Oleh: Fadhil Hadju*
Salam hangat,
Yang terhormat bagi siapa saja yang menemukan surat kecil ini. Mungkin akan aku beratkan dengan suatu permintaan. Haturkan permohonan maaf ini kepada seluruh laki-laki yang pernah kutolak cintanya. Hasrat terdalamnya untuk memiliki diri ini. Tepatnya kepada 15 pemuda Desa Sigeri ini.
Aku -yang katanya bunga desa- mungkin salah satu dari ratusan perempuan di luar sana yang takut terhadap laki-laki. Entahlah. Aku tidak tahu apakah orientasi seksual kepada laki-laki tidak ada sama sekali atau mungkin ada, tetapi tidak muncul. Namun, sejak kecil aku merasa takut jika berada dekat dengan laki-laki.
Waktu itu, umurku sudah beranjak dewasa. Menjelang 17 tahun. Fisik telah memasuki masa subur bagi seorang wanita. Terlebih kata orang paras yang menarik akan mudah mendapatkan jodohnya. Apakah semudah itu mengatur nasib berdasarkan wajah? Entahlah.
Tepatnya, tanggal 14 September diri ini memasuki masa perempuan sudah wajib menikah. Meskipun nenek saya dulunya, bahkan lebih muda lagi saat dia menikah. Kira-kira umurnya 14 tahun. Ketika masuk 15, dia sudah hamil dan melahirkan. Di masa kini, umur seperti itu sangat beresiko untuk hamil, bahkan untuk melahirkan. Tetapi sekali lagi, kepercayaan dahulu tak peduli terhadap itu. Begitupun denganku.
Kedua orang tua telah bersimpuh di lantai rumah panggung kami. Seorang pria muda duduk bersama mereka. Aku menduga, dia bersama orang tuanya. Telinga mencicipi percakapan yang hampir terdengar seperti berbisik itu. Katanya, pria itu berniat ingin mengawini diri ini. Ia telah terpikat sejak masa SMA dahulu. Sekonyong-konyongnya, aku melompat di balik gorden kamar dan berlari keluar rumah.
Delapan anak tangga tak kurasakan lagi. Kaki melesat keluar cepat dari rumah. Kabur. Namun, segera ayah menangkap diri ini yang kala itu masih sangat kurus. Beliau membawaku masuk kembali ke dalam kamar. Memarahi. Membentak. Yang seumur-umur aku tak pernah dibentak, setelah datangnya si pria itu, aku menerima semua ini. Dunia serasa tak lagi sama. Ayah yang dahulu kuidolakan luntur perannya.
Aku termenung. Tangan memeluk erat lutut dibalut tangis sedu sedan yang aku tak ingin mereka mendengarnya. Pipi masih terasa sakit setelah lengan perkasa itu mendaratkan temparannya. Telinga berdengung. Hampir saja aku pingsan. Rasa-rasanya aku ingin meninju pria yang kasar ini. Sosok yang tak sangat berkebalikan dari yang kukenal selama ini. Seorang pengayom yang lemah lembut. Sirna begitu saja.
Aku terkejut ketika mendengar suara dari ruang tamu itu. Ayah berkata dirinya menerima lamaran itu dengan panai tujuh puluh lima juta beserta sapi dua ekor. Semurah itukah harga diri ini sebagai manusia? Tuhan telah menciptakan Adam dahulu. Semua makhluk disuruh sujud di hadapannya. Sekali lagi, seluruh makhluk! Tetapi di bumi, anak cucunya tidak ada harganya. Bahkan bisa ditukar dengan lembaran-lembaran tak berharga itu.
Ingin mulut ini mengerang sekuat-kuatnya. Tetapi nasi sudah jadi bubur. Pikirku, tak ada lagi perlawanan yang bisa dilakukan. Seperti yang selalu dikhotbahkan para ulama untuk mengabdi kepada kedua orang tua. Pasrah dan berserah atas keputusan mereka.
Ayah masuk lagi dalam kamar. Dia memanggil namaku dengan suara lembut.
“Nur, kesini nak.”
Suara itu memanggil seolah kejadian sebelumnya tak pernah terjadi. Begitupun diriku yang spontan berjalan menuju ayah. Seolah rasa sakit tadi sirna. Tetapi rasa sesak di dada terus bergejolak. Aku berusaha meredamnya. Hingga akhirnya, aku berhadapan dengan ayah.
“Kamu akan menikah dengan Ardi. Dia datang untuk melamarmu. Ayah sudah setuju”. Aku hanya terdiam.
“Seminggu kemudian dia akan datang dengan pantainya,” ucapnya dengan senyum tipis bahagia.
Tidak pernah kusangka, ayah tega menjual diri ini kepada orang asing yang sama sekali tak dikenalnya. Ardi. Aku pernah mendengar nama itu waktu SMA.Kalau tak salah ingat, lelaki itu sangat populer karena wajahnya yang tampan. Tetapi kenapa dia memilihku yang gadis desa ini.
Seminggu sudah berlalu. Aku tengah dirias oleh Muis, seorang calabai yang selalu menjadi favorit kami saat merias wajah. Di tengah-tengah riasan itu, dirinya mengucapkan rasa kagum kepadaku yang telah dipilih oleh Ardi sebagai pengantin. Tetapi rasa syukur tadi dibalut dengan ucapan peringatan.
“Tetapi hati-hati ko sama Ardi. Banyak itu ceweknya,” tutur Muis.
Tuhan apakah ini suatu cobaan. Saya dinikahkan dengan seorang pemain wanita. Playboy. Harusnya, orang tua saya mengenal dia terlebih dahulu, tetapi tidak. Mendengar uang panai yang besar tadi, mereka langsung menerimanya. Dada saya terasa sesak lagi. Kali ini lebih berat rasanya.
Di tengah jalan menuju lokasi ijab kabul hati makin berat. Seakan hal ini tidak benar. Pernikahan yang seharusnya menjadi masa bahagia dibalut dengan air mata di awal. Sesuatu yang sedari awal tidak baik, ke depan juga tidak jadi baik.
Mobil terparkir di pinggir jalan. Di bawah tenda, orang-orang ramai berbincang-bincang. Semua tampak bergembira. Tidak denganku. Setelah turun dari mobil, Muis menggandengku menuju tenda. Berat kaki ini melangkah. Setelah cukup dekat dengan tenda. Nampak ayah sudah menyambut dengan wajah berseri-seri. Sebelum tangan menyambutku, aku langsung balik arah. Berlari sekencang-kencangnya dan berteriak bahwa aku takut pada laki-laki.
“Laki-laki makhluk kasar!” Pekikku lantang di tengah jalan.
Aku berlari dan terus berlari. Hingga akhirnya, aku tidak lagi melihat adanya perkampungan di sekitarku. Akhirnya, aku memutuskan untuk menjauh dari dunia laki-laki. Dan aku bertemu dengan Muis setelah dua minggu kabur dari keluarga. Untungnya, dia mau menampungku dan membimbingku bertemu dengan kaumku. Kaum perempuan yang takut kepada laki-laki. Merekalah Calalai.
Ada berbagai latar belakang kisah mengapa sampai mereka membenci laki-laki. Tetapi ada kesamaan dari kisah kami bahwa, laki-laki itu kasar. Dan mereka tak bisa dianggap sebagai perwakilan di bumi ini. Harusnya Hawa yang diciptakan pertama oleh Tuhan bukan Adam. Harusnya kelemahlembutan yang diciptakan pertama di dunia ini. Bukan keperkasaan yang maskulin. Seolah Dia ingin menonjolkan keperkasaannya.
Begitulah kisahku yang seorang penakut laki-laki ini. Sebelum aku bertemu dengan teman-teman Calalai-waktu masih bersama Muis- begitu banyak pria yang jatuh hati hanya karena parasku. Dan keempat belas pria itu aku tolak. Semuanya menilaiku dari paras, tetapi tidak dari hatiku.
Sekali lagi, bagi yang menemukan surat ini sampaikan permohonan maafku kepada laki-laki yang pernah kutolak. Mereka pantas mendapatkan perempuan yang menurut mereka baik. Tetapi tidak dengan perempuan sepertiku.
Sigeri, 2023
Nur
*Penulis lahir di Parepare, Sulawesi Selatan dan saat ini bermukim di Kabila, Bone bolango, Gorontalo. Saat ini penulis aktif di Komunitas Gusdurian dan sering menulis di gusdurian.net, mojok.co, Kumparan, dan media lokal Gorontalo. Penulis bisa dihubungi melalui akun Facebook-nya: Fadhil Anizakwana Hadju.