Search
Close this search box.

Politik Biden-Harris Untuk Hak Minoritas

 

SuaraKita.org – Biden dan Harris secara hitung cepat baru saja terpilih dalam pemilihan Presiden-Wakil Presiden Amerika Serikat. Maka, keduanya akan memimpin Amerika selama empat tahun kedepan (2021-2024). Mengapa penting perlu belajar soal politik Amerika dalam konteks kelompok marginal khususnya kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender/Transeksual, Interseks, dan Queer (LGBTIQ) khususnya di Indonesia?

Minimal alasan mendasarnya, kita tahu bahwa Amerika banyak memberikan “kontribusi” atau minimal jadi “sorotan” atau indikator sebuah negara demokrasi di dunia. Apalagi Amerika pada masa Presiden Obama telah melegalkan perkawinan sejenis di USA.  Legalisasi perkawinan sejenis di Amerika baik langsung maupun tidak langsung telah memberikan dampak pada situasi LGBTIQ di Indonesia. Walau, dapat memberikan dampak baik maupun buruk.

Walau kemenangan politik Biden-Harris secara politik dipastikan tidak akan memberikan dampak langsung pada Indonesia, terutama hak-hak LGBTIQ. Hal ini juga ditegaskan oleh Farid Muttaqin, kandidat doktor antropologi gender di Universitas Binghamton, Amerika Serikat bahwa diskusi kali ini tidak sedang mendiskusikan dampak kemenangan Biden-Harris dalam politik Indonesia secara langsung.  Jika ada pikiran itu, sebaiknya masukan ke kotak dulu. Tapi proses demokrasi di USA dapat menjadi pembelajaran atau mungkin bisa menjadi inspirasi bagaimana pemerintah Amerika di bawah pemerintahan Biden-Harris empat tahun kedepan. 

Diskusi ini diadakan oleh lembaga Perkumpulan SuaraKita, sebuah organisasi LGBTIQ di Indonesia, dengan peserta umumnya komunitas LGBTIQ dan maupun pendukungnya. Kegiatan diskusi ini diadakan pada 15 Oktober 2020 secara online (zoom) yang dihubungkan dengan live youtube SuaraKita. 

Dalam diskusi ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu; Farid Muttaqin (kandidat Doktor di USA), Andreas Harsono (Human Right Watch dan Pendiri Yayasan Pantau), Danny Suhendar (Diaspora, seorang gay dari Indonesia yang telah menjadi warga negara Amerika). Dengan dipandu oleh Ririn Stefani, aktivis perempuan dan hak asasi manusia. Diskusi berlangsung sekitar 1,5 jam, mulai pukul 19.30 WIB sampai 21.00 WIB.

Dalam diskusi ada beberapa poin yang didapat:

Pertama, menurut Farid Muttaqin : Proses terpilihnya Harris, sebagai perempuan dan kulit hitam dapat diambil pelajaran bahwa, politik gender dan seksualitas penting ditampilkan dalam pertarungan politik formal. Kamala Harris (wakil Presiden terpilih)  dapat menjadi simbol dan inspirasi untuk banyak pihak, di Indonesia.  Artinya dunia dapat belajar bahwa perempuan yang disubordinatkan dapat tampil dan mendapatkan posisi strategis di sebuah negara besar, seperti Amerika.

Tentunya pandangan mas Farid ini, bukan hanya persoalan perempuan an sich semata, tetapi juga pada identitas-identitas lainnya. Misalnya soal orientasi seksual dan identitas gender.  Bagaimana kedepan, kelompok LGBTIQ juga dapat bermimpi, bertarung merebut ruang-ruang politik formal sebagai representatif identitas dalam ruang publik dalam sebuah negara. 

Tentu masuknya sosok Harris sebagai perempuan keturunan Asia dan Jamaica, ataupun seseorang dengan identitas tertentu tidak berarti hanya berjuang pada isu identitasnya saja ketika menjadi politisi. Tetapi bagaimana identitas yang selama ini dimarginalkan dapat ikut andil dan berkontribusi pada ruang politik formal, yang selama ini hanya milik kelompok maskulin dan mayoritas saja. 

Maka kemenangan Harris, kita berharap ke depan ada individu LGBTIQ di Amerika yang akan tampil sebagai pemenang sebagai Presiden maupun wakil Presiden Amerika. Mungkin juga suatu saat di Indonesia.

Harris adalah sosok identitas yang selama ini dimarginalkan, perempuan dan kulit hitam. Tetapi hari ini  dapat tampil sebagai pemimpin di sebuah negara besar seperti Amerika. Maka peristiwa ini dan sosok Harris sendiri dipastikan akan menjadi ruang dialog politik identitas bagi masyarakat dunia. 

Sedangkan Andreas Harsono memberikan penegasan bahwa tidak perlu berharap banyak pada politik Amerika. Alasannya karena Indonesia tidak menjadi prioritas negara Amerika, tidak ada dokumen yang menunjukkan kepedulian prioritas Amerika pada Indonesia, tegas Andreas pada diskusi tersebut. 

Sehingga Andreas mengusulkan hal yang konkret, bahwa perjuangan komunitas marginal tidak perlu berharap pada negara lain, tetapi yang harus dilakukan dengan melakukan penguatan masyarakat sipil di Indonesia. Karena proses penguatan masyarakat sipil menjadi sangat penting untuk gerakan sosial di Indonesia, misalnya apa yang dilakukan organisasi Suara Kita atau organisasi LGBTIQ lainnya. Itulah sesuatu yang paling penting mengubah hidup LGBTIQ kedepannya. 

Pandangan itu juga disepakati oleh Danny Suhendar bahwa semestinya memang kelompok LGBTIQ di Indonesia yang dapat memperjuangkan haknya sendiri. Membangun jaringan dengan pihak manapun atau kelompok yang sama di negara lain penting, tetapi tetap prioritas dari dalam negara sendiri. 

Danny sebagai individu yang secara politis memilih Biden dan Harris, menyatakan bagaimanapun kemenangan Biden-Harris didukung hampir 80 persen kelompok LGBT di USA.  Ada harapan besar kelompok LGBTIQ di Amerika terhadap Biden dan Harris. Karena keduanya juga selama ini sangat dukung hak-hak LGBTIQ di USA. 

Menurut Danny, Biden dalam pertemuan dengan kelompok LGBTIQ di USA pada masa kampanye, akan komitmen dan memprioritas pengesahan UU anti diskriminasi berbasis seksualitas. Biden juga akan komitmen melibatkan individu LGBTIQ dalam pemerintahannya sebagai simbol representasi kelompok LGBTIQ, ungkap Danny dalam diskusi tersebut.

Ririn sebagai moderator menanyakan kepada Danny, bagaimana peluang dukungan para diaspora Indonesia khususnya yang LGBTIQ mendukung perjuangan hak-hak LGBTIQ di Indonesia? Ini memang perlu dipikirkan bersama, antara organisasi LGBTIQ di Indonesia dengan komunitas LGBTIQ di Amerika. 

Tentu sekali lagi yang perlu diingatkan, bahwa perjuangan hak-hak LGBTIQ “hanya bisa” dilakukan hanya kelompoknya sendiri yang bergerak. Membangun jaringan dengan pihak manapun penting tetapi tetap kelompok LGBTIQ Indonesia harus mengorganisir diri, menguatkan perspektif komunitas dengan identitas politik. 

Karena keadilan, dan perjuangan suatu komunitas dan bangsa tidak mungkin diharapkan pihak lain. Tapi harus kelompok itu sendirilah yang bersuara dan berjuang, karena kelompok itulah yang paling merasakan sakit dan bagaimana harus melepas kesakitan itu. (Hartoyo)