Oleh: Hartoyo.
SuaraKita.org – Saya mendapat inbox Facebook dari seseorang, yang pesannya:
“Salam kenal mas Hartoyo. Sedikit cerita, saya dan keluarga baru sembuh dari Covid. Saya , suami, dan ketiga anak saya terkena Covid.
Covidnya tidak jahat ya, tapi stigma negatif dari tetangga di perumahan kami menganggap yang terkena itu aib, sampai anak saya mendapatkan bully oleh anak-anak di sekitar Perum.
Data-data saya dan foto rumah kami ada yang sengaja menyebarnya.”
Inilah tantangan yang dihadapi oleh sebagian pasien Covid yang telah sembuh.
Begitu juga apa yang saya alami sekarang, saya tinggal di kawasan yang masih sangat kuat dengan stigma itu.
Sehingga saya berpikir, untuk sementara mencari tempat baru sampai secara psikologis saya siap menghadapi stigma yang potensi akan saya hadapi.
Walau pihak RT telah meyakinkan pada saya, bahwa warga bisa diberikan pemahaman soal itu.
Ironisnya dalam konteks pandemi Covid, sebagian warga terus membangun stigma pada yang terkena Covid, tetapi pada sisi lain ada banyak warga (bahkan pelaku stigma sendiri) tetap tidak mau melakukan test swab dan juga tidak melaksanakan protokol kesehatan.
Misalnya, masih juga kumpul-kumpul tanpa jaga jarak dan tetap melakukan aktivitas di luar rumah tanpa mengikuti protokol kesehatan.
Urusan stigma memang bukan hanya terjadi pada pasien Covid. Stigma sering dialami oleh mereka yang dianggap berbeda, misalnya orang yang hidup dengan HIV, pecandu narkoba, prostitusi, komunitas LGBT, orang yang beragama berbeda dengan dirinya, perbedaan suku, bahkan yang berbeda pandangan keagamaan dalam satu agama pun bisa mendapatkan stigma.
Misalnya stigma sebagai liberal, kafir, menyimpang ajarannya dan seterusnya.
Terlalu banyak stigma yang kita lihat dan saksikan sehari-hari dilakukan sesama warga bahkan aparat negara kepada warga negaranya di Indonesia.
Biasanya kalau Anda berbeda dan sedikit jumlahnya, maka sangat berpotensi distigma.
Perilaku stigma seperti menjadi “cerminan” budaya mayoritas masyarakat Indonesia. Tidak cukup punya informasi tentang satu hal, tapi kemudian membangun narasi sendiri tanpa pernah berpikir logis tentang informasi yang didapat. Sampai akhirnya melahirkan stigma pada pihak lain.
Apakah ini ciri kualitas pendidikan suatu masyarakat yang rendah? Atau ada faktor yang lebih kompleks lagi?
Pelaku stigma tidak sedikit yang memiliki pendidikan tinggi, bahkan sampai tingkat Profesor. Justru ada pihak yang penuh cinta kasih lahir di masyarakat yang rendah pendidikan dan tinggal di desa.
Sehingga pendidikan tinggi, tinggal di kota, mendapatkan banyak akses informasi tidak menjamin seseorang tidak menjadi pelaku stigma.
Jadi, bagaimana stigma itu diajarkan dan dikonstruksikan oleh satu orang pada orang lain, oleh satu komunitas pada komunitas lain? Sampai akhirnya terbangun stigma secara masif di masyarakat dan berkelanjutan.
Pastinya lembaga pendidikan formal, keluarga, pendidikan agama, media, komunikasi di sosial masyarakat, ikut berkontribusi besar melanggengkan stigma pada banyak isu.
Walau harus kita akui, masih banyak masyarakat mudah sekali membangun stigma. Tetapi masih banyak juga warga yang sangat rasional dan terus berpikir positif pada yang berbeda.
Dan orang-orang itu bisa berasal dari kalangan manapun, masyarakat kelas menengah, orang kota, warga miskin, tinggal di desa dengan segala macam profesi. Mereka penggerak perubahan sosial masyarakat menjadi lebih baik.
Sehingga. walau stigma sebagai ciri kegelapan budaya suatu masyarakat, tetapi saya percaya masih ada pihak-pihak yang terus menerangkan sinar harapan untuk menghapus stigma itu.
Minimal mereka adalah orang-orang selama ini aku kenal sebagai sahabatku.
Loveeee untuk semua sahabatku yang terus bersuara menghapuskan stigma pada banyak isu di masyarakat.
Salam Damai
Survivor Pasien Covid di Wisma Atlet dan Seorang Gay.