Search
Close this search box.

[Kisah] Belum Berakhir

Oleh: DU*

SuaraKita.org – Nama aku DU, umur aku 25 tahun.  Aku berasal dari keluarga yang sederhana. Dalam keluarga, aku anak terakhir. Di keluarga aku anak yang manja.  Anak yg paling disayang Mama.

Dalam  keluarga pula aku sangat berbeda dari yang lain. Aku anak lelaki yang  seperti perempuan. Aku suka bermain boneka dan bermain rumah rumahan sama kelompok perempuan.  Saat itu ayah dan kakak aku tidak pernah melarang. Mereka malah mendukung dan memberikan aku baju perempuan .  Masa itu aku dipakaikan baju perempuan. Kala mengaji pun aku dipakai baju perempuan.

Bulan demi bulan, tahun demi tahun pun berlalu.  Aku tumbuh dewasa. Saat umurku 15 tahun aku mulai mengenal dunia Waria.  Saat itu aku masih duduk di bangku SMP. Awalnya diriku penasaran, waria itu seperti apa. Aku pun belum mengerti, apa itu waria karena  aku cuma berpikir hanya diriku yang gemulai yang seperti perempuan. Mungkin waktu itu karena masih belum terlalu dewasa, setelah lamanya aku menjadi lelaki yang feminim aku punya perasaan buat mengenal dunia waria itu bagaimana aku sangat penasaran waria itu seperti apa, apakah mereka seperti diriku?

Saking penasarannya aku di suatu malam setelah pulang pengajian aku diajak sama kawanku ke sebuah salon kecantikan buat menemani  dia pangkas rambut. Sesampainnya di salon itu, aku terkejut melihat sosok waria yang sangat cantik namanya Kak Jeni. Dia sangat anggun dan persis seperti perempuan. Di situ aku bertanya tanya dalam hati hati,  “Apa aku bisa jadi seperti mereka?” aku hanya melihat, melihat, dan melihat Kak Jeni selalu.

Saking aku sukanya, Kak Jeni pun bertanya, “Kamu kenapa bingung  melihat saya?” aku pun menjawab, “Nggak Kak, Kakak sangat cantik.”

Lalu Kak Jeni pun bilang, “Kamu juga cantik mirip perempuan kalo didandani.”

Aku rasanya bahagia waktu dibilang seperti itu.  Aku pun menjawab terima kasih. Kemudian Kak Jeni bertanya, “Kamu tinggal di mana dan nama Kamu siapa?” Setelah itu  dia menawarkan aku kerja di salon. Saat itu aku bilang enggak bisa apa apa. Mendengar hal itu, Kak Jeni berjanji akan mengajarkan keahlian salon, “Untuk sementara Kamu cuci rambut dulu aja,” kata Kak Jeni.

Akhirnya aku pun ke salon setiap malam pulang dari pengajian.  Aku selalu ke salon bantu Kak Jeni di situ. Orang tua aku mulai curiga, kemana aku pergi setiap malam dan  pulang tengah malam. Aku pun menceritakan kepada mereka kalau aku cari uang dengan cara cuci rambut di salon buat tambah uang  jajan. Mereka pun mengizinkannya.

Hari demi hari, aku udah biasa dengan kerjaan salon.  Aku pun mulai didandani pakai rambut palsu. Waktu itu aku belum tahu dunia malam. Setelah aku didandani,  aku dibawa ke sebuah kafe kelab malam buat bersenang senang. Di sana aku pun mulai mengenal banyak waria dan cowok-cowok ganteng.  

Setelah lulus SMP aku lanjut ke SMA.  Di sekolah baruku itu, Aku tidak menemukan sosok lelaki yang seperti perempuan.  Hanya aku saja yang feminim. Di saat masa orientasi sekolah pun semua lelaki itu asyik melihat dan menertawakan aku karena nggak bisa push up.  Mereka mengejekku. Yang membela aku hanya cewek semua.

Saat itu aku merasa kuat karena banyak temen cewek. Walaupun dalam hatiku, aku sangat malu dan sangat sedih. Kadang aku mengeluh pada Tuhan,  kenapa sih aku diciptakan seperti ini? Kenapa aku dilahirkan ke dunia dengan sesuatu yang berbeda?

Waktu demi waktu pun berlalu, kenangan di masa SMA  aku lalui dengan penuh kesedihan, hinaan cacian, semua yang buruk  sudah aku rasakan semua.


Setelah lulus SMA,  aku kembali fokus ke dunia kecantikan. Waktu itu, aku ikut ikutan seorang waria perias pengantin selama setahun.  Setelah itu aku berhenti, karena honorku sering tidak dibayar. Setiap minta uang sesudah bekerja,  selalu tidak dikasih. Kadang orang tuaku pun sangat marah karena aku pulang tengah malam, tetapi uangnya tidak pernah ada.  Dari situ Ayahku dan Kakakku mulai mengekang aku dan melarang aku pergi. Aku pun patuhi apa yang orang tuaku bilang.

Semenjak itu aku jarang keluar rumah.  Hidupku di rumah bagaikan burung yang terkurung dalam sangkar.  Sangat menyiksa. Aku sangat bosan. Hingga aku pun nekat pergi lagi tengah malam ke sebuah kelab  bersama teman waria. Tak disangka pada malam itu abang aku mengetahuinya. Dia pun menyusulku sambil membawa parang dan balok yang besar sampai  ke kelab itu. Dia mengejar aku. Untungnya pada malam itu aku berhasil kabur.

Keesokan paginya, ketika aku pulang  ke rumah, aku diusir Ayahku. Sementara  Mamaku hanya diam dan menangis, melihat perlakuan Ayah padaku.  Ayah begitu marah denganku. Akhirnya aku memilih pergi dari rumah selama enam bulan.

Dalam masa pergi dari rumah,  aku kerja di sebuah salon kecantikan.  Di situ aku menemukan jati diriku yang sebenarnya.  Di sana aku merasa sangat bahagia, bebas, dan nyaman. Walaupun hati kecilku selalu memikirkan Mamaku yang lagi sakit, tetapi aku berusaha sabar dan kuat dalam menjalani hidupku yang kurang sempurna.

Selama 6 bulan aku pergi, tidak ada  satupun yang menghubungi aku. Aku merasa sangat sedih dan ingin mencoba untuk  pulang ke rumah. Namun aku tidak punya keberanian. Setiap malam aku selalu memikirkan Mama aku saja.  Malam itu pun aku sangat stres. Ketika stres melanda selalu ke kelab malam atau kafe, di sana aku rasa stresku hilang karena banyak bertemu  teman-teman.

Suatu malam aku jumpa dengan teman baru.  Kami pun berkenalan dan saling cerita kisah hidup masing-masing.  Di situ aku menceritakan semua tentang hidupku. Akhirnya kawan baruku ini tersentuh dengan ceritaku. Dia pun menawarkan pekerjaan buatku dan  tinggal bersama dia. Semenjak itu aku pun keluar dari salon yang pertama aku kerja dan bekerja bersama kawan yang baru aku kenal ini.

Kawan baruku ini adalah  seorang guru SMP. Dia begitu baik menolongku dan dia juga membiayai kuliahku selama aku bekerja dengannya.  Dia menganggapku seperti adiknya sendiri. Selama di sana aku pun memberanikan diri buat pulang ke rumah bersama teman yang menolongku itu. Dia pun menjelaskan sama keluargaku kalau sekarang  aku bekerja dengan baik di salon miliknya dan aku pun tanggung jawabnya. Dia memberanikan diri bicara sehingga orang tuaku luluh dan memberi izin bekerja di salon. Di saat itu aku sangat bahagia sekali karena diberi izin.

Selama 4 tahun aku  bekerja di salon dia di Aceh, Hidupku sangat bahagia, tentram,  dan aman. Aku pun selalu bisa pulang dengan bebas ke rumah dengan gayaku yang feminim.  Orang tuaku pun tidak pernah lagi melarang. Namun pada 27 Januari 2018, ada kejadian yang mengubah semuanya. Pada malam itu aku ditangkap oleh aparat.  Sebelum ditangkap malam itu, aku sempat dipermalukan dulu di depan masyarakat yang begitu banyak. Aku disuruh buka celana sambil ditodong senjata ke arah mukaku.

Namun  pada saat itu aku tidak mau.  Meskipun begitu mereka tetap memaksaku  tetapi aku tetap menolak untuk membuka celanaku di situ.  Aku dibentak sama Polisi. Dicaci, dihina, dan dilempari batu oleh masyarakat.  Kemudian aku disuruh kencing di depan orang banyak tetapi aku tetap menolak. Akhirnya aku tes di kamar mandi salon. Aku di tes kencing untuk  membuktikan apakah aku positif atau negatif narkoba. Ternyata hasilnya negatif. Aku pikir aku selamat eh ternyata tidak. Aku malah digiring ke dalam mobil polisi.  Di luar salon, masyarakat begitu ramai. Ketika aku di giring, salah satu dari beribu masyarakat itu, ada yang menendangku, menarik celanaku, menendang pantatku. Saat itu aku sudah sangat tidak berdaya.  Aku lemah. Aku rasa sudah mati malam itu. Aku merasa sudah tidak berguna lagi. Aku sudah pasrah diri. Aku merasa inilah akhir cerita hidupku.

Setelah itu aku dibawa ke kantor polisi, sesampainya di sana aku disuruh merangkak jongkok sambil di todong pistol.  Kemudian aku disepak, ditendang, disuruh berguling-guling di lapangan yang begitu besar. Tanpa rasa kasihan, aku dibuat layaknya binatang.  Lalu rambutku dipotong dengan sangat kejam dan kasar. Mereka mencukur habis rambutku tanpa rasa kasihan. Walaupun aku bilang sakit, mereka tidak  peduli. Setelah rambutku dibotakin, aku ditelanjangi di lumpur.  Kemudian aku ditendang lagi. Setelah itu aku  disuruh merangkak lagi dalam keadaan basah tanpa baju sampai ke dalam sel penjara.

Di dalam penjara,  aku merasa tidak berdaya.  Aku merasa hidupku sudah berakhir.  Aku sangat ketakutan sehingga aku sakit selama dua hari, karena disitu tidak  dikasih tempat tidur bantal atau selimut. Di dalam penjara aku tidak makan. Aku hanya merasa takut ketahuan orang tuaku.  Setelah dua hari dua malam aku dikurung dalam tahanan, akhirnya aku dilepaskan.

Saat keluar dari penjara,  masyarakat sekitar salon sangat marah melihat aku,  termasuk pemuda kampung. Mereka begitu marah sampai-sampai aku dilempar batu.  Aku pun langsung pulang ke tempat orang tuaku. Saat itu orang tuaku atau kakakku belum tahu  bahwasannya aku baru saja dilepas dari penjara. Aku juga tidak memberitahu mereka. Mereka hanya mempertanyakan kenapa rambutku botak sambil tertawa.

Keesokan paginya kami berkumpul di ruang tamu di depan televisi. Di sanalah mereka tahu. Saat menonton  berita di televisi, terpampanglah wajah dan namaku. Disitu tertulis aku melakukan hubungan badan sesama jenis. Melihat hal itu,  ayahku langsung terkejut. Mamaku jatuh sakit. Kakakku menamparku dua kali.

Setelah itu,  aku dikurung selama tiga hari dalam kamar dan tidak dibiarkan untuk keluar rumah.  Dari situlah keluargaku membenciku, yang terutama Ayahku, Kakakku, Keponakanku, Kakak Iparku. Semua menganggapku bukan bagian keluarga mereka.  Hanya ada Mama, yang masih percaya dan menyayangiku hingga saat ini. Walau aku jauh di depan matanya sekarang, tapi dia tetap masih menganggapku anak bungsunya, buah hatinya.

Aku masih berharap untuk bisa pulang, tapi aku belum berani untuk melangkahkan kaki ke sana.  Dalam hati kecil, aku sangat tersiksa sekali dengan keadaan seperti ini. Hanya ini yang bisa aku tuangkan dalam tulisan singkat ini.  Inilah kisahku yang masih belum berakhir. (R.A.W)

*DU adalah seorang penyintas persekusi asal Aceh.