SuaraKita.org – “Walaupun saya seorang Lesbian, saya bisa mewartakan Firman Tuhan dengan baik. Dengan keunikan saya ini, saya berusaha memberikan edukasi SOGIE dan menjelaskan bahwa saya dan teman-teman (LGBT-red) itu unik, sama dengan kalian yang hetero, kita sama. Kita ciptaan Tuhan.” Kata Max.
Dua puluh dua tahun silam terlahir seorang gadis manis yang diberi nama Melati Dewi Ayu (bukan nama sebenarnya – red), akrab disapa Ayu, di salah satu desa di Jawa Barat. Ayu tumbuh dan berkembang seperti anak perempuan pada umumnya. Namun hal ini tidak berlangsung lama. Pada umur sekitaran 5 tahun, Ayu menyadari bahwa dia tidak menggemari permainan anak perempuan, melainkan menggemari permainan anak laki-laki. Seiring berjalannya waktu, Ayu pun mulai menyadari keberadaannya bahwa dia lebih tetarik melihat teman perempuan dibandingkan teman laki-lakinya.
Ayu pernah pacaran dengan laki-laki sewaktu dia duduk di bangku SMA, tetapi Ayu merasa tidak mendapatkan arti cinta dan kasih sayang yang sesungguhnya. Selama pacaran, Ayu malah lebih cenderung memperhatikan teman perempuannya ketimbang pacar laki-lakinya.
Ketika Ayu memasuki dunia pendidikan yang lebih tinggi, ia benar-benar merasa tidak nyaman dengan keberadaannya sebagai seorang anak perempuan. Perlahan, Ayu mengubah penampilannya sehingga terlihat lebih maskulin. Kemudian, Ayu mengubah namanya menjadi Max Renald, bahkan dia lebih dikenal dengan sapaan Max.
Max merupakan alumni dari salah satu Sekolah Tinggi Teologi di Jakarta. Dia mempunyai cita-cita ingin menjadi seorang pendeta yang memiliki pandangan yang luas bagi isu-isu yang berkaitan dengan LGBT. Saat ini Max akan melanjutkan pendidikannya di kampus yang sama dengan berfokus pada kajian Queer Theology.
Selain kuliah, Max juga mengisi waktu dengan terlibat aktif pelayanan di gereja dan juga aktif di organisasi LGBT.
Ketika Max sudah benar-benar matang dengan pilihan hidupnya menjadi seorang Lesbian akhirnya Max memberanikan diri untuk mengungkapkan keberadaan dirinya kepada orang tua.
“Saya sudah coming out, pertama ke Mama, tapi bukan melalui pembicaraan secara langsung, namun dengan saya bersurat, karena setiap kali saya pulang ke kampung halaman pasti di rumah ramai, dan tidak mungkin dengan ceroboh saya mengatakan bahwa saya ini Lesbian, yang ada saya dicaci maki dan dianggap kotor,” kata Max.
Ibu Max menanggapi pengakuan anaknya tersebut dengan ramah. Beliau mengatakan bahwa dia sudah tahu keunikan Max sejak kecil. Sang Ibu menerima fakta bahwa anaknya adalah seorang lesbian, karena beliau tahu tidak akan ada yang akan menerima anaknya secara tulus selain dirinya. “Menurut Mama, kalau bukan Mama dan keluarga yang menerima saya, siapa lagi?” ungkap Max.
Namun tidak semua pihak menerima Max apa adanya. Ketika Bibi Max tahu bahwa keponakannya lesbian, Sang Bibi langsung menyitir ayat-ayat Alkitab, “Seakan tidak menerima bahwa saya ini memiliki keunikan.” kata Max.
Bukan hanya sang bibi saja yang tidak menerima keberadaan Max yang menyatakan dirinya sebagai lesbian, pendeta yang ada di Gerejanya pun tidak menerima keberadaannya, “… Pendeta saya juga seakan-akan tidak menerima saya sebagai anggota jemaatnya. Saya pernah membuat sebuah status di Whatsapp dengan menggunakan bendera pelangi, pendeta saya langsung membalas status saya bukan mengomentari status saya melainkan menceramai saya karena keberadaan saya, pada saat itu saya merasa terpojokan.” ungkap Max.
Ketika tahu Max adalah lesbian, Si Pendeta datang ke rumah orang tua Max. Kemudian dia memberikan janji kepada Mama dan Papa Max membuat Max berubah menjadi Hetero. Pada saat itu jugalah Ayah Max mengetahui orientasi seksual Max yang selama ini disembunyikan oleh sang Ibu.
Saat ini, Max merasa lebih bersyukur karena walaupun dia seorang lesbian, keluarganya tetap bisa menerima keberadaanya dan selalu menopangnya. (E.R)