Search
Close this search box.

[Cerpen] Seperti Mereka

Oleh: Shofwan

SuaraKita.org – Aku hanya ingin menggenggam tangannya. Aku hanya ingin memeluknya. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku mencintainya. Aku hanya ingin seperti mereka: menunjukkan kemesraan dan kasih sayang kami di depan umum. Aku hanya ingin seperti mereka: mencintai tanpa rasa takut. Rasa takut yang kami miliki bukan sekedar rasa takut tidak direstui orang tua, melainkan juga rasa takut dihakimi. Mereka, para tuhan jejadian itu, benar-benar mahasadis.

Mereka tidak segan menganiaya kami bahkan menghilangkan nyawa kami. Mereka anggap kami hama yang harus dimusnahkan. Mereka anggap kami menjijikkan. Bagi mereka, kami produk Barat. Kami tidak punya tempat di sini padahal mereka dan kami sama-sama anak bangsa.

***

Malam minggu tiba. Waktu yang dikenal sebagai waktu berkencan. Hatiku berbunga. Aku akan menghabiskan malam ini bersama pacarku.

“Jadi nanti kamu jemput aku jam berapa?” tanyaku.

“Sayang, maaf kita nggak jadi malmingan…” ujarnya sambil mengirimkan emotikon sedih.

“Kenapa?” tanyaku kesal.

“Mbak sama pacarnya ngajak aku makan,” jelasnya.

Yaudah,” tutupku sedikit ketus.

Semua angan indahku hancur. Malam ini kuhabiskan sendirian. Berteman bintang, angin, dan gitar. Kupetik gitarku dan mulai menyanyikan lagu-lagu sedih. Lagu favoritku adalah Secret Love Song dari Little Mix. Liriknya sangat pas untukku:

 

Why can’t you hold me in the street?

Why can’t I kiss you on the dance floor?

I wish that we could be like that

Why can’t we be like that?

‘Cause I’m yours

I wanna say that I’m in love

I wanna shout it from the rooftop

I wish that we could be like that

Why can’t we be like that?

‘Cause I’m yours

Benar. Kisah cinta kami harus dirahasiakan. Kami harus bersembunyi di bawah bayangan “kenormalan” bagai perselingkuhan yang harus dilakukan diam-diam. Kami tidak melakukan hubungan gelap tetapi kami tidak bisa mencintai dalam rasa aman. Kami tidak merusak hubungan orang lain tetapi kami dianggap lebih rendah dari binatang. Kami tidak merugikan orang lain tetapi kami dianggap hama kehidupan. Kami tidak mengambil uang rakyat tetapi kami dianggap sampah masyarakat.

Aku mencintainya. Aku mencintainya seperti Kau mencintai pasanganmu, seperti mereka mencintai pasangan mereka. Aku ingin menikahinya seperti Kau ingin menikahi pasanganmu, seperti mereka ingin menikahi pasangan mereka. Seperti lirik lagu dari Rahmania Astrini: “Kuingin seperti mereka, menua bersama…”

Aku tidak mengerti jalan pikiran mereka. Apa yang mereka inginkan? Mengapa mereka begitu membenciku? Apakah aku salah jika aku mencintai dia yang mencintaiku? Apakah aku salah jika aku ingin hidup bersama orang yang aku sayangi? Apakah aku salah jika aku ingin menghabiskan sisa waktuku bersama dia yang melengkapiku dan membuatku sempurna?

Aku sangat berharap masa depan akan jauh lebih cerah. Aku sangat berharap akan ada pelangi setelah badai. Pelangi untuk mewarnai langit yang telah dibuat kelam dan untuk menghibur bumi yang telah luluh lantak. Pelangi yang bisa dikagumi setiap pasang mata di seluruh penjuru dunia.

***

Hari Rabu tiba. Pacarku pergi berlibur bersama Mbak-nya ke Kepulauan Seribu. Mereka menginap di apartemen kekasih Mbak-nya. Hal itu semakin menyulitkanku untuk berkomunikasi dengannya. Ya, berkomunikasi bukanlah hal yang mudah bagi kami. Terutama setelah Mbak-nya membaca pesanku yang mengucapkan “Selamat pagi” disertai emotikon kecupan.

Semenjak itu, aku harus menunggu dia menghubungiku terlebih dahulu yang menandakan bahwa situasi sudah aman untuk berkomunikasi. Aku tidak lagi bisa mengucapkan “Selamat pagi” kepadanya sebelum dia mengucapkannya kepadaku. Aku tidak lagi bisa menanyainya “Udah pulang?” sebelum dia mengabariku bahwa ia sudah berada di kosnya dan Mbak-nya sedang tidak di kamarnya.

Di hari terakhir liburannya, dia menghubungiku dan mengirimiku beberapa foto. Aku senang. Aku senang melihatnya bahagia. Walaupun aku bukan alasannya. Dia pulang besok. Aku sudah tak sabar untuk bertemu dengannya.

