Membaca tulisan berjudul “Waria Mendaftar Komnas HAM 2012-2017” secara refleks mengingat saya akan pengalaman lima tahun lalu sebagai Sekretaris Komite Independen Pemilihan Anggota Komisioner Komnas HAM periode 2007-2012.
Pada akhir seleksi yang seluruh tahapannya dilakukan secara ketat, Komite sepakat meluluskan satu dari dua orang kelompok transgender yang mendaftar, Yulianus Rettoblaut dan Nandy Iskandar. Sayang sekali, satu Waria tersebut (Yulianus Rettoblaut) gagal dalam seleksi tahap akhir di DPR. Kita semua pastilah dapat menduga apa alasannya. Pertanyaan muncul, akan kah waria kali ini mengalami nasib serupa? Hanya Tuhan yang tahu.
Saya ingat betul, Komite Pemilihan 2007 selain meluluskan wakil dari kelompok waria, juga meluluskan wakil dari kelompok minoritas adat, minoritas agama, dan minoritas difabel. Tentu saja, kelulusan mereka bukan karena berasal dari kelompok minoritas. Sama sekali bukan atas pertimbangan perwakilan. Kelulusan mereka semata-mata ditentukan oleh adanya komitmen kuat, keunggulan visioner, kompetensi dan kredibilitas mereka sebagai calon komisioner HAM. Artinya, mereka lulus karena memenuhi semua syarat yang diperlukan.
Setelah pengumuman kelulusan, kami anggota Komite kaget luar biasa. Kelulusan dua waria menimbulkan protes dan kemarahan berbagai kelompok. Bahkan, juga dari orang-orang yang selama ini dikenal sebagai pembela HAM dan pejuang demokrasi.
Anehnya, terhadap kelompok minoritas lain, seperti kelompok minoritas agama dan kepercayaan, minoritas difabel dan lainnya tidak timbul pertanyaan apa pun, keputusan Komite meluluskan mereka sangat diapresiasi.
Saya sungguh prihatin, sikap dan pandangan masyarakat terhadap minoritas transgender masih sangat diskriminatif. Saya tidak akan lupa, seorang wartawan dari media terkenal menelpon saya berkali-kali, dengan cara yang tidak ramah dia bertanya: “Ibu Musdah mengapa berani meluluskan waria? Bukankah ibu dari kalangan agama?“
Dengan tegas saya menjawab: “Semua warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam peraturan pemilihan dapat menjadi Komisioner HAM. Tidak ada satu pun peraturan atau undang-undang di negeri ini melarang waria menjadi anggota Komnas HAM“. Wartawan itu terdiam, namun tetap saja keesokan harinya dia menulis berita kelulusan kedua waria tersebut dengan nada sinis sambil menyudutkan diri saya sebagai seorang dosen agama yang aneh karena membela waria.
Sebagai Muslim saya sangat sedih karena gagasan modern tentang kebebasan dan kesetaraan manusia yang diperkenalkan Nabi Muhammad 14 abad lalu, masih tetap bergumul dalam wacana, masih jauh dari kehidupan nyata. Perjuangan penegakan hak asasi manusia masih sangat panjang dan berliku.
- Tawaran pembaharuan pemikiran. Umat Islam hampir sepakat bahwa ijtihad dalam arti pembaruan hukum Islam adalah suatu kebutuhan dasar, bukan hanya setelah Rasul tiada, bahkan ketika masih hidup. Hal itu mengingat Al-Qur’an dan Hadis meski mempunyai aturan bersifat hukum, namun jumlahnya amat sedikit jika dibandingkan dengan kompleksitas persoalan sosial kontemporer manusia yang memerlukan ketentuan hukum. Untuk itu, perlu sekali menggali hukum-hukum baru, sebagaimana pernah dilakukan umat Islam pada masa-masa awal, sehingga tersedia hukum Islam yang lebih responsif terhadap isu-isu kontemporer, dan lebih akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
- Pentingnya manusia dalam ajaran Islam. Inti ajaran Islam adalah tauhid. Tauhid menjelaskan hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah swt. Dia lah pencipta semua makhluk. Semua makhluk, termasuk manusia berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Islam sangat vokal menekankan pentingnya penghormatan kepada manusia, dan itu terlihat dari ajarannya yang sangat akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Islam juga memandang manusia secara dan positif, yakni sebagai makhluk paling mulia dan bermartabat (Q.S, al-Baqarah, 2:30 dan al-Isra`, 17:70). Islam -sesuai namanya bermakna damai dan selamat- tidak mengizinkan perilaku kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi terhadap manusia dalam bentuk dan tujuan apa pun.
Penulis: Prof. Musdah Mulia, Cendekiawan Muslim Dan Ketua Umum ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace)
Jakarta, 22 Januari 2012