

Gambaran Umum

SuaraKita.org – Queer Ecology atau Ekologi Queer adalah teori ilmiah yang menyatukan teori queer dan ekologi untuk mengubah paradigma atau cara berpikir biner, kaku, dan heteronormatif terhadap isu lingkungan dan alam. Praktik-praktik interseksional dan interdisipliner ini bertujuan meruntuhkan heteroseksualitas yang muncul dalam persepsi kita terhadap alam.

Catriona Sandilands menyebutkan, asal-usul kata Queer Ecology berawal pada tahun 1976 dalam buku “The History of Sexuality” karya Michel Foucault. Judith Butler juga menyebutkan dalam bukunya “Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity” soal dasar penting Queer Ecology bahwa ketika gagasan Queer diterapkan ke ranah Ekologi akan meruntuhkan ‘biner alam-budaya’.

Pada kehidupan di alam, banyak hewan dan tumbuhan yang tidak terpaku pada gender atau seks yang biner. Alam lebih rumit dari yang kita pikirkan. Di sinilah letak fungsi keilmuan Queer Ecology: membantu ilmuwan mengerti tentang cara menjaga alam melalui sudut pandang yang lebih beragam dan cair, tak hanya terpaku pada persoalan natural-tidak natural.

Mengapa harus pakai Queer Ecology?

Dampak dari digunakannya paradigma heteronormatif dalam melihat alam adalah banyaknya keunikan di alam yang terabaikan, ditindas, dan mencerminkan bias masyarakat terhadap identitas non-heteroseksual dan non-cis gender.

Ke-queer-an itu terjadi pada banyak hewan dan tumbuhan. Contoh yang sering kita lihat adalah hubungan sesama jenis antara pinguin jantan. Meskipun homoseksualitas dan hewan yang non-cis gender sudah banyak diteliti, masyarakat awam masih susah menerima fakta tersebut. Pandangan kaku itu kemudian juga berdampak pada soal alamiah-atau tidaknya kelompok minoritas gender dan seksual. Dikarenakan paradigma heteronormatif tersebut, individu-individu queer dicap sebagai sesuatu yang tidak alami dan primitif.

Contoh lainnya spesies yang berkembang biak dengan cara yang “tidak ideal” dalam kaca mata heteronormatif yakni New Mexico Whiptail (Aspidoscelis neomexicanus). Jenis kadal yang hanya memiliki jenis kelamin betina dan kadang disebut ‘kadal lesbian’. Di dunia ilmiah perilaku reproduksi mereka disebut partenogenesis, yang merupakan bentuk kawin aseksual. Meskipun melalui proses kawin dan bertelur, perilaku kadal ini disebut aseksual karena tidak melibatkan sperma.

Kita juga mengetahui bahwa pada proses reproduksi kuda laut, sang betina akan meletakkan telur ke dalam perut kuda laut jantan dan kemudian telur-telur itu akan dikandung oleh sang jantan hingga menetas.

Melalui sudut pandang biologi yang lebih cair seperti itu, membuat kita bisa berpikir kembali soal pemahaman terhadap alam dan pengaruhnya secara sosial. Karena pandangan heteronormatif soal lingkungan juga berdampak secara sosial pada kelompok minoritas gender dan seksual.

Misalnya, Transpuan yang menjadi korban bencana alam cenderung terasingkan dan kesulitan mengakses bantuan, atau kesulitan mendapatkan akses obat-obatan. Ketika bencana terjadi dan mengharuskan warga berada pada satu tempat pengungsian yang sama, ada norma-norma biner gender yang membuat kelompok minoritas gender dan seksual menjadi rentan mengalami diskriminasi dan kekerasan.

Atau baru-baru ini ramai pemberitaan soal polusi di Ibu Kota yang mengkhawatirkan dan berdampak langsung pada kelompok Transpuan yang terpaksa bekerja di jalanan di tengah-tengah polusi udara karena tidak ada pilihan pekerjaan. 

Contoh lainnya, dikutip dari tulisan Himas Nur Rahmawati di indonesiana.id, adanya kampanye kelompok aktivis laki-laki melakukan aksi dengan mengenakan kostum dan berlagak laiknya putri duyung. 

“Mereka duduk di atas perahu karet dan mengapung di air sungai yang keruh sembari memegang plang dan poster demo dengan tulisan seperti: “Kembalikan Kejantananku” dan “Pestisida Deterjen Rusak Gairah Bercintaku” (Austriningrum dan Wijaya, 2021: 2).

Para aktivis ekologi tersebut memilih diksi “ikan bencong” untuk merujuk pada kondisi krisis iklim yang dianggap “kelainan” dan “tidak normal”.

Mereka juga menganggap hal tersebut lelucon yang efektif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas kondisi yang tengah terjadi. Namun atribut beserta lelucon seksis dan norma maskulinitas hegemonik yang disampaikan, tak memikirkan dampak nyata terhadap individu dengan ekspresi dan identitas gender yang beragam. Komunitas queer akhirnya harus menanggung konsekuensi serius dari hegemoni industri ekstraktif dan tatanan sosiokultural yang heteronormatif.

Masa Depan Queer Ecology

Dalam praktiknya, Queer Ecology berusaha mengubah bahasa dan teori ilmiah agar lebih mencerminkan sifat alam yang sebenarnya. Melihat alam dengan lensa yang lebih halus, membuat kita bisa membedakan antara ideologi sosial dan dunia alam. Selain itu, melihat alam dengan pikiran terbuka, bisa melepaskan kita dari pola pikir yang kaku dan menindas.

Dengan meningkatkan kesadaran dan pemahaman bahwa Queer adalah bagian dari alam, kita bisa semakin berpikiran terbuka dan memahami dunia secara lengkap dan lebih akurat karena nilai-nilai ekologi queer juga lebih sejalan dengan pemikiran masa depan, terutama dalam hal melawan keserakahan korporasi dan ketidakadilan sosial/lingkungan.

Bahan Bacaan:
Kenapa Kaum LGBTQ+ Paling Terancam Oleh Bencana Iklim? – DW – 12.03.2021
Ekologi Queer: Perlawanan Interseksional atas Hegemoni Industri Ekstraktif yang Heteronormatif – Analisis – www.indonesiana.id
Keunikan Kuda Laut Jantan – National Geographic (grid.id)
Layaknya Avatar, LGBT Kerap Disebut Sebagai Sumber Bencana  – Konde.co
What Is Queer Ecology? | Queer Ecology, Explained. (climateculture.earth)
Queer ecology – Wikipedia
Queer ecology explained – YouTube
Is nature Queer? | Out & About – YouTube
Strange Natures: Futurity, Empathy, and the Queer Ecological Imagination – Nicole Seymour – Google Books

 

*Penulis pernah terlibat di beberapa buku terbitan Suara Kita. Penulis juga adalah kontributor di website Suarakita.org sejak 2013 hingga sekarang. Beberapa pelatihan jurnalistik yang pernah ia ikuti antara lain dari Suara Kita, Jurnal Perempuan, dan Wahid Foundation.