Hari yang kutunggu tiba. Ponselku menunjukkan pukul 08.32. Menurut perkiraanku, pacarku pasti sudah berada di tempat kerjanya. Aku pun memberanikan diri untuk mengucapkan “Selamat pagi”. Namun, tentu saja tanpa disertai kecupan. Anehnya, WhatsApp hanya menunjukkan satu tanda check. “Apakah dia belum bangun?” tanyaku dalam hati. Tidak mungkin.

Hingga siang, pesanku masih juga belum dia terima. Ada yang aneh. Aku khawatir. Akhirnya, sebelum ke kantorku, kuputuskan untuk ke kantornya hanya untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja.

Setibaku di kantornya, kulihat dia sedang sibuk bekerja. Aku lega. Dia baik-baik saja. Aku masuk dan menghampirinya.

“Kenapa HP-nya?” tanyaku.

“HP-ku mati dan ketinggalan di kos,” jawabnya sambil terkekeh.

“Oh pantesan,” sahutku.

“Tunggu sebentar ya, aku beresin kerjaan dulu,” tutupnya.

Aku pun duduk dan menunggunya. Kami pun bercakap-cakap sejenak. Tidak ada hal penting yang menjadi topik pembicaraan kami. Namun semua tentangnya begitu penting bagiku. Seusai rinduku sedikit terobati, aku pun pergi ke kantorku.

Keesokan harinya, dia mengucapkan “Selamat pagi”. Aku pun membalasnya dan mengajaknya bertemu sore itu. Dia menolak dengan dalih jet lagged. Aku kesal karena aku hanya ingin mengobrol dan karena aku tidak bisa mengerti alasan penolakannya. Bisakah kita mengalami jet lag hanya karena perjalanan pulang Kepulauan Seribu – Bandung? Menurutku tidak. Karena aku saja tidak mengalaminya setelah menempuh penerbangan Paris – Singapura – Bandung. Aku semakin kehilangan kepercayaanku kepadanya.

Malam harinya, dia menghubungiku tetapi tak kugubris. Aku sengaja update status di WhatsApp tetapi tak membalas pesannya. Dia hanya bertanya mengapa lalu pamit tidur. Namun pesannya hanya kubaca.

Keesokan paginya, dia menanyakan kembali alasanku mengabaikannya tadi malam. Dia merasa bahwa aku marah. Tentu saja aku marah. Ia menolak ajakanku dengan alasan yang tidak logis. Dia merayuku dengan mengajak bertemu malam itu. Namun, aku menolaknya karena aku bekerja hingga pukul 20.30. Dia menawarkan hari lain tetapi terus kutolak hingga kami bertengkar. Namun, kami sudah berdamai di malam harinya. Setidaknya, itu yang kuyakini.

Hari Kamis tiba. Dia meneleponku di waktu istirahatnya. Aku sangat senang. Aku menjadi bergairah. Langitku berubah cerah. Rinduku terobati. Kami saling bertanya kabar dan basa-basi lainnya. Kami saling mengungkapkan rasa rindu. Kukatakan kepadanya bahwa aku ingin memeluknya. Lalu dia berkata, “Tapi ‘kan Kamunya juga nggak bisa ketemu aku Sabtu ini.”

“Kenapa?” tanyaku.

“Kan lagi nggak punya uang.”

“Ya, lihat aja nanti.”

“Uangku tinggal 20 ribu.”

“Ya udah, ketemunya minggu depan aja.”

“…..”

Suaranya tidak begitu jelas, aku tak menangkap apa yang dia katakan.

“Atau setelah Kamu gajian, 2 minggu lagi.”

“Aku mau tidur dulu ya, 5 menit aja.”

“Jadi gimana? Kok nggak dijawab?”

“Apaan sih? Kamu ngeselin.”

“Ya udah, gih tidur dulu. Nanti aja jawabnya.”

“Ya udah, matiin teleponnya.”

Aku pun mengakhiri panggilan yang dia mulai. Aku menulis pesan, “Jadi, setelah tanggal 1 aja ya ketemunya…”. Aku kehilangan semangat menulis yang baru saja dia buat bergelora. Semua ini gara-gara dia. Dia menghancurkan suasana hatiku yang baru saja dia buat bahagia. Dia mendatangkan hujan di langitku yang baru saja dia buat cerah. Hujan es yang sangat deras dan dingin menghujam tanahku yang baru saja dia jadikan tempat bersinggah.

Aku tidak mengerti mengapa dia seperti itu. Dia sudah berubah. Dia tak lagi sama. Dia bukan dia yang kukenal. Dia bukan dia yang mampu membuatku jatuh hati.

“Aku tidur duluan ya,” ujarnya pada pukul 22.00. Namun keesokan harinya, ketika kulihat kapan terakhir kali dia daring, WhatsApp menunjukkan bahwa dia berhenti mengakses WhatsApp pada pukul 23.00. Apa yang ia lakukan selama satu jam?

Aku membuka aplikasi yang mempertemukan kami. Di situ tertera bahwa dia terakhir mengakses aplikasi itu pada pukul 23.00. Ketika aku lihat berandanya, dia telah menambahkan satu foto baru, foto ketika dia berlibur. Kenapa dia melakukan itu. Dia bilang dia sudah menghapus aplikasi kencan itu. Tapi ternyata dia memperbarui profilnya. Yang lebih mencurigakan adalah dia tidak membalas pesanku di aplikasi itu.

