Search
Close this search box.

Ketidaksetaraan, Lelucon dan Kekerasan

Tiga tema diatas, yaitu ketidaksetaraan, lelucon dan kekerasan timbul dari pengamatan saya terhadap fenomena yang terjadi dalam masyarakat sehari-hari. Masyarakat dimana saja. Tiga hal ini memiliki unsur yang saling berkaitan satu sama lain, sehingga tidak mungkin saya memisahnya. Namun apa sebenarnya yang membuat saya menarik kesimpulan bahwa tiga hal tersebut saling berkaitan erat.

Saya teringat pada masa saya duduk di sebuah sekolah dasar negeri inpres di Jakarta. Saya tidak pernah bersekolah di sekolah-sekolah yang dibilang elit. Orang tua saya merasa pendidikan dimana sama saja. Maksudnya, jika murid tidak rajin belajar, maka mereka akan bodoh. Maksudnya, tidak naik kelas atau tidak dapat rangking. Namun orang tua saya tentu tidak berfikir jika sekolah bukan hanya tempat kita belajar ilmu pengetahuan dan mendapatkan rangking serta naik kelas. Namun juga tempat dimana nilai-nilai penting itu didapat oleh anak-anak, terutama di usia dini seperti usia murid sekolah dasar.

Kami duduk bertiga dalam satu bangku panjang. Aku tidak mengenal semua teman sekelasku. Karena jumlah murid dikelas itu terlalu banyak. Tapi aku punya beberapa teman dekat. Salah satunya adalah Ani (bukan nama sebenarnya), seorang anak yang dibesarkan dari keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya kerja di proyek-proyek bangunan. Suatu hari, Ani bersama dengan teman-teman sekelasku yang lain sejumlah kira-kira 10 anak dipanggil kedepan kelas oleh ibu kepala sekolah. Sebut saja ibu Siti. Ibu Siti sangat murka dan bicara dengan suara lantang kepada anak-anak tersebut. Ternyata anak-anak yang dipanggil kedepan itu terlambat bayar iuran sekolah. Satu demi satu ditanya alasannya mengapa mereka belum bayar. Lalu perutnya dicubit dengan pelintiran jari Bu Siti. Mata mereka menyipit dan mulutnya meringis kesakitan. Aku merasa ngilu sekali melihat kejadian itu.

Pada saat itu, aku mengamati reaksi teman-teman sekelasku. Bahkan, masih segar sekali dalam ingatanku. Ada yang tidak berekspresi. Ada yang ikut menyeringai dan menolak untuk melihat sepertiku. Tapi juga ada yg tertawa, seakan-akan itu kejadian lucu. Pertanyaan pertamaku saat ini adalah, sejak kapan kemiskinan menjadi dosa seseorang sehingga mereka perlu dihukum. Sejak kapan kemiskinan juga merupakan lelucon sehingga dapat ditertawakan.

Jangan lupa, banyak kejadian dimana para waria di Taman Lawang juga dijadikan bahan tertawaan banyak pengendara bermobil yang mendekat sambil menyorak-nyoraki, lalu setelah para waria marah, maka mobil diakselerasi kecepatannya. Juga teman-teman laki-laki yang berlaku kemayu atau ngondek tidak luput dari tertawaan kawan-kawan sekelasnya. Bahkan ada yang menjadi bulan-bulanan. Banyak teman-teman banci yang kemudian memberi respon dengan menertawakan diri sendiri, sehingga mereka kesannya tidak keberatan dan menganggap itu bagian dari hidupnya sebagai banci. Bukan hanya mereka yang bukan banci, namun para banci sendiri sampai merasa ledekan-ledekan tersebut harus menganggapnya sebagai kewajaran.

Jika ketidaksetaraan membuat kelompok-kelompok yang tidak dominan sampai menganggap diri mereka tidak memiliki hak untuk diperlakukan biasa-biasa saja dengan respek, maka salahkah jika kekerasan terjadi dengan cukup luas di Indonesia dan di negara-negara lainnya? Jika guru dapat menghukum muridnya yang kurang mampu dalam hal ekonomi secara fisik dengan kekerasan, mengapa para FPI kemudian tidak boleh menghukum mereka yang dianggap tidak sesuai dengan ideologi mereka itu dengan kekerasan juga? Bukankah sekolah adalah tempat dimana kita belajar nilai-nilai yang patut di dalam masyarakat? Oleh karena itu, jika banyak mulut bungkam ketika ketidakadilan terjadi, hal itu tidaklah aneh. Bukankah kelompok yang minoritas itu tidak sesuai dengan harmoni masyarakat yang kita inginkan. Minoritaspun bukan dari segi kuantitas, namun dari segi kepemilikan benda, posisi, ideologi, gender, dan lain sebagainya. (Tanti Noor)