Search
Close this search box.

Komunitas LGBT Jadi Target Polisi di Indonesia

Aksi damai Women’s March 2018 – Hafitz Maulana, Tirto.id

 

Oleh: Joshua Mcdonald

SuaraKita.org – Di Jakarta, pada malam 29 Agustus 2020, 31 petugas unit polisi menggerebek “pesta gay” pribadi yang terdiri dari 56 lelaki di sebuah hotel, menangkap dan menuntut sembilan orang, tersangka penyelenggara acara. Orang-orang itu dituduh melakukan kejahatan memfasilitasi tindakan cabul dan di bawah undang-undang pornografi 2008, yang diancam dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara.

Kelompok hak asasi manusia mengatakan undang-undang tersebut mendiskriminasi orang LGBT dan bahwa serangan baru-baru ini menyoroti ancaman terhadap hak-hak orang LGBT di negara tersebut. 

“Tidak ada pembenaran hukum untuk mengkriminalisasi perilaku yang dituduhkan kepada para lelaki ini. Penggerebekan seperti ini mengirimkan pesan yang menakutkan bagi kelompok LGBTI, ” kata Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia. “Kami menyerukan kepada pihak berwenang untuk membebaskan semua orang yang ditangkap di pesta tersebut dan mencabut semua tuduhan terhadap mereka. Mereka juga harus menghentikan penggerebekan yang sewenang-wenang dan memalukan ini dan berhenti menyalahgunakan undang-undang yang melarang gangguan atau gangguan publik untuk melecehkan dan menangkap orang-orang yang dituduh melakukan aktivitas sesama jenis. ”

“Tidak ada yang boleh menjadi sasaran dan ditangkap karena orientasi seksual dan identitas gender mereka yang sebenarnya atau yang dipersepsikan. Polisi harus menjaga keamanan semua orang, tidak memicu lebih banyak diskriminasi. ” 

Homoseksualitas legal di Indonesia, selain di provinsi konservatif Aceh, tetapi serangan terhadap komunitas dari politisi, polisi, lembaga pemikir konservatif, dan kelompok Islamis dan agama lainnya telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. 

Pada 2017, setelah berbulan-bulan retorika kebencian dari sebagian besar partai politik, Kapolda Jawa Barat Anton Chariyan mengumumkan bahwa satuan tugas khusus telah dibentuk untuk menyelidiki aktivitas LGBT. Dia mengatakan kepada wartawan bahwa kelompok LGBT menderita “penyakit jiwa dan raga” dan meminta publik untuk melaporkan kegiatan komunitas tersebut.

Ketika penggerebekan meningkat, Human Rights Watch merilis sebuah laporan, berjudul “‘Scared in Public and Now No Privacy’: Human Rights and Public Health Impacts of Indonesia’s Anti-LGBT Moral Panic,” yang merinci bagaimana retorika diterjemahkan ke dalam serangan oleh polisi Indonesia dan kelompok Islam militan melawan orang-orang yang dianggap LGBT.

Pada bulan Januari tahun ini, walikota Depok, di Jawa Barat, provinsi terpadat di Indonesia, memerintahkan polisi untuk menggerebek rumah pribadi untuk mencari “tindakan tidak bermoral” dan “mencegah penyebaran LGBT.” 

Sebulan kemudian, DPR mengajukan apa yang disebut RUU Ketahanan Keluarga, yang antara lain mengharuskan kaum LGBT berobat di pusat rehabilitasi yang direstui pemerintah karena bujukan seksual mereka yang “menyimpang”. 

Menanggapi serangkaian “kampanye gay-bashing” oleh para politisi, Jakarta Post menerbitkan editorial yang menyatakan bahwa negara tersebut “sedang menyaksikan munculnya ‘Trumpisme,’ di mana kebencian yang berputar menjadi norma baru dalam politik Indonesia.”

“Daftar pejabat pemerintah atau politisi yang membuat pernyataan menghasut terhadap komunitas lesbian, gay, biseksual dan transgender, yang jelas tidak berdaya di negara yang cenderung menyederhanakan homoseksualitas sebagai dosa, sudah sangat panjang,” tulis editorial tersebut. 

Undang-Undang Pornografi tahun 2008 melarang “pembuatan, penyebaran atau penyiaran pornografi yang mengandung hubungan seksual menyimpang,” yang dinyatakan termasuk seks dengan mayat, seks dengan hewan, seks oral, seks anal, seks lesbian, dan seks homoseksual lelaki. Penggunaan hukum oleh polisi untuk menargetkan orang LGBT bukanlah hal baru. 

Antara September dan Desember 2017, tujuh lelaki dinyatakan bersalah berdasarkan hukum dan dijatuhi hukuman antara 18 dan 30 bulan penjara; 58 orang ditangkap di klub gay populer di Jakarta; dan 141 orang lainnya ditangkap di sauna, dengan 10 orang akhirnya dijatuhi hukuman antara dua dan tiga tahun penjara. 

Kyle Knight, seorang peneliti senior hak LGBT di Human Rights Watch, mengatakan “serangan terbaru cocok dengan pola yang mengganggu pihak berwenang Indonesia yang menggunakan undang-undang pornografi sebagai senjata untuk menargetkan orang LGBT.”

“Pemerintah telah menghasut permusuhan terhadap orang LGBT selama beberapa tahun, dan tidak ada pertanggungjawaban atas pelanggaran seperti penggerebekan polisi di ruang pribadi,” katanya.

“Kombinasi dari eksploitasi undang-undang pornografi yang diskriminatif dan kurangnya pertanggungjawaban atas pelanggaran polisi terbukti berbahaya dan tahan lama,” kata Knight. “Selama pemerintah mengizinkan penggerebekan polisi pada pertemuan pribadi di bawah undang-undang yang diskriminatif, pemerintah akan gagal untuk mengekang pelecehan dan intimidasi anti-LGBT.”

Human Rights Watch juga telah meminta parlemen Indonesia untuk merevisi undang-undang pidana baru yang disebutkan berisi ketentuan yang akan menghukum seks di luar nikah hingga satu tahun penjara. Karena hubungan sesama jenis tidak diakui secara hukum di Indonesia, ketentuan ini secara efektif mengkriminalkan semua perilaku sesama jenis. (R.A.W)

Joshua Mcdonald adalah jurnalis multimedia pemenang penghargaan yang tinggal di Melbourne, Australia.

Sumber:

Diplomat