Entah mengapa. Siang harinya, ketika aku akses aplikasi itu untuk memantau pacarku, dia telah menghapus akunnya atau mungkin hanya mengganti profilnya. Intinya, dia sudah tidak ada di daftar percakapanku. Atau… mungkin dia telah memblokirku.

Ingin sekali aku menanyakan hal ini, tapi dia selalu menolak untuk bertemu. Dia berdalih bahwa dia lelah akibat perjalanan liburannya kemarin yang hanya ke Kepulauan Seribu. Dia bilang ia masih “jet lagged”. Bagaimana aku tidak risau dan curiga? Sempat terpikir olehku untuk menanyakannya via WhatsApp. Namun jika begitu, aku tidak akan dapat melihat ekspresi dan matanya. Aku tidak akan bisa mengetahui apakah dia bohong atau jujur.

Dear Diary, apa yang harus aku lakukan? Aku bingung. Aku butuh saran. Namun kemana aku harus mencari. Tidak ada yang mengetahui hubungan kami. Aku pun tidak dapat bercerita kepada teman-temanku atau Mama bahwa aku sedang ada masalah dengan pacarku yang merupakan seorang lelaki.

Adzan berkumandang, mengajak para lelaki muslim untuk menunaikan ibadah shalat Jumat. Pacarku mengingatkanku untuk melakukannya.

“Baby, aku lagi di puskesmas.”

“Ngapain?”

“Periksa, dua hari ini, pas aku bangun, penis aku ngeluarin setitik cairan putih. Aku takut.”

“Kok bisa? Itu kenapa?”

“Enggak tahu. Tapi enggak sakit, enggak gatal.”

“Terus apa kata dokternya?”

“Nanti hasilnya Senin.”

“Oh, aku juga jadi takut. Aku ada benjolan di bagian luar pantat sebelah kiri. Udah sebulan. Tapi nggak aku rasa.”

“Tapi aku negatif HIV kok kemarin menurut tesnya.”

“Aku juga.”

“Besok aku temenin Kamu periksa, ya?”

“Enggak usah, aku sendiri aja. Aku belum siap ketemu Kamu lagi.”

“Loh kenapa?”

“Aku ngerasa lebih baik enggak ketemu dulu aja.”

Hmm, mengherankan. Mengapa dia bilang begitu. Apa salahku? Bukankah harusnya aku menemaninya saat dia takut? Mengapa dia tak mau? Entahlah.

***

Tepat pada pukul 20.46, hari Selasa, tanggal 22 Mei 2017, pacarku mengatakan hal yang mengguncang batinku.

“Aku udah nggak bisa ketemu Kamu.”

“Kenapa?”

“Enggak apa-apa, Mbak udah tahu.”

“Kok bisa?”

“Panjang ceritanya. Dia nitip ke semua temen-temen kos dan ke penjaga juga.”

“Hmm, well. Sempat memilikimu adalah anugerah yang indah. I loved every single moment that I spent with you. Untuk terakhir kalinya: I love you. Semoga kita masih bisa berteman.”

Enggak akan bisa juga. Aku disuruh ganti nomor.”

Inikah akhirnya? Mengapa menyedihkan? Bukankah sebuah akhir itu seharusnya bahagia? Seperti yang kudengar di dongeng-dongeng, seperti yang kulihat dalam film-film. Seperti kisah-kisah cinta mereka. Ya, seperti mereka. Mereka yang bisa hidup bahagia selamanya. Berdua sampai maut memisahkan. Mencintai dan dicintai hingga akhir masa.

Bodoh. Untuk apa aku ingin seperti mereka? Aku sudah seperti mereka. Kami sama-sama manusia yang butuh cinta. Yang ingin mencintai dan dicintai. Yang sama-sama mencari penghidupan dalam kerasnya kehidupan di arus globalisasi. Hanya saja mereka tak menyadarinya. Mereka enggan membuka pikiran mereka. Mereka enggan menerima bahwa aku sama seperti mereka. Mungkin mereka harus menjadi “seperti aku” untuk mengerti bagaimana rasanya menginginkan untuk dianggap “seperti mereka”. (R.A.W)

Shofwan Alfirobby adalah seorang penggemar bahasa dan pembelajar sastra. Ia lahir di Bandung pada tanggal 29 November 1996. Menamatkan studi S1-nya di program studi Bahasa dan Sastra Prancis Universitas Padjadjaran dan bekerja sebagai pengajar di Institut Prancis Indonesia Bandung membuat Shofwan dipengaruhi beberapa sastrawan dan filsuf frankofon seperti Édouard Louis, Philippe Besson, Simone de Beauvoir, Jean-Paul Sartre, dan Amélie Nothomb. Kendati demikian, tetap ada sastrawan Indonesia yang mempengaruhinya yaitu Ayu Utami. Dua karyanya yang berjudul “Lagu untuk Blih” dan “Kabut” telah diterbitkan oleh Suara Kita dalam sebuah antologi cerita pendek yang berjudul “Pengakuan”.

Bagikan

Cerpen Lainnya