SuaraKita.org – Jalan kehidupan sebagai kaum LGBT tentu saja tidak mudah bagi banyak orang, setiap dari kita memiliki cerita yang panjang tentang perjalanan, perjuangan, dan pertahanan untuk tetap berdiri kokoh, bahkan tidak sedikit yang tidak mampu menjalani tekanan sosial yang masih memiliki pandangan negatif terhadap LGBT, sehingga memilih untuk mengakhiri nya.
Tetapi pada kesempatan ini saya ingin menceritakan secara singkat tentang pengalaman pribadi pada saat menyadari bahwa saya adalah non-biner. Semoga tulisan ini bisa membuka wawasan banyak orang, di semua lingkungan sosial, LGBT, publik, dan terutama bagi teman-teman yang bersangkutan, mengalami hal yang serupa, yang sedang bingung, ragu, dan putus asa, kamu tidak sendiri dan kamu berharga.
Nama panggilan saya Jass, berumur 34 tahun, lahir di salah satu kepulauan di Indonesia tetapi tinggal di Australia selama hampir 10 tahun sampai sekarang. Saya menyadari bahwa saya adalah seorang non-biner tahun lalu (2020).
Sebelum menyadari bahwa saya adalah non-biner, saya menjalani hidup layaknya seorang lelaki dan berusaha keras untuk mempertahankan maskulinitas. Gym 6 hari seminggu supaya terlihat kekar, memastikan gaya berjalan gagah, menata rambut seperti rambut pendek lelaki, gaya pakaian, memastikan cara bicara saya dan nada bicara seperti seorang lelaki. Tidak tanggung-tanggung saya menjalani implan brewok sehingga saya lebih terlihat seperti lelaki
Tetapi tahun lalu, dimana kita dihadapi dengan COVID-19 dan harus mengurung diri di rumah, karantina, saya mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda, yang selama ini saya sembunyikan dari diri saya sendiri.
Semasa karantina Covid, saya merasa gerah, tidak senang dengan diri saya sendiri, depresi, dan tidak tahu harus berbuat apa.
Saya tinggal bersama pasangan saya, kami sudah bersama selama 9 tahun. Pada saat itu dia tidak tahu apa yang salah, karena saya masih belum menceritakan perasaan saya kepadanya, pada saat itu saya gampang emosian, suka menyendiri, dan tidak berbicara banyak. Padahal sebenarnya kepribadian saya itu bawel.
Pada saat itu, saya bahkan tidak bisa menerima diri saya sendiri, merasa saya bukanlah seorang lelaki. Saya takut akan ditolak oleh pasangan saya, saya takut dikucilkan oleh lingkungan, dan masih banyak hal negatif lain-lain nya dipikiran.
Hampir selama sebulan lama nya, sudah merasa tidak tahan dengan tekanan batin dan depresi, dan pacar saya sudah sangat khawatir dengan kondisi saya. Akhirnya saya pun memutuskan untuk terbuka kepadanya membicarakan perasaan saya, dengan jantung yang berdebar-debar, tidak tahu bagaimana dia akan merespon, dan saya tidak siap dengan penolakan.
Tetapi semua hal yang saya takutkan selama ini ternyata tidak benar. Dia merespon dengan positif, dan sangat suportif, jika itu adalah diri saya maka dia menerima dan mendukung sepenuhnya. Lega hati ini dan sangat bersyukur memiliki pacar yang berpengertian dan perduli. Saya memiliki beberapa teman dekat yang mengerti dan mendukung, membuat hidup ini lebih mudah dan berwarna.
Tentu saja masalah tidak selesai begitu saja, pada saat itu saya berpikir bahwa diriku adalah seorang transgender. Untuk memastikan bahwa saya benar-benar mengerti keadaan ku, saya pun mulai berbicara dengan psikolog dan berkonsultasi dengan lembaga gender terdekat. Setelah beberapa bulan saya mulai menyadari bahwa untuk saat ini saya adalah seorang non-biner.
“Gender non-biner merupakan payung bagi orang-orang yang merasa identitas gendernya tidak cocok dikelompokkan sebagai lelaki atau perempuan. Identitas non-biner ini bisa bervariasi, yaitu termasuk orang-orang yang masih mengidentifikasi dirinya sesuai dengan beberapa aspek dari identitas biner, atau menolaknya secara menyeluruh. Maka, seseorang dengan gender non-biner dapat mengidentifikasi dirinya sebagai perempuan dan lelaki sekaligus (bigender), fluidgender yang fleksibel, tak bergender (agender), atau bahkan kemungkinan-kemungkinan lain di antaranya—sehingga gender non-biner juga kerap dikenal dengan istilah genderqueer atau gender nonconforming.”
Selama ini kita hanya dikenalkan dengan gender biner, yaitu lelaki atau perempuan. Tetapi gender memiliki spektrum yang sangat luas, dan bahkan sebenarnya sejak lama Indonesia memiliki 5 gender di suku Bugis. kepercayaan tradisional Bugis pun mengenal lima identitas gender: Oroane atau lelaki, Makunrai atau perempuan, Calalai atau perempuan yang berpenampilan seperti lelaki, Calabai atau lelaki yang berpenampilan seperti perempuan, dan Bissu yang dianggap merupakan kombinasi dari semua jenis kelamin tersebut.
Pada awalnya saya juga mengira bahwa saya adalah seorang transgender. Tetapi setelah saya lebih mengerti dan memahami diri sendiri, dan merasa diri saya sendiri bukanlah seorang lelaki maupun perempuan, melainkan gabungan keduanya. (sedangkan seorang transgender masih mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang perempuan ataupun lelaki.)
Jika teman-teman merasa bahwa diri kalian tidak termasuk biner, maka ada baiknya mencari sumber specialis atau profesional yang mengerti dan membahas masalah gender untuk berkonsultasi dan pastikan bisa melakukannya secara anonim jika memang diinginkan.
Saya mengerti bagi sebagian orang, menemukan dirinya di posisi ini tidaklah mudah. Apalagi masih banyak masyarakat umum yang belum mengerti dan menolak untuk menerima keberadaan LGBT.
Jika Anda merasa tertekan, stress, depresi, saya mohon kamu untuk mencari bantuan kepada orang yang bisa kamu percaya, psikolog, lembaga LGBT, bahkan sahabat dekat Anda.
Tentu saja ini hanya sebagian dari kisah saya, dan masih banyak yang ingin saya bagikan kepada kalian semua. Tetapi intinya, saya hanya ingin memberitahukan bahwa kita semua berharga dan memiliki derajat yang sama, dan selalu ada pertolongan, banyak orang-orang yang mengerti kita – jika kita mencari pertolongan dan tidak menyerah.
Orang yang mencintai kita akan menerima kita apa ada, baik itu keluarga, teman, dan pasangan hidup.
Jass adalah seorang non-biner, dapat dihubungi melalui email di jass _nb@yahoo